Oleh Roma Kyo Kae Saniro1), Andina Meutia Hawa2), Dyani Prades Pratiwi3), Noni Sukmawati4)
Abstract
This research aims to describe the values of local wisdom in the novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi (2022). The research method used is descriptive analysis with a literary anthropology approach elaborated with the presence of character education values. The result of the research indicating several values of local wisdom of the Lampung community in their perspective of life. These include the use of the name "Uyung" to bridge existing gaps as a form of tolerance and peace; the practice of reciting the Quran and the tradition of "bediom" followed by circumcision as religious values; and "ngusi" (clearing potential to serve as tools for character education, representing the Lampung community that can be passed on to the younger generation of Lampung and Indonesia more broadly. The implications of this research emphasize the importance of utilizing local literature as a source of values in developing character education, which can help shape positive character traits in children and adolescents within the context of their culture and society. Schools and educational institutions can consider integrating local literary materials into the curriculumto make it easier for students to access and understand these values. Furthermore, efforts are needed to document and promote local literary works as sources of inspiration in developing character education modules.
Keywords: anthropology approach, character education values, local wisdom
1) Roma Kyo Kae Saniro adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: romakyokae@hum.unand.ac.id.
2) Andina Meutia Hawa adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: andinameutiahawa@hum.unand.ac.id.
3) Dyani Prades Pratiwi adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia dynipradespratiwi@hum.unand.ac.id
4) Noni Sukmawati adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: nonisukmawati@hum.unand.ac.id
INTRODUCTION
Indonesia memiliki berbagai etnis dan budaya yang tentunya memberikan gambaran dari kearifan lokal yang ada di dalamnya, salah satunya masyarakat Lampung. Kearifan lokal menjadi sebuah penanda yang ada di suatu wilayah untuk menunjukkan identitas atau jati orang tersebut. Kearifan lokal pun menjadi sebuah alat untuk mengantisipasi berbagai permasalahan, khususnya pada dunia kontemporer (N.K. Ratna, 2011). Walaupun pada umumnya, pada masa kontemporer kini, manusia seakan-akan berada pada titik ilmu pengetahuan yang tinggi. Padahal, manusia harus tetap melihat masa lampau, pada alam semesta sebagai tempat berpijak (N. K. Ratna, 2011).
Kearifan lokal sebagai sebuah kebijaksanaan mampu digunakan sebagai alat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi pada era globalisasi ini. Selain itu, kearifan lokal menjadi sebuah gejala budaya yang terbentuk secara terus-menerus dan berabad-abad baik secara disengaja maupun tidak sengaja. Hal ini menjadi penanda bahwa kearifan lokal dapat menjadi sebuah identitas dari suku yang beragam dan tersebar di seluruh Indonesia.
Kearifan lokal menjadi sebuah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik yang ditanamkan dan diikuti oleh anggota masyarakat sebagai wujud keunggulan budaya masyarakat (Hasanah, 2016). Lebih jauh, kearifan lokal memiliki konsep sebagai sebuah pengalaman panjang hidup seseorang yang diendapkan menjadi sebuah petunjuk perilaku seseorang; kearifan lokal tidak dapat lepas dari lingkungan pemiliknya; serta kearifan lokal bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zaman (Naritoom dalam Hasanah, 2016). Selain itu, fungsi kearifan lokal pun sangat beragam, yaitu sebagai konservasi dan pelestarian sumber dayaalam; pengembangan sumber daya manusia; pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; bermakna sosial; bermakna etika dan moral; serta bermakna politik (Sartini dalam Hasanah, 2016).
Indonesia memiliki berbagai kearifan lokal yang sangat beragam (Ratna, 2011). Salah satunya adalah keberagaman adat -istiadat yang menjadi sebuah lautan makna yang tidak pernah habis untuk dinikmati dan diteliti. Hal ini didukung oleh adanya moto Bhinneka Tunggal Ika yang dapat memberikan gambaran bahwa Indonesia memiliki keberagaman dalam masyarakatnya (Ratna, 2011). Walaupun kearifan lokal disajikan dengan bahasa daerah yang berbeda-beda, kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya bersifat universal yang dapat diterapkan oleh etnis apapun.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa kearifan lokal mampu menjadi sebuah media untuk pengajaran pendidikan karakter. Tidak hanya itu, media yang dapat digunakan dalam penjewantahan kearifan lokal dapat melalui sebuah karya sastra. Sastra yang tidak hanya diungkapkan sebagai refleksi saja, tidak hanya untuk memantulkan kenyataan, tetapi juga mampu untuk merefleksikan, membelokkannya sehingga berhasil mengevokasi keberagaman budaya secara bermakna (Ratna, 2011). Ratna pun menambahkan bahwa data karya sastra selalu berada dalam konteks, bukan dalam kondisi vakum dan data otonom menurut pemahaman yang lain (Ratna, 2011).
Sastra dapat dikatakan sebagai dunia dalam kata dan dunia miniatur dengan unsur-unsur penyajian yang sangat terbatas sehingga banyak ruang kosong yang dapat diisi dan dijelaskan (Ratna, 2011). Penggunaan kearifan lokal pada sastra dapat dikatakan efektif karena pengarang tidak memerlukan waktu, biaya, dan tenaga (N.K. Ratna, 2011b). Karya yang dihasilkan akan dinikmati oleh para pembaca dengan berbagai warna lokal sebagai ciri-ciri antropologis manusia secara universal, kembali ke masa lalu sebab masa lalu memberikan kedamaian, kembali ke masa lampau seolah-olah kembali ke kampung halaman (N. K. Ratna, 2011b).
Dengan demikian, kearifan lokal sangat erat dengan budaya yang merupakan penghubung antropologi sastra. Hal ini mengingat bahwa antropologi menjadi sebuah analisis untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan dari masyarakat tertentu. Namun, hal tersebut dihadirkan secara tersembunyi sehingga analisis perlu dilakukan untuk membongkar aspek antropologis tersebut.
Nantinya, kearifan lokal tersebut akan menjadi sebuah media pendidikan karakter yang dapat diterapkan oleh masyarakat setempat atau masyarakat luas. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ratna bahwa tidak kearifan lokal (khususnya sastra) yang memiliki muatan negatif (Ratna, 2016). Selain itu, memanfaatkan kearifan lokal sama dengan menghormati sekaligus menggunakan kompetensi budaya leluhur (Ratna, 2011). Dalam karya sastra, kearifan lokal dapat tergambarkan melalui lisan dan tulisan. Sebagai sebuah bahasa, keterbatasan dalam mengingat, melafalkan, atau menularkan terjadi. Oleh karena itu, kearifan lokal dapat tertuang melalui adanya wacana.
Jika menelaah lebih mendalam, pendidikan karakter menjadi sebuah hal yang mendasar dan penting ditumbuhkembangkan pada generasi muda karena pendidikan karakter menjadi salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Pengelola Web Kemdikbud, 2017). Hal tersebut tertuang dalam nawa cita yang mengandung isi bahwa pemerintah akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui pengimplementasian penguatan karakter penerus bangsa dalam bentuk gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK) sejak 2016 (Pengelola Web Kemdikbud, 2017). Hal ini dapat dilihat dari adanya inisiasi pemerintah Republik Indonesia melalui Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa dalam meningkatkan kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku serta olahraga seseorang atau sekelompok orang (Hasanah, 2016). Pendidikan karakter memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang karena pendidikan karakter lebih diutamakan daripada akademik (Hasanah, 2016). Berdasarkan hal tersebut, karya sastra yang berisi mengenai kearifan lokal masyarakat mampu menjadi sebuah media untuk penumbuhkembangan nilai pendidikan karakter.
Salah satu karya yang memuat kearifan lokal masyarakat adalah novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (2022) karya Udo Z. Karzi yang merupakan karya sastra yang mencakup beragam aspek kehidupan dan budaya masyarakat Lampung. Diterbitkan pertama kali oleh PT Dunia Pustaka Jaya, novel ini menjadi suatu medium yang menggambarkan kearifan lokal yang kaya dan dapat menjadi sumber nilai pendidikan karakter yang berharga. Dalam novel ini, pembaca dibawa untuk mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Lampung. Melalui cerita dan penggambaran karakter, pembaca diperkenalkan dengan berbagai tradisi, adat-istiadat, dan kebiasaan yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Lampung.
Kearifan lokal yang terkandung dalam novel ini tidak hanya menjadi bagian dari latar cerita, tetapi juga menyiratkan nilai-nilai pendidikan karakter yang kuat. Misalnya, dalam tradisi bediom terdapat nilai-nilai seperti kerja keras, saling menghormati, dan kebersamaan dalam keluarga. Begitu pula dalam tradisi ngusi dan merantau, terdapat nilai-nilai semangat pantang menyerah, kemandirian, dan keteguhan dalam mencapai tujuan. Novel ini menyajikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam novel ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk pengembangan pendidikan karakter, baik di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal, guna membentuk generasi muda yang memiliki karakter yangkuat dan berlandaskan pada nilai-nilai yang baik.
Penelitian yang menggunakan korpus ini pernah dilakukan oleh Novianti (2023). Namun, penelitian ini berfokus pada unsur intrinsik berupa tokoh, alur, dan latar novel Negarabatin, serta kaitannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA sebagai materi ajar dalam kompetensi dasar guna menganalisis isi dan kebahasaan yang ada di novel tersebut. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa nantinya, novel ini dapat menjadi sebuah stimulus untuk menganalisis isi dan kebahasaan teks novel yang disertai dengan acuan pendidik dalam berupa rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) di kelas (Novianti, 2023). Penelitian ini tidak memaparkan terkait dengan kearifan lokal sebagai nilai pendidikan karakter di dalam novel.
Penelitian lainnya yang relevan dengan kearifan lokal sebagai pendidikan karakter pernah dilakukan oleh Rachmatsyah et al. (2023), Izhar (2021), dan Syarifah et al. (2019). Persamaan ketiga penelitian ini adalah pengungkapan nilai pendidikan karakter. Namun, perbedaan ketiga penelitian ini adalah pada korpus, metode, dan hasil penelitian.
Penelitian Rachmatsyah berfokus pada pentingnya pendidikan karakter dan keterampilan pengetahuan dalam pemahaman siswa tentang kearifan lokal berdasarkan budaya adat peusijuek di Aceh. Ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan sumber sekunder untuk pengumpulan data. Temuan tersebut meliputi jenis-jenis kegiatan peusijuek, nilai-nilai karakter yang dimiliki siswa, dan nilai kearifan lokal dalam pelaksanaan peusijuek. Kesimpulannya menyoroti bahwa peusijuek adalah bagian dari budaya tradisional Aceh dan menekankan nilai-nilai pendidikan karakter seperti toleransi, nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial, dan kerja sama.
Berbeda dengan penelitian Izhar, penelitian ini membahas pentingnya memasukkan nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaran dengan memasukkan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya di daerah Lampung, untuk mengatasi dekadensi karakter yang disebabkan oleh sistem pendidikan yang lebih berfokus pada perkembangan kognitif (Izhar, 2021). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal di Lampung dan menjelaskan bagaimana memasukkan nilai-nilai ini ke dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk siswa sekolah menengah, menyoroti implikasinya terhadap pendidikan karakter (Izhar, 2021). Penelitian ini bersifat kualitatif, memanfaatkan penelitian perpustakaan dan wawancara untuk mengumpulkan data. Temuan menunjukkan bahwa kearifan lokal Lampung dapat diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia melalui pengembangan teks eksposisi, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan karakter siswa.
Berbeda dengan Izhar, penelitian Syarifah et al. membahas terkait dengan kearifan lokal yang termuat dalam sastra telah dilakukan oleh (Syarifah et al., 2019). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syarifah et, al., kearifan lokal dalam materi pengajaran sastra diimplementasikan melalui nilai-nilai agama, sosial, dan moral (Syarifah et al., 2019). Buku teks bahasa Indonesia untuk siswa kelas delapan SMP terdiri dari tiga topik sastra berupa puisi, drama, dan cerita pendek. Teks-teks sastra dalam buku teks memberikan manfaat dan pengalaman kepada pembaca tentang makna hidup, dan mereka dapat digunakan untuk mendidik dan mengajarkan karakter (Syarifah etal., 2019).. Pembahasan temuan penelitian dibagi menjadi kearifan lokal dalam puisi, teks drama, dan cerita pendek, dengan fokus pada menumbuhkan nilai-nilai moral. Teks-teks puisi dalam buku teks berisi nilai-nilai agama dan moral, menekankan pentingnya tidak kehilangan harapan dan bertanggung jawab atas masalah seseorang (Syarifah et al., 2019).
Kearifan lokal merupakan warisan budaya yang kaya dan berharga bagi suatu masyarakat. Salah satu medium yang sering kali menggambarkan kearifan lokal adalah karya sastra, termasuk dalam novel-novel. Namun, penelitian yang secara khusus membahas kearifan lokal sebagai nilai pendidikan dalam korpus novel masih tergolong langka, terutama dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji aspek ini pada korpus novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (2022) oleh Udo Z. Karzi menjadi relevan dan penting untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan literatur dalam bidang ini serta memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter di masyarakat Lampung dan Indonesia secara lebih luas. Dengan mengeksplorasi nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam novel ini, penelitian ini memiliki potensi untuk memberikan wawasan yang berharga bagi pembaca serta menjadi landasan untuk pengajaran dan pelestarian kearifan lokal Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menginterpretasikan kearifan lokal sebagai nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (2022), serta mengeksplorasi implikasinya dalam konteks pendidikan di masyarakat Lampung dan Indonesia.
METHOD
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antropologi sastra. Teori ini dirasa relevan karena antropologi sastraberusaha untuk mengelaborasi keberagaman budaya (Ratna, 2011). Lebih jauh, nantinya antropologi sastra mampu sebagai analisis danpemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (Ratna, 2011). Sebagai sebuah analisis, karya sastra akan dinilai melalui penarasian pengarang dalam karya yang secara baik dan estetik lalu, adanya evokasi kecenderungan dari suku-suku. Lalu, adanya ciri-ciri tersembunyi sebagai gejala yang diungkapkan dalam sastra.
Aspek yang mendominasi dalam cerita, salah satunya adalah tema, pesan, dan pandangan dunia menurut pemahaman lain yang dapat ditemui salah satunya melalui sastra (Ratna, 2011). Karya sastra memuat berbagai aspek moral yang berfungsi untuk meningkatkan kehidupan bangsa karena tidak ada karya sastra yang ditulis dengan tujuan negatif (Ratna, 2011). Selain itu, dimensi moral dan spiritual, pikiran, dan perasaan menjadi sebuahstruktur batiniah manusia yang mampu menjadi sasaran pokok karya sastra atau seni pada umumnya (Ratna, 2011). Karya sastra berusaha memainkan bahasa untuk menyampaikan isi sebagai pesan (Ratna, 2011). Melalui karya sastra, unsur-unsur estetis dievokasi melalui kekuatan bahasa, majas, dan gaya bahasa. Lalu, unsur-unsur antropologis ditampilkan melalui wacana. Dengan demikian, analisis sastra dapat dilakukan pada aspek bentuk, sedangkan analisis antropologi sastra dapat dilihat melalui isi atau konten yang terdapat di dalam sastra itu sendiri.
Pandangan dunia menurut visi Goldman memiliki arti sendiri. Hal ini berkaitan dengan karya yang bertemu, bekerja sama, baik secara epistemologis maupun aksiologis dengan bidang ilmu antropologi. Dengan demikian, pandangan dunia merupakan unsur yang paling relevan baik bagi peneliti sastra dan antropologi dalam rangka memperoleh pemahaman mengenai eksistensi kelompok tertentu seperti yang dikemukakan dalam karya sastra, atau sebaliknya dapat memahami karya sastra dalam kaitannya dengan komunitas tertentu, subjek transindividual menurut pandangan lain (N. K. Ratna, 2011b). Lebih jauh, Biron mengungkapkan bahwa pandangan dunia merupakan kunci untuk memahami ciri-ciri mentalitas budaya pada periode bersejarah tertentu.Pandangan dunia memberikan perspektif lainnya di luar unsur intrinsik, seperti tema sebagai unsur metafisik yang memiliki hubungan sebab-akibat yang disebut dengan plot.
Nantinya, kearifan lokal yang terdapat di dalam novel Negarabatinakan dianalisis nilai pendidikan karakter melalui penganalisisan 18 nilai pendidikan karakter (MAN 2 Agam, 2022). Nilai tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Antropologi sastra bertujuan untuk memberikan identitas terhadap suatu karya dengan menganggapnya sebagai aspek tertentu, sepertiaspek antropologis. Ciri-ciri yang menjadi sebuah petunjuk dalam antropologi sastra adalah adanya kecenderungan ke masa lampau citra primordial, dan citra arketipe (Ratna, 2011). Selain itu, ciri lain yang mengandung kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukan masing-masing berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan subkategorinya, seperti trah, klen, dan kasta (Ratna, 2011).
Kearifan lokal pun dianggap sebagai jawaban atas zaman yang semakin kompleks sehingga dibutuhkan kebijakan yang dapat lebih komprehensif (Winataputra & Setiono, 2017). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kearifan lokal memiliki hubungan dan pengaruh yang besar untuk menyelesaikan permasalahan yang mengancam keutuhan dan masa depan bangsa, khususnya untuk menghadapi globalisasi. Kearifan lokal menjadi sebuah media untuk dapat digunakan dalam kebijakan adanya penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat menjadi sebuah pembudayaan nilai-nilai utama bangsa (Winataputra & Setiono, 2017).
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Wellek bahwa salah satu ciri karya sastra adalah mengajarkan. Karya sastra disebut bermakna apabila memberikan manfaat dalamkaitannya memberikan nasihat, memberikan pengajaran, dan pendidikan kepada masyarakat pembacanya (N. K. Ratna, 2011b). Selain itu, dapat dipahami pula bahwa karya sastra adalah refleksi, rekonstruksi, bahkan ‘tiruan’ hasil kebudayaan pada masa lampau (N.K. Ratna, 2011b). Melalui karya sastra, identitas bangsa secara keseluruhan dapat dikenal (N.K. Ratna, 2011b). Teks merupakan satu struktur yang multidimensional dengan heterogenitas fakta sosial yang ditampilkannya sehingga harus adanya pemahaman kerangka dengan unsur-unsur yang heterogen, tetapi tetap terbatas dalam lingkaran pandangan dunia, khususnyadalam kaitannya dengan subjek karya.
RESULT AND DISCUSSION
Dalam novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit karya Udo Z. Karzi menunjukkan beberapa warna lokal dari budaya Lampung, seperti pemanggilan nama Uyung untuk meniadakan kesenjangan yang ada sebagai bentuk toleransi dan cinta damai; kebiasaan mengaji dan tradisi bediom lalu disunat sebagai nilai religius; serta ngusi sebagai nilai kerja keras. Selain itu, judul novel ini (Negarabatin) pun sebenarnya dapat dirujuk pada dunia nyata. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Way Kanan, Negarabatin merupakan salah satu bagian dari Way Kanan (Badan Pusat Statistik, 2018).
Pertama, penggunaan nama Uyung terdapat di beberapa kutipan narasi “Menyesal ia tidak di Negarabatin kala istrinya di antara hidup-mati hendak melahirkan uyung” (Karzi, 2022, hlm. 16). Pengunaan panggilan uyung dalam masyarakat Lampung dapat dipahami sebagai panggilan kepada bayi atau anak laki-laki. Hal ini senada dengan yang diungkapkan dalam Namamia.com bahwa nama ini adalah nama populer untuk anak laki-laki pada tahun 1998 (Admin, 2024).
Penggunaan nama uyung ini mempermudah untuk mengidentifikasi bayi yang belum diberikan nama oleh orang tuanya. Namun, penamaan ini juga tidak berakhir ketika seseorang sudah beranjak dewasa. Hal ini ditampilkan oleh tokoh yang merasa bahwa ketika ia sudah dewasa dan sudah memiliki nama, ia tetap dipanggil Uyung. Hal ini tergambar melalui pemikiran pengarang yang secara langsung membuatnya sebagai sebuah subjudul dalam novel ini dengan judul “Uyung Kecil, Uyung Besar”. Penamaan subjudul ini menjadi sebuah warna budaya di dalam masyarakat Lampung untuk memanggil anak laki-laki dengan nama yang sama.
Penggunaan kata uyung adalah sebuah penggunaan kata sapaan pada masyarakat Lampung. Kata ini lebih dominan digunakan oleh masyarakatnya dibandingkan menggunakan bentuk nama diri. Nama diri dapat dipahami sebagai nama yang diperoleh saat seseorang lahir. Biasanya, penggunaan nama diri digunakan dalam hubungan yang akrab dan biasanya sudah saling mengenal (Rusbiyantoro, 2011).
“Entah kenapa, sampai tamat SMP aku masih saja dipanggil Ebak, “Uyung”. Walau sudah dikatakan Hakim, tamongku, “Umpu saya sudah ada namanya,” entah kenapa masih saja dipanggil uyung-uyung? tetap saja bak memanggilku Uyung.Iya, aku cucu tertuanya, yang paling disayanginya. Namaku dari tamong walaupun mak-bak-ku kurang begitu suka nama pemberian tamong. Tapi, ya, sudahlah namaku Uyung. Walaupun sudah besar tetap Uyung. Namanya masih anak kecil, tak banyak yang kuingat. Tak banyak pula yang bisa kukisahkan (Karzi, 2022).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kata sapaan uyung menjadi sebuah warna budaya masyarakat Lampung yang masih digunakanoleh masyarakatnya, khususnya orang yang lebih senior. Walaupun sebenarnya tokoh utama memiliki nama, lingkungan tokoh utama tetap memanggil dirinya dengan kata sapaan uyung. Tidak hanya menunjukkan sebagai penanda jenis kelamin dan usia seseorang, penggunaan kata sapaan, serta paling utama adalah sebagai identitas dari masyarakat Lampung.
Penggunaan kata sapaan uyung ini bahkan mendapatkan posisi khusus sebagai subjudul dalam novel Negarabatinini yang dapat dilihat dari subbab kedua dengan judul “Uyung Kecil, Uyung Besar”. Penggunaan kata besar dan kecil menunjukkan bahwa kata sapaan uyung dapat digunakan oleh semua golongan.
Kearifan lokal dalam penggunaan kata uyung ini mencerminkan kedalaman budaya dan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung dalam berkomunikasi. Praktik ini tidak hanya menunjukkan kekayaan linguistik mereka, tetapi juga nilai-nilai seperti rasa hormat, kesopanan, dan kepedulian terhadap lawan bicara.
Dalam konteks pendidikan karakter, nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan kata uyung dapat dijadikan landasan yang kuat untuk mengembangkan karakter yang baik pada generasi muda Lampung. Pendidikan karakter yang mempertimbangkan kearifan lokal ini penting untuk memupuk sikap toleransi, menghargai perbedaan, dan menciptakan kedamaian di antara masyarakat yang heterogen.
Seperti yang diungkapkan oleh Hasanah, nilai-nilai yang tertanam dalam kearifan lokal dapat terus dipelihara sebagai bagian dari upaya memelihara budaya dan identitas daerah (Hasanah, 2016). Oleh karena itu, penggunaan kata uyung tidak hanya menjadi sebuah praktik bahasa, tetapi juga menjadi simbol penting dari nilai-nilai yang harus dijaga dan dilestarikan dalam masyarakat Lampung. Hal inisenada dengan yang diungkapkan oleh Ratna bahwa karya sastra dalam hal ini adalah novelNegarabatindapat menjadi identitas bangsa secara keseluruhan dapat dikenal (N.K. Ratna, 2011b).
Dengan memasukkan nilai-nilai kearifan lokal seperti penggunaan kata uyungdalam pendidikan karakter, diharapkan generasi muda Lampung dapat tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia, menghargai keberagaman, dan mampu menjaga kedamaian serta harmoni, serta cinta damai dalam masyarakat.
Kedua, nilai kearifan lokal yang terdapat di dalam novel ini adalah kebiasaan mengaji. Kebiasaan mengaji pun mendapat posisi khusus yang dituangkan melalui subbab keempat yang berjudul “Ngaji dengan Tamong, Ngaji di Surau”. Penggunaan subjudul ini menjadi sebuah penanda bahwa adanya budaya masyarakat Lampung yang berbau religius. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Sebenarnya aku termasuk terlambat ketimbang kawan-kawan yang seletingan karena tidak langsung mengaji di surau. Mestinya setelah mengaji dengan tamong-ku, aku lanjutkan kajianku saja. Tapi, kata mamak yang duluan mengajar aku ngaji, coba dari awal dahulu. Mulai lagi dari awal alif ba ta.... Untung tidak lama, tidak sampai tamat Amma, aku sudah ngaji Quran. Di tes Wak Bakri terlebih dahulu, siapa-siapa yang sudah lancar membaca Amma, di dinaikkan ke Quran. Tapi, tetap saja aku di belakang, teman-temanku sudah juzz ke sekian, aku baru mau mulai Surat Al Fatihah dan Al Baqarah” (Karzi, 2022, hlm 45-46).
Mengaji di surau bagi masyarakat Lampung adalah sebuah hal yang harus dilakukan sejak kecil. Kutipan “Sebenarnya aku termasuk terlambat ketimbang kawan-kawan yang seletingan karena tidak langsung mengajidi surau” menjadi sebuah penanda bahwa adanya kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat Lampung dan ketika masyarakat tidak melakukannya, adanya penggambaran rasa bersalah pada masyarakatnya. Hal ini merupakan gambaran masyarakat Lampung yang dominan memeluk agama Islam. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik Way Kanan pada tahun 2015, Negara Batin secara dominan memeluk agama Islam sebesar 30.051 orang yang disusuloleh Kristen Protestan sebanyak 350 orang, Kristen Katolik sebanyak 274 orang, dan Hindu sebanyak 89 orang (Badan Pusat Statistik, 2018). Dominasi angka yang signifikan ini menunjukkan bahwa agama dominan yang terdapat di Negara Batin merupakan Islam sehingga salah satu ajaran yang terdapat di dalam ajaran tersebut adalah mengaji.
Bahkan, pemerintah Lampung meresmikan satu program yang bernama “Lampung Mengaji” pada tahun 2019 (Humas Pemprov, 2019). Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat SD/SMP/SMA/PKLK Negeri/Swasta untuk Lampung Berjaya. Program ini dilaksanakan dengan alasan khusus Gubernur Pemerintah Lampung. Gubernur Arinal menyatakan niatnya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi penduduk Lampung. Beliau juga menekankan pentingnya mempertimbangkan implikasi dari pertumbuhan ekonomi tersebut, di mana meskipun warga bisa menjadi makmur secara finansial, namun moralitas mereka mungkin tetap rendah. Dengan pemahaman tersebut, Wakil Gubernur Lampung, Chusnunia Chalim, dan Gubernur Arinal telah menyusun program Lampung Mengaji. Program ini terbukti menjadi inisiatif yang berhasil dalam membina nilai-nilai agama dan meningkatkan moralitas, yang pada gilirannya berkontribusi pada keberhasilan dan kemakmuran Lampung (Humas Pemprov, 2019).
Hubungan mengaji ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat Lampung yang tidak dapat dipisahkan. Novel Negarabatin ini menggambarkan tokoh yang mewakili masyarakat Lampung dan kebiasaannya untuk mengaji. Gambaran religiositas ini pun didukung oleh penelitian yang diungkapkan oleh Herlina bahwa Kegiatan Lampung Mengaji menjadi sebuah kebiasaan yang dapat membangun perilaku atau karakter religius peserta didik (Herlinda, 2008). Selain itu, keterlibatan reguler dalam upaya ini menumbuhkan watak religius di dalam siswa, di mana mereka menunjukkan kepatuhan yang tinggi dalam praktik devosional mereka, menunjukkan ketekunan dalam mempelajari Al-Quran, memiliki ingatan menyeluruh tentang ayat-ayat suci, menunjukkan rasa saling menghormati, dan mencontohkan berbagai perilaku konstruktif lainnya (Herlinda, 2008).
Oleh karena itu, tindakan pemberian upeti di Lampung mencakup lebih dari sekedar perayaan keagamaan, melainkan telahberkembang menjadi elemen intrinsik identitas budaya lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Praktik mengaji ini mencontohkan komitmen tak tergoyahkan masyarakat Lampung terhadap prinsip-prinsip agama yang mendalam dan pengabdian spiritual. Selain itu, tindakan pelayanan berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat, seringdilakukan secara kolektif di masjid atau tempat tinggal tetangga.
Kebijaksanaan adat yang tertanam dalam praktik mengaji ini menandakan religiositas mendalam yang ditunjukkan oleh orang-orang Lampung. Mereka sangat menghormati tradisi ini dan melestarikannya sebagai aspek yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, praktik melayani juga membangun landasan etika yang kuat bagi anak-anak, menanamkan di dalam diri mereka penghormatan terhadap ajaran agama dan menumbuhkan kehidupan yang dijiwai dengan kesadaran spiritual.
Dalam bidang pendidikan karakter, kegiatan mengaji memberikan kontribusi besar dalam membentuk kompas moral dan perilaku etis pemuda Lampung. Mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang doktrin agama, tetapi mereka juga menginternalisasi nilai-nilai seperti disiplin diri, ketabahan, integritas, dan empati. Dengan demikian, kegiatan Mengaji bukan semata-mata upaya keagamaan, melainkan membentuk landasan yang kokoh dalam menumbuhkan ciri-ciri karakter budi dalam generasi muda Lampung. Tentunya, nilai tersebut merupakan gambaran gagasan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik yang ditanamkan dan diikuti oleh anggota masyarakat sebagai wujud keunggulan budaya masyarakat .
Nilai pendidikan karakter berupa religiositas pun muncul dari tradisi sunat yang ada di bagian subjudul selanjutnya pada novel ini, “Bediom Lalu Disunat”. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Sebelum hari H tiba, Uyung yang sudah kelas dua SD dikhitan. Jenno Mantri Sunat, Tamong Muni yang datang.
Memang sudah dikatakan Uyung pada bak-nya, Jahri. Ia ingin sunat.
“Malu. Teman-teman sudah sunat semua,” ujar Uyung.
“Iya, Nak. Nanti sunat saktu kita pindah rumah. Sabar ya, Nak,” Jahri menenangkan anaknya.
“Tapi jangan menangis kalau sunat ya.” (Karzi, 2022, hlm 53).
Kutipan “Malu. Teman-teman sudah sunat semua,” ujar Uyung” dapat dimaknai sebagai rasa malu tokoh Uyung karena dirinya yang belum sunat. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, mayoritas masyarakat Lampung beragama Islam sehingga dalam Islam, sunat merupakan hal yang diwajibkan bagi muslim. Khitan atau sunatan, seperti yang dikenal di pulau Jawa, merupakan salah satu syariat yang dianjurkan dalam Islam. Praktik khitan bukan hanya sekadar kewajiban agama, tetapi juga merupakan bagian dari identitas seorang Muslim (Azizah, 2022). Khitan dijadikan sebagai salah satu tindakan preventif untuk menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Penting untuk dicatat bahwa khitan juga memiliki dampak positif dalam menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan. Selain memperhatikan aspek kebersihan fisik, praktik ini juga melibatkan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang kuat. Melalui proses khitan, seorang Muslim diingatkan akan komitmen dan ketaatannya kepada ajaran agama. Selain itu, proses khitan sering kali diiringi dengan perayaan kecil yang melibatkan keluarga dan masyarakat sebagai bentuk dukungan dan penerimaan terhadap individu yang menjalani proses tersebut. Ini mencerminkan pentingnya dukungan sosial dalam menjalankan ajaran agama.
Dengan demikian, khitan bukan hanya suatu praktik ritual semata, tetapi juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identitas dannilai-nilai Islam yang dijunjung tinggi oleh umat Muslim. Khitan memainkan peran penting dalam membentuk identitas keagamaan, membangun komitmen dan tanggung jawab moral, serta memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat Muslim, termasuk di masyarakat Lampung.
Khitan menjadi sebuah kearifan lokal dari budaya masyarakat Lampung yang nantinya akan ada perayaan yang dilakukan oleh keluarga Uyung dalam narasi dalam merayakan khitanan dan pindah rumah (bediom). Kearifan lokal lainnya yang dipercaya oleh masyarakat Lampung yang tercermin di dalam narasi adalah bediom. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut.
“Pindah rumah tersebut membawa tempat tidur, alat memasak, lampu, makanan, sajadah, dan Alquran. Alquran dan sajadah dibawa kepala keluarga yaitu menandakan ia kepala keluarga atau imam di keluarganya. Bawaan lainnya yang diangkat minak-muari dan tetangga adalah pertanda satu keluarga yangbediomhendak memulai kehidupan yang baru. Bawaan tersebut diberikan kepada kepala keluarga sebagai modal melanjutkan kehidupan di tempat yang baru.” (Karzi, 2022, hlm 53).
Tradisi Bediom atau pindah lamban di masyarakat pesisir Lampung (khususnya Lampung Saibatin) memiliki kesamaan usia dengan filosofi piil pusenggiri yang dianut oleh masyarakat Lampung (Admin, 2017). Filosofi tersebut terdiri dari berjuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambaian.Bediom merupakan salah satu bentuk pelaksanaan nemui nyimah, di mana seseorang dianggap telah mampu berinteraksi dengan masyarakat Lampung lainnya saat ia mandiri untuk menempati rumah sendiri. Secara definitif, budaya lokal bediom menjadi sebuah kebudayaan dalam ruang yang terbatas dengan cadangan pengetahuan bersama yang di dalamnya individu berhubungan dengan secara personal dengan ritual masa lalu yang didasarkan atas suku, agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan komunal yang lain.
Tradisi Bediom memiliki tujuan yang jelas. Pertama, sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas diberikannya rezeki untuk menempati rumah baru dan mandiri. Kedua, untuk mengabarkan kepada penduduk sekitar bahwa rumah tersebut telah ditempati oleh penghuni baru. Ketiga, untuk memperkuat hubungan silaturahmi dengan penduduk sekitar rumah yang baru ditempati (Admin, 2017).
Melalui pelaksanaan Bediom, nilai-nilai seperti rasa syukur, kerja keras, kebersamaan, dan saling menghormati, serta terwujud dalam tindakan nyata. Ungkapan syukur kepada Sang Penciptaatas rezeki yang diberikan dalam bentuk rumah baru dan mandiri, menunjukkan pentingnya bersyukur atas nikmat yang diberikan serta rasa tanggung jawab dalam memanfaatkannya. Selanjutnya, tradisi ini juga menekankan pentingnya memperkuat hubungan silaturahmi dengan penduduk sekitar, menunjukkan nilai-nilai saling peduli dan solidaritas sosial.
Peran tetua atau pemuka agama dalam memimpin acara Bediom menambah dimensi religius dalam tradisi ini. Mereka tidak hanya memimpin doa-doa untuk keselamatan dan keberkahan bagi pemilik rumah baru, tetapi juga terlibat secara aktif dalam proses sosialisasi nilai-nilai agama dan moral kepada generasi muda. Dengan demikian, Bediom tidak hanya menjadi momen kebahagiaan bagi keluarga yang pindahrumah, tetapi juga menjadi ajang pembelajaran dan pemantapan nilai-nilai keagamaan dan sosial bagi seluruh komunitas.
Tidak hanya nilai pendidikan karakter dominan terkait dengan nilai cinta damai, nilai religi yang terdapat dalam novel ini, nilai dominanlainnya yang muncul adalah nilai kerja keras. Nilai ini pun dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya terkait dengan bediomyang dilakukan oleh masyarakat Lampung. Nilai kerja keras lainnya tergambar melalui ngusi. Kutipan initerdapat dalam subjudul “Sapsada* Berbunyi Sore” pada bagian 9 sebagai berikut.
“Ketika ada rencana ngusi hendak membuat ladang yang baru, dibicarakan terlebih dahulu dengan seisi rumah. Kapan harinya, tanggal berapa, bulan berapa, kita hendak ngusi. Semua alat hendak dibawa ke hutan yang hendak dibuka. Ada doa-doanya yang tidak bisa diabaikan agar nanti ladang yangtikusinanti memberikan rezeki yang baik kepada pemiliknya. Pullan yang hendak tikusi harus tibebali terlebih dahulu. Ngebebali ini permisi kepada penunggu hutan. Membersihkan hutan dari yang gain ataumakhluk halus agar pemilik lahan damai atau tidak bersengketa dengan yang lebih dahulu menghuni lahan dan tidak saling mengganggu” (Karzi, 2022, hlm 75).
Ngusi dalam masyarakat Lampung dapat dipahami sebagai pembukaan hutanuntuk lahan pertanian. Hal ini karena dominasi pekerjaan masyarakat Lampung, khususnya daerah Negara Batin adalah bertani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tradisi ngusi menjadi sebuah budaya yang sudah biasa dilakukan olehmasyarakat Lampung. Tradisi ngusi dalam masyarakat Lampung, yang merupakan pembukaan hutan untuk lahan pertanian, menunjukkan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Praktik ngusitidak hanya sekadar tindakan fisik untuk membuka lahan baru, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang mengatur interaksi manusia dengan lingkungan dan makhluk halus.
Sebelum melakukan ngusi, masyarakat Lampung terlebih dahulu membicarakan rencana tersebut dengan seisi rumah. Hal ini menunjukkan pentingnya konsensus dan kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan yang berdampak pada lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Penetapan tanggal, bulan, dan ritual doa-doanya menunjukkan adanya penghormatan terhadap alam dan penunggu hutan sebagai bagiandari kepercayaan lokal.
Praktik-praktik adat yang diamati oleh penduduk Lampung sebelum terlibat dalam pertanian ditandai dengan kepatuhan mereka yang kuat terhadap nilai-nilai tertentu, terutama ketekunan mereka dalam mengejar mata pencaharian. Sebelum memulai kegiatan pertanian mereka, masyarakat Lampung akan mengadakan pertemuan yang melibatkan seluruh anggota keluarga untuk menyusun strategi pembukaan lahan baru. Ini menunjukkan dedikasi mereka untuk memastikan persiapan menyeluruh sebelum memulai proses pertanian. Keuletan yang ditampilkan dalam fase persiapan inimenunjukkan komitmen mereka yang tak tergoyahkan terhadap pengerjaan pertanian mereka.
Selain itu, selama pelaksanaan praktik pertanian mereka, masyarakat Lampung menunjukkan kerja keras yangtulus. Mereka akan mengumpulkan semua peralatan yang diperlukandan mengangkutnya ke lokasi hutan yang ditentukan, membersihkan tanah dari vegetasi yang ada, dan melakukan doa yang diperlukan, yang sangat penting. Berbagai tahapan ini membutuhkan upaya fisik dan mental yang cukup besar,lebih lanjut menggarisbawahi tekad mereka untuk mencari nafkah dan mencapai kesuksesan di bidang pertanian.
Nilai kerja keras tidak hanya terbukti dalam persiapan dan pelaksanaan praktik-praktik ini tetapi juga dalam upaya untuk mempertahankan hubungan yang harmonis dengan alam. Prinsip bersarang, yang melibatkan pembukaan hutan dari makhluk halus sebelum memulai kegiatan pertanian, membutuhkan perhatian khusus dan pemahaman, serta penghormatan terhadap, lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, praktik-praktik masyarakat Lampung melampaui kegiatan pertanian belaka dan berfungsi sebagai manifestasi dari nilai-nilai abadi kerja keras yang membentuk fondasi yang kokoh untuk mencari mata pencaharian dan menumbuhkan keharmonisan dengan alam.
Selain itu, penggambaran kearifan lokal yang terdapat di dalamnya adalah budaya lokal yang tidak jauh berbeda dengan masa lampu yang semuanya berkaitan dengan masa lalu. Secara antropologis, seseorang memiliki keterkaitan dengan tempat kelahirannya masing-masing. Hal ini menimbulkan kerinduan yang dialami oleh manusia, khususnya yang merantau. Hal ini pun dialami oleh penulis (Udo Z. Karzi) melalui novel ini karena di dalamnya, penulis menunjukkan sebuah narasi adanya tindakan merantau tokoh Uyung untuk bersekolah. Hal ini pun menunjukkan adanya nilai kerja keras yang dilakukan oleh tokoh dan menjadi representasi merantau bagi masyarakat Lampung walaupun masih dalam satu provinsi yang sama.
Penggambaran kearifan lokal dalam novel ini tidak hanya mencakup budaya lokal yang kaya, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai yang kuat, termasuk nilai kerja keras. Dalam konteks ini, terlihat bahwa budaya lokal Lampung memiliki keterkaitan erat dengan masa lalu dan akar tempat kelahiran individu. Hal ini menimbulkan kerinduan akan rumah danidentitas asli, terutama bagi mereka yang merantau. Pengalaman merantau yang dialami oleh tokoh Uyung dalam novel menjadi sebuah cerminan nilai-nilai kerja keras. Meskipun merantau dalam skala yang relatif kecil, yaitu hanya untuk bersekolah di tempat yang lebih jauh, namun hal ini mencerminkan dedikasi dan usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Meskipun masih berada dalam satu provinsi yang sama, tindakan ini menunjukkan semangat untuk berjuang dan bekerja keras demi mencapai keunggulan dalam pendidikan.
Dengan demikian, nilai kerja keras menjadi sebuah tema yang melintasi budaya lokal Lampung dalam novel ini. Melalui kisah merantau tokoh Uyung, pembaca diperkenalkan pada nilai-nilai penting yang melandasi kehidupan masyarakat Lampung, termasuk semangat untuk bekerja kerasdemi meraih cita-cita dan memperoleh keunggulan dalam kehidupan.
KESIMPULAN
Novel Negarabatin karya Udo Z. Karzi menghadirkan berbagai kearifan lokal masyarakat Lampung yang dianalisis melalui pendekatan antropologis dalam sastra. Dalam konteks sastra, kualitas suatu karya tidak hanya dilihat dari objeknya, melainkan juga dari representasi citra dan makna yang disampaikan. Melalui petanda-petanda dalam novel, pembaca dapat memahami dan meresapi kearifan lokal serta menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Nilai pendidikan karakter tercermin dalam berbagai tradisi dan budaya yang dijelaskan dalam novel tersebut. Misalnya, pemanggilan nama Uyung sebagai upaya untuk meniadakan kesenjangan dan mempromosikan toleransi serta cinta damai. Selain itu, tradisi mengaji dan bediom, yang diikuti dengan praktik sunat, menunjukkan nilai-nilai religiositas yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, ngusi dan merantau menjadi simbol dari nilai kerja keras dan semangat untuk mencapai tujuan. Implikasi dari analisis ini menunjukkan pentingnya memanfaatkan sastra lokal sebagai sumber nilai-nilai kearifan dalam pembentukan pendidikan karakter. Integrasi materi sastra lokal dalam kurikulum pendidikan dapat membantu siswa untuk lebih memahami dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Selain itu, kolaborasi antara penulis lokal, pendidik, dan pemerintah setempat diperlukan untuk mendokumentasikan dan mempromosikan karya sastra lokal sebagai sumber inspirasi dalam pengembangan modul pendidikan karakter. Dengan demikian, pemanfaatan sastra lokal dalam konteks pendidikan karakter dapat menjadi langkah strategis dalam membentuk generasi muda yang memiliki karakter positif dan berdaya saing tinggi, serta memperkokoh identitas budaya masyarakat Lampung dan Indonesia secara lebih luas.
REFERENCES
Admin, 2024. Ini Dia Arti Nama Uyung yang Populer Untuk Nama Bayi Laki-laki maupun Nama Bayi Perempuan [WWW Document]. Namibia. URL https://namamia.com/nama-bayi/uyung.html (accessed 2.6.24).
Admin, 2017. Bediom [WWW Document]. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. URL https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=487#:~:text=Bediom%20adalah%20salah%20satu%20bentuk,telah%20mandiri%20menempati%20rumah%20sendiri. (accessed 2.6.24).
Azizah, S., 2022. Khitan Dalam Pandangan Islam Sesuai Al Quran danHadist [WWW Document]. BSI MAslahat. URL https://www.bsimaslahat.org/blog/khitan-dalam-pandangan-islam-sesuai-al-quran-dan-hadist/ (accessed 2.6.24).
Badan Pusat Statistik, 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten Way Kanan [WWW Document]. URL https://waykanankab.bps.go.id/statictable/2016/11/30/452/banyaknya-penduduk-menurut-kecamatan-dan-agama-yang-dianut-di-kabupaten-way-kanan-2015-.html (accessed 2.6.24).
Hasanah, S.A., 2016. PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL PEMBENTUK KARAKTER BANGSA [WWW Document]. Seminar Nasional Pendidikan. URL https://jurnal.unej.ac.id/index.php/fkip-epro/article/view/5828/4326 (accessed 1.24.24).
Herlinda, C.S., 2008. THE CONNECTION OF LAMPUNG’S RECITATION ACTIVITIES ON DEVELOPING RELIGIOUSCHARACTER AT SMP EL-SYIHAB BANDARLAMPUNG. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Humas Pemprov, 2019. Gubernur Arinal Resmikan Program Lampung Mengaji dan Kurikulum Bahasa Lampung -Website Resmi Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Lampung [WWW Document]. URL https://biroadpim.lampungprov.go.id/detail-post/gubernur-arinal-resmikan-program-lampung-mengaji-dan-kurikulum-bahasa-lampung (accessed 2.6.24).
Izhar, 2021. Inserting Lampung Local Wisdom In Learning Indonesian Language And Its Implications On Character Education, in: Proceedings of the 6th International Conference on Science, Education and Technology (ISET 2020). Atlantis Press.
Karzi, U.Z., 2022. Negarabatin: Negeri di Balik Bukit. PT Dunia Pustaka Jaya, Bandung.
MAN 2 Agam, 2022. Marjanis: 18 Nilai Pendidikan Karakter, Bekal Hidup Lebih Baik -[WWW Document]. URL https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/64919/marjanis-18-nilai-pendidikan-karakter-bekal-hidup-lebih-baik (accessed 9.21.23).
Novianti, A., 2023. FAKTA CERITA DALAM NOVEL NEGARABATIN NEGERI DI BALIK BUKIT KARYA UDO Z. KARZI DAN IMPLIKASINYA PADA BUKIT KARYA UDO Z. KARZI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA. Skripsi. Universitas Lampung, Lampung.
Pengelola Web Kemdikbud, 2017. Penguatan Pendidikan Karakter Jadi Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional [WWW Document]. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. URL https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/07/penguatan-pendidikan-karakter-jadi-pintu-masuk-pembenahan-pendidikan-nasional (accessed 1.24.24).
Ratna, I.N.K., 2011. ANTROPOLOGI SASTRA: PERKENALAN AWAL Anthropology Literature: an Early Introduction I Nyoman Kutha Ratna. CORE.
Ratna, N.K., 2011a. Antropologi Sastra “Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif.” Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ratna, N.K., 2011b. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Rusbiyantoro, W., 2011. PENGGUNAAN KATA SAPAAN DALAMBAHASA MELAYU KUTAI. PAROLE: Journal of Linguistics and Education 2, 59–76.
Syarifah, M.M., Suyitno, Suwanto, S., 2019. The Local Wisdom Value in Literary Teaching Material in IndonesianLanguage Textbook [WWW Document]. Proceedings of the 1st Conference of Visual Art, Design, and Social Humanities by Faculty of Art and Design, CONVASH 2019. URL https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.2-11-2019.2294930 (accessed 1.26.24).
Winataputra, U.S., Setiono, S., 2017. Pedoman Umum Penggalian dan Perwujudan Nilai Ahlak Bagian Penguatan Pendidikan Karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Copyright © 2024, Roma Kyo Kae Saniro, Andina Meutia Hawa,Dyani Prades Pratiwi, Noni Sukmawati
The manuscript open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
Sumber: Jurnal Serambi Ilmu Vol.25, No. 1 Maret 2024
link: https://jurnal.serambimekkah.ac.id/index.php/serambi-ilmu/article/view/1292/1144 (diakses, 11/5/2024).
No comments:
Post a Comment