October 2, 2024

Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Lampung pada Novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit

Oleh Roma Kyo Kae Saniro1), Andina Meutia Hawa2), Dyani Prades Pratiwi3), Noni Sukmawati4) 




Abstract

This  research  aims  to  describe  the  values  of  local  wisdom  in  the  novel Negarabatin:  Negeri  di  Balik  Bukit  by  Udo  Z.  Karzi  (2022).  The  research method  used  is  descriptive  analysis  with  a  literary  anthropology  approach elaborated with the presence of character education values. The result of the research   indicating   several   values   of   local   wisdom   of   the   Lampung community  in  their  perspective  of  life.  These  include  the  use  of  the  name "Uyung"  to  bridge  existing  gaps  as  a  form  of  tolerance  and  peace;  the practice  of  reciting  the  Quran  and  the  tradition  of  "bediom"  followed  by circumcision  as  religious  values;  and "ngusi"  (clearing  potential to  serve  as tools for character education, representing the Lampung community that can be  passed  on  to  the  younger  generation  of  Lampung  and  Indonesia  more broadly.  The  implications  of  this  research  emphasize  the  importance  of utilizing  local  literature  as  a  source  of  values  in  developing  character education,  which  can  help  shape  positive  character  traits  in  children  and adolescents  within  the  context  of  their  culture  and  society.  Schools  and educational institutions can consider integrating local literary materials into the curriculumto make it easier for students to access and understand these values.  Furthermore,  efforts  are  needed  to  document  and  promote  local literary  works  as  sources  of  inspiration  in  developing  character  education modules.


Keywords: anthropology approach, character education values, local wisdom


1) Roma Kyo Kae Saniro adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: romakyokae@hum.unand.ac.id.

2) Andina Meutia Hawa adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: andinameutiahawa@hum.unand.ac.id.

3) Dyani Prades Pratiwi adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia dynipradespratiwi@hum.unand.ac.id

4) Noni Sukmawati adalah Dosen Universitas Andalas, Padang, Indonesia Email: nonisukmawati@hum.unand.ac.id


INTRODUCTION

Indonesia memiliki  berbagai  etnis  dan  budaya  yang  tentunya  memberikan gambaran   dari   kearifan   lokal   yang   ada   di   dalamnya,   salah   satunya   masyarakat Lampung.  Kearifan  lokal  menjadi  sebuah  penanda  yang  ada  di  suatu  wilayah  untuk menunjukkan identitas atau jati orang tersebut. Kearifan lokal pun menjadi sebuah alat untuk  mengantisipasi  berbagai  permasalahan,  khususnya  pada  dunia  kontemporer  (N.K.  Ratna,  2011).  Walaupun  pada  umumnya,  pada  masa  kontemporer kini,  manusia seakan-akan  berada  pada  titik  ilmu  pengetahuan  yang  tinggi.  Padahal,  manusia  harus tetap melihat masa lampau, pada alam semesta sebagai tempat berpijak  (N. K. Ratna, 2011).

Kearifan  lokal  sebagai  sebuah  kebijaksanaan  mampu  digunakan  sebagai  alat untuk  menghadapi  berbagai  permasalahan  yang  terjadi  pada  era  globalisasi  ini.  Selain itu,  kearifan  lokal  menjadi  sebuah  gejala  budaya  yang  terbentuk  secara  terus-menerus dan berabad-abad baik secara disengaja maupun tidak sengaja. Hal ini menjadi penanda bahwa  kearifan lokal  dapat  menjadi  sebuah  identitas  dari  suku  yang  beragam  dan tersebar di seluruh Indonesia. 

Kearifan lokal menjadi sebuah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik yang ditanamkan dan diikuti oleh anggota masyarakat sebagai wujud keunggulan budaya  masyarakat  (Hasanah,  2016).  Lebih  jauh,  kearifan  lokal  memiliki  konsep sebagai sebuah pengalaman panjang hidup seseorang yang diendapkan menjadi sebuah petunjuk   perilaku   seseorang;   kearifan   lokal   tidak   dapat   lepas   dari   lingkungan pemiliknya;  serta  kearifan  lokal  bersifat  dinamis,  lentur,  terbuka,  dan  senantiasa menyesuaikan  dengan  zaman  (Naritoom  dalam  Hasanah,  2016).  Selain  itu,  fungsi kearifan  lokal  pun  sangat  beragam,  yaitu  sebagai  konservasi  dan  pelestarian  sumber dayaalam; pengembangan sumber daya manusia; pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan;  sebagai  petuah,  kepercayaan,  sastra  dan  pantangan;  bermakna  sosial; bermakna etika dan moral; serta bermakna politik (Sartini dalam Hasanah, 2016). 

Indonesia  memiliki  berbagai  kearifan  lokal  yang  sangat  beragam (Ratna,  2011). Salah  satunya  adalah  keberagaman  adat -istiadat  yang  menjadi  sebuah  lautan  makna yang  tidak  pernah  habis  untuk  dinikmati  dan  diteliti.  Hal  ini  didukung  oleh  adanya moto  Bhinneka  Tunggal  Ika  yang  dapat  memberikan  gambaran  bahwa  Indonesia memiliki  keberagaman  dalam  masyarakatnya  (Ratna,  2011). Walaupun  kearifan  lokal disajikan dengan bahasa daerah yang berbeda-beda, kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya bersifat universal yang dapat diterapkan oleh etnis apapun. 

Seperti  yang  diungkapkan  sebelumnya  bahwa  kearifan  lokal  mampu  menjadi sebuah  media  untuk  pengajaran  pendidikan  karakter.  Tidak  hanya  itu,  media  yang dapat  digunakan  dalam  penjewantahan  kearifan  lokal  dapat  melalui  sebuah  karya sastra. Sastra  yang  tidak  hanya diungkapkan  sebagai  refleksi saja,  tidak hanya  untuk memantulkan  kenyataan,  tetapi  juga  mampu  untuk  merefleksikan,  membelokkannya sehingga   berhasil   mengevokasi   keberagaman   budaya   secara   bermakna (Ratna, 2011). Ratna  pun menambahkan  bahwa  data  karya  sastra  selalu  berada  dalam  konteks, bukan  dalam  kondisi  vakum  dan  data  otonom  menurut  pemahaman  yang  lain   (Ratna, 2011).

Sastra  dapat  dikatakan  sebagai  dunia  dalam  kata  dan  dunia  miniatur  dengan unsur-unsur penyajian  yang  sangat terbatas sehingga banyak ruang kosong  yang dapat diisi  dan dijelaskan  (Ratna,  2011). Penggunaan  kearifan  lokal  pada  sastra  dapat dikatakan efektif karena pengarang tidak memerlukan waktu, biaya, dan tenaga (N.K. Ratna,  2011b).  Karya  yang  dihasilkan  akan  dinikmati  oleh  para  pembaca  dengan berbagai  warna  lokal sebagai  ciri-ciri  antropologis  manusia  secara  universal,  kembali ke masa lalu sebab masa lalu memberikan kedamaian, kembali ke masa lampau seolah-olah kembali ke kampung halaman (N. K. Ratna, 2011b).

Dengan  demikian,  kearifan  lokal  sangat  erat  dengan  budaya  yang  merupakan penghubung  antropologi  sastra.  Hal  ini  mengingat  bahwa  antropologi  menjadi  sebuah analisis  untuk  mengungkapkan  aspek-aspek  kebudayaan  dari  masyarakat  tertentu. Namun,  hal  tersebut  dihadirkan  secara  tersembunyi  sehingga analisis  perlu  dilakukan untuk membongkar aspek antropologis tersebut. 

Nantinya, kearifan lokal tersebut akan menjadi sebuah media pendidikan karakter yang  dapat  diterapkan  oleh  masyarakat  setempat  atau  masyarakat  luas.  Hal  ini  senada dengan  yang  diungkapkan  oleh  Ratna  bahwa  tidak  kearifan  lokal  (khususnya  sastra) yang  memiliki  muatan  negatif  (Ratna,  2016).  Selain  itu,  memanfaatkan  kearifan  lokal sama dengan menghormati sekaligus menggunakan kompetensi budaya leluhur (Ratna, 2011). Dalam karya sastra, kearifan lokal dapat tergambarkan melalui lisan dan tulisan. Sebagai  sebuah  bahasa,  keterbatasan  dalam  mengingat,  melafalkan,  atau  menularkan terjadi. Oleh karena itu, kearifan lokal dapat tertuang melalui adanya wacana. 

Jika  menelaah lebih  mendalam,  pendidikan  karakter  menjadi  sebuah  hal  yang mendasar  dan  penting  ditumbuhkembangkan  pada  generasi  muda  karena  pendidikan karakter  menjadi  salah  satu  program  prioritas  Presiden  Joko  Widodo  dan  Wakil Presiden  Jusuf  Kalla  (Pengelola  Web  Kemdikbud,  2017). Hal  tersebut  tertuang  dalam nawa  cita  yang  mengandung  isi  bahwa  pemerintah  akan  melakukan  revolusi  karakter bangsa  melalui  pengimplementasian  penguatan  karakter  penerus  bangsa  dalam  bentuk gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK) sejak 2016 (Pengelola Web Kemdikbud, 2017). Hal ini dapat dilihat dari adanya inisiasi pemerintah Republik Indonesia melalui Kebijakan  Nasional  Pembangunan  Karakter  Bangsa  dalam  meningkatkan  kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku serta olahraga seseorang atau sekelompok orang (Hasanah,  2016).  Pendidikan  karakter  memiliki  peranan  penting  dalam  kehidupan seseorang  karena  pendidikan  karakter  lebih  diutamakan  daripada  akademik  (Hasanah, 2016).  Berdasarkan  hal  tersebut,  karya  sastra  yang  berisi  mengenai  kearifan lokal masyarakat  mampu  menjadi sebuah media untuk   penumbuhkembangan    nilai pendidikan karakter. 

Salah   satu   karya   yang   memuat   kearifan   lokal   masyarakat   adalah   novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (2022) karya Udo Z.  Karzi  yang merupakan karya sastra  yang  mencakup  beragam  aspek kehidupan  dan  budaya  masyarakat  Lampung. Diterbitkan pertama kali oleh PT Dunia Pustaka Jaya, novel ini menjadi suatu medium yang  menggambarkan  kearifan  lokal  yang  kaya  dan  dapat  menjadi  sumber  nilai pendidikan karakter yang berharga. Dalam novel ini, pembaca dibawa untuk mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Lampung.  Melalui  cerita  dan  penggambaran  karakter,  pembaca  diperkenalkan  dengan berbagai   tradisi,   adat-istiadat,   dan   kebiasaan   yang   menjadi   bagian   integral dari kehidupan masyarakat Lampung. 

Kearifan lokal yang terkandung dalam novel ini tidak hanya menjadi bagian dari latar   cerita,   tetapi   juga   menyiratkan   nilai-nilai   pendidikan   karakter   yang   kuat. Misalnya,   dalam   tradisi bediom terdapat   nilai-nilai   seperti   kerja   keras,   saling menghormati,  dan  kebersamaan  dalam  keluarga.  Begitu  pula  dalam  tradisi ngusi dan merantau, terdapat nilai-nilai semangat pantang menyerah, kemandirian, dan keteguhan dalam   mencapai   tujuan.   Novel   ini menyajikan   nilai-nilai   kearifan   lokal   yang terkandung  dalam  novel  ini  dapat  dijadikan  sebagai  inspirasi  untuk  pengembangan pendidikan  karakter,  baik  di  lingkungan  pendidikan  formal  maupun  non-formal,  guna membentuk  generasi  muda  yang  memiliki  karakter  yangkuat  dan  berlandaskan  pada nilai-nilai yang baik. 

Penelitian yang menggunakan korpus ini pernah dilakukan oleh Novianti (2023). Namun, penelitian ini berfokus pada unsur intrinsik berupa tokoh, alur, dan latar novel Negarabatin,  serta  kaitannya  dengan  pembelajaran  bahasa  Indonesia  di  SMA  sebagai materi ajar dalam kompetensi dasar guna menganalisis isi dan kebahasaan yang ada di novel  tersebut.  Hasil  penelitian  ini  mengungkapkan  bahwa  nantinya,  novel  ini  dapat menjadi  sebuah  stimulus  untuk  menganalisis  isi dan  kebahasaan  teks  novel  yang disertai  dengan  acuan  pendidik  dalam  berupa  rancangan  pelaksanaan  pembelajaran (RPP)  di  kelas  (Novianti,  2023). Penelitian  ini  tidak  memaparkan  terkait  dengan kearifan lokal sebagai nilai pendidikan karakter di dalam novel. 

Penelitian  lainnya  yang relevan  dengan  kearifan  lokal  sebagai  pendidikan  karakter pernah  dilakukan  oleh  Rachmatsyah  et  al.  (2023),  Izhar  (2021), dan  Syarifah  et  al. (2019). Persamaan ketiga penelitian ini adalah pengungkapan nilai pendidikan karakter. Namun,   perbedaan   ketiga  penelitian   ini   adalah   pada   korpus,   metode,   dan   hasil penelitian. 

Penelitian   Rachmatsyah   berfokus   pada   pentingnya   pendidikan   karakter   dan keterampilan pengetahuan dalam pemahaman siswa tentang kearifan lokal berdasarkan budaya  adat  peusijuek  di  Aceh.  Ini  menggunakan  metode  kualitatif  deskriptif  dan sumber   sekunder   untuk   pengumpulan  data.   Temuan  tersebut   meliputi   jenis-jenis kegiatan  peusijuek,  nilai-nilai  karakter  yang  dimiliki  siswa,  dan  nilai  kearifan  lokal dalam  pelaksanaan  peusijuek. Kesimpulannya  menyoroti bahwa  peusijuek  adalah bagian  dari  budaya  tradisional  Aceh  dan  menekankan  nilai-nilai  pendidikan  karakter seperti toleransi, nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial, dan kerja sama.

Berbeda    dengan    penelitian    Izhar,    penelitian    ini    membahas    pentingnya memasukkan nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaran dengan memasukkan nilai-nilai   kearifan   lokal,   khususnya   di   daerah   Lampung,   untuk   mengatasi   dekadensi karakter   yang   disebabkan   oleh   sistem   pendidikan   yang   lebih   berfokus   pada perkembangan  kognitif  (Izhar,  2021).  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  menggambarkan nilai-nilai  kearifan  lokal  di  Lampung  dan  menjelaskan  bagaimana  memasukkan  nilai-nilai   ini   ke   dalam   materi   pembelajaran   bahasa   Indonesia   untuk   siswa   sekolah menengah,   menyoroti   implikasinya   terhadap   pendidikan   karakter   (Izhar,   2021). Penelitian ini bersifat kualitatif, memanfaatkan penelitian perpustakaan dan wawancara untuk  mengumpulkan  data.  Temuan  menunjukkan  bahwa  kearifan  lokal  Lampung dapat   diintegrasikan   ke   dalam   materi   pembelajaran   bahasa   Indonesia melalui pengembangan  teks  eksposisi,  yang  pada  akhirnya  berkontribusi  pada  pembentukan karakter siswa.

Berbeda  dengan  Izhar,  penelitian  Syarifah  et  al.  membahas  terkait  dengan kearifan  lokal  yang  termuat  dalam  sastra  telah  dilakukan oleh  (Syarifah  et  al., 2019). Berdasarkan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Syarifah  et,  al.,  kearifan  lokal  dalam materi pengajaran sastra diimplementasikan melalui nilai-nilai agama, sosial, dan moral (Syarifah  et  al.,  2019).  Buku  teks  bahasa  Indonesia  untuk  siswa  kelas  delapan  SMP terdiri  dari  tiga  topik  sastra  berupa  puisi,  drama,  dan  cerita  pendek.  Teks-teks  sastra dalam buku teks memberikan manfaat dan pengalaman kepada pembaca tentang makna hidup,   dan   mereka   dapat   digunakan   untuk   mendidik   dan   mengajarkan   karakter (Syarifah  etal.,  2019)..  Pembahasan  temuan  penelitian  dibagi  menjadi  kearifan  lokal dalam  puisi,  teks  drama,  dan  cerita  pendek,  dengan  fokus  pada  menumbuhkan  nilai-nilai  moral.  Teks-teks  puisi  dalam  buku  teks  berisi  nilai-nilai  agama  dan  moral, menekankan pentingnya tidak kehilangan harapan dan bertanggung jawab atas masalah seseorang (Syarifah et al., 2019).

Kearifan  lokal  merupakan  warisan  budaya  yang  kaya  dan  berharga  bagi  suatu masyarakat. Salah satu medium yang sering kali menggambarkan kearifan lokal adalah karya  sastra,  termasuk  dalam  novel-novel.  Namun,  penelitian  yang  secara  khusus membahas kearifan lokal sebagai nilai pendidikan dalam korpus novel masih tergolong langka,  terutama  dalam  konteks  Indonesia.  Oleh  karena  itu,  penelitian  yang  mengkaji aspek  ini  pada  korpus  novel Negarabatin:  Negeri  di  Balik  Bukit (2022)  oleh  Udo  Z. Karzi  menjadi  relevan  dan  penting  untuk  dilakukan.  Penelitian  ini  diharapkan  dapat mengisi  kekosongan  literatur  dalam  bidang  ini  serta  memberikan  kontribusi  dalam pengembangan  kurikulum  pendidikan  karakter  di  masyarakat  Lampung  dan  Indonesia secara lebih luas. Dengan mengeksplorasi nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam novel  ini,  penelitian  ini  memiliki  potensi  untuk  memberikan  wawasan  yang  berharga bagi  pembaca  serta  menjadi  landasan  untuk  pengajaran  dan  pelestarian  kearifan  lokal Indonesia.   Oleh   karena   itu,   penelitian   ini   bertujuan   untuk   menganalisis   dan menginterpretasikan  kearifan  lokal  sebagai  nilai  pendidikan  yang  terkandung  dalam novel Negarabatin:  Negeri  di  Balik  Bukit (2022),  serta  mengeksplorasi  implikasinya dalam konteks pendidikan di masyarakat Lampung dan Indonesia.


METHOD

Pendekatan  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  antropologi  sastra.  Teori ini dirasa relevan karena antropologi sastraberusaha untuk mengelaborasi keberagaman budaya  (Ratna,  2011). Lebih  jauh,  nantinya  antropologi  sastra  mampu  sebagai  analisis danpemahaman  terhadap  karya  sastra  dalam  kaitannya  dengan  kebudayaan  (Ratna, 2011). Sebagai  sebuah analisis,  karya  sastra  akan  dinilai  melalui  penarasian  pengarang dalam karya yang secara baik dan estetik lalu, adanya evokasi kecenderungan dari suku-suku. Lalu, adanya ciri-ciri tersembunyi sebagai gejala yang diungkapkan dalam sastra. 

Aspek  yang  mendominasi  dalam  cerita,  salah  satunya  adalah  tema,  pesan,  dan pandangan  dunia  menurut  pemahaman  lain  yang  dapat  ditemui  salah  satunya  melalui sastra  (Ratna,  2011). Karya  sastra  memuat  berbagai  aspek moral  yang  berfungsi  untuk meningkatkan  kehidupan  bangsa  karena  tidak  ada  karya  sastra  yang  ditulis  dengan tujuan negatif  (Ratna,  2011). Selain  itu,  dimensi  moral  dan  spiritual,  pikiran,  dan perasaan menjadi sebuahstruktur batiniah manusia yang mampu menjadi sasaran pokok karya sastra atau seni pada umumnya (Ratna, 2011). Karya sastra berusaha memainkan bahasa  untuk menyampaikan  isi  sebagai  pesan  (Ratna,  2011). Melalui  karya  sastra, unsur-unsur  estetis  dievokasi  melalui  kekuatan  bahasa,  majas,  dan  gaya  bahasa.  Lalu, unsur-unsur antropologis ditampilkan melalui wacana. Dengan demikian, analisis sastra dapat  dilakukan pada  aspek  bentuk,  sedangkan  analisis  antropologi  sastra  dapat  dilihat melalui isi atau konten yang terdapat di dalam sastra itu sendiri. 

Pandangan  dunia  menurut  visi  Goldman  memiliki  arti  sendiri.  Hal  ini  berkaitan dengan karya yang bertemu, bekerja sama, baik secara epistemologis maupun aksiologis dengan bidang ilmu antropologi. Dengan  demikian, pandangan dunia merupakan unsur yang paling relevan baik bagi peneliti sastra dan antropologi dalam rangka memperoleh pemahaman  mengenai  eksistensi  kelompok  tertentu  seperti  yang  dikemukakan  dalam karya  sastra,  atau  sebaliknya  dapat  memahami  karya  sastra  dalam  kaitannya  dengan komunitas  tertentu,  subjek  transindividual  menurut  pandangan  lain  (N.  K.  Ratna, 2011b).  Lebih  jauh,  Biron  mengungkapkan  bahwa  pandangan  dunia  merupakan  kunci untuk   memahami   ciri-ciri   mentalitas   budaya   pada   periode   bersejarah   tertentu.Pandangan  dunia  memberikan  perspektif  lainnya  di  luar  unsur  intrinsik,  seperti  tema sebagai  unsur  metafisik  yang  memiliki  hubungan  sebab-akibat  yang  disebut  dengan plot. 

Nantinya, kearifan lokal yang terdapat di dalam novel Negarabatinakan dianalisis nilai  pendidikan  karakter  melalui  penganalisisan  18  nilai  pendidikan  karakter  (MAN  2 Agam, 2022). Nilai tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,  bersahabat/komunikatif,  cinta  damai,  gemar  membaca,  peduli  lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Antropologi  sastra  bertujuan  untuk  memberikan  identitas  terhadap  suatu  karya dengan  menganggapnya  sebagai  aspek  tertentu,  sepertiaspek  antropologis.  Ciri-ciri yang  menjadi  sebuah  petunjuk  dalam  antropologi  sastra  adalah  adanya  kecenderungan ke  masa  lampau  citra  primordial,  dan  citra  arketipe (Ratna,  2011). Selain  itu,  ciri  lain yang   mengandung   kearifan   lokal   dengan   fungsi   dan   kedudukan   masing-masing berbicara  mengenai  suku-suku  bangsa  dengan  subkategorinya,  seperti  trah,  klen,  dan kasta (Ratna, 2011).

Kearifan lokal pun dianggap sebagai jawaban atas zaman yang semakin kompleks sehingga dibutuhkan kebijakan yang dapat lebih komprehensif (Winataputra & Setiono, 2017). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kearifan lokal memiliki hubungan dan pengaruh  yang  besar  untuk  menyelesaikan  permasalahan yang  mengancam  keutuhan dan  masa  depan  bangsa,  khususnya  untuk  menghadapi  globalisasi. Kearifan  lokal menjadi sebuah media untuk dapat digunakan dalam kebijakan adanya penanaman nilai-nilai  pendidikan  karakter.  Pendidikan  karakter  dapat  menjadi  sebuah  pembudayaan nilai-nilai utama bangsa (Winataputra & Setiono, 2017). 

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Wellek bahwa salah satu ciri karya sastra adalah mengajarkan. Karya sastra disebut bermakna apabila memberikan manfaat dalamkaitannya  memberikan  nasihat,  memberikan  pengajaran,  dan  pendidikan  kepada masyarakat  pembacanya  (N. K.  Ratna,  2011b).    Selain  itu,  dapat  dipahami  pula  bahwa karya sastra adalah refleksi, rekonstruksi, bahkan ‘tiruan’ hasil kebudayaan pada masa lampau (N.K. Ratna, 2011b). Melalui karya sastra, identitas bangsa secara keseluruhan dapat    dikenal    (N.K. Ratna, 2011b).    Teks merupakan  satu  struktur  yang multidimensional dengan heterogenitas fakta sosial yang ditampilkannya sehingga harus adanya  pemahaman  kerangka  dengan  unsur-unsur  yang  heterogen,  tetapi  tetap  terbatas dalam lingkaran pandangan dunia, khususnyadalam kaitannya dengan subjek karya. 


RESULT AND DISCUSSION

Dalam  novel Negarabatin:  Negeri  di  Balik  Bukit karya  Udo  Z.  Karzi menunjukkan beberapa  warna lokal  dari  budaya  Lampung,  seperti  pemanggilan  nama Uyung untuk meniadakan  kesenjangan  yang  ada  sebagai  bentuk  toleransi  dan  cinta  damai;  kebiasaan mengaji  dan  tradisi bediom lalu  disunat  sebagai  nilai  religius;  serta ngusi sebagai  nilai  kerja keras. Selain itu, judul novel ini (Negarabatin) pun sebenarnya dapat dirujuk pada dunia nyata. Berdasarkan  data  dari  Badan  Pusat  Statistik  Way  Kanan,  Negarabatin  merupakan  salah  satu bagian dari Way Kanan (Badan Pusat Statistik, 2018).

Pertama, penggunaan nama Uyung terdapat di beberapa kutipan narasi “Menyesal ia tidak di  Negarabatin  kala  istrinya  di  antara  hidup-mati  hendak  melahirkan uyung” (Karzi, 2022, hlm.  16).  Pengunaan  panggilan  uyung  dalam  masyarakat  Lampung  dapat  dipahami  sebagai panggilan  kepada  bayi  atau anak  laki-laki.  Hal  ini senada  dengan  yang  diungkapkan  dalam Namamia.com  bahwa  nama  ini  adalah  nama  populer  untuk  anak  laki-laki  pada  tahun  1998  (Admin, 2024).

Penggunaan  nama uyung ini  mempermudah  untuk  mengidentifikasi  bayi  yang  belum diberikan nama oleh orang tuanya. Namun, penamaan ini juga tidak berakhir ketika seseorang sudah  beranjak  dewasa.  Hal  ini  ditampilkan  oleh  tokoh  yang  merasa  bahwa  ketika  ia  sudah dewasa  dan  sudah  memiliki  nama,  ia  tetap  dipanggil  Uyung.  Hal  ini  tergambar  melalui pemikiran pengarang yang secara langsung membuatnya sebagai sebuah subjudul dalam novel ini dengan judul “Uyung Kecil, Uyung Besar”. Penamaan subjudul ini menjadi sebuah warna budaya  di  dalam  masyarakat  Lampung  untuk  memanggil  anak  laki-laki  dengan  nama  yang sama. 

Penggunaan  kata uyung adalah  sebuah  penggunaan  kata  sapaan  pada  masyarakat Lampung. Kata ini lebih dominan digunakan oleh masyarakatnya dibandingkan menggunakan bentuk nama diri. Nama diri dapat dipahami sebagai nama yang diperoleh saat seseorang lahir. Biasanya, penggunaan nama diri digunakan dalam hubungan yang akrab dan biasanya sudah saling mengenal (Rusbiyantoro, 2011).

“Entah kenapa, sampai tamat SMP aku masih saja dipanggil Ebak, “Uyung”. Walau sudah  dikatakan  Hakim,  tamongku, “Umpu saya sudah ada namanya,”  entah  kenapa masih saja dipanggil uyung-uyung? tetap saja bak memanggilku Uyung.Iya, aku cucu tertuanya, yang paling disayanginya. Namaku dari tamong walaupun mak-bak-ku kurang begitu suka nama pemberian tamong. Tapi, ya, sudahlah namaku Uyung. Walaupun sudah besar tetap Uyung. Namanya masih anak kecil, tak banyak yang kuingat. Tak banyak pula yang bisa kukisahkan (Karzi, 2022).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kata sapaan uyung menjadi sebuah warna budaya masyarakat Lampung yang masih digunakanoleh masyarakatnya, khususnya orang yang lebih senior.  Walaupun  sebenarnya  tokoh  utama  memiliki  nama,  lingkungan  tokoh  utama  tetap memanggil  dirinya  dengan  kata  sapaan uyung. Tidak  hanya  menunjukkan  sebagai  penanda jenis kelamin dan usia seseorang, penggunaan kata sapaan, serta paling utama adalah sebagai identitas dari masyarakat Lampung.

Penggunaan kata sapaan uyung ini bahkan mendapatkan posisi khusus sebagai subjudul dalam novel Negarabatinini yang dapat dilihat dari subbab kedua dengan judul “Uyung Kecil, Uyung Besar”. Penggunaan kata besar dan kecil menunjukkan  bahwa kata  sapaan uyung dapat digunakan oleh semua golongan. 

Kearifan lokal dalam penggunaan kata uyung ini mencerminkan kedalaman budaya dan kearifan  yang  dimiliki  oleh  masyarakat Lampung  dalam  berkomunikasi.  Praktik  ini  tidak hanya  menunjukkan  kekayaan  linguistik  mereka,  tetapi  juga  nilai-nilai  seperti  rasa  hormat, kesopanan, dan kepedulian terhadap lawan bicara.

Dalam konteks pendidikan karakter, nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan kata uyung  dapat  dijadikan  landasan  yang  kuat  untuk  mengembangkan  karakter  yang  baik  pada generasi  muda  Lampung.  Pendidikan  karakter  yang  mempertimbangkan  kearifan  lokal  ini penting untuk memupuk sikap toleransi, menghargai perbedaan, dan menciptakan kedamaian di antara masyarakat yang heterogen.

Seperti yang diungkapkan oleh Hasanah, nilai-nilai yang tertanam dalam kearifan lokal dapat  terus  dipelihara  sebagai  bagian  dari  upaya  memelihara  budaya  dan  identitas  daerah  (Hasanah, 2016). Oleh karena itu, penggunaan kata uyung tidak hanya menjadi sebuah praktik bahasa, tetapi juga menjadi simbol penting  dari nilai-nilai  yang harus dijaga dan dilestarikan dalam  masyarakat  Lampung.  Hal  inisenada  dengan  yang  diungkapkan  oleh  Ratna  bahwa karya  sastra  dalam  hal  ini  adalah  novelNegarabatindapat  menjadi  identitas  bangsa  secara keseluruhan dapat dikenal (N.K. Ratna, 2011b).

Dengan   memasukkan   nilai-nilai   kearifan   lokal   seperti   penggunaan   kata uyungdalam pendidikan  karakter,  diharapkan  generasi  muda  Lampung  dapat  tumbuh  menjadi  individu yang  berakhlak  mulia,  menghargai  keberagaman,  dan  mampu  menjaga  kedamaian  serta harmoni, serta cinta damai dalam masyarakat.

Kedua, nilai kearifan lokal yang terdapat di dalam novel ini adalah kebiasaan mengaji. Kebiasaan mengaji  pun  mendapat  posisi  khusus  yang  dituangkan  melalui  subbab  keempat yang berjudul “Ngaji dengan Tamong, Ngaji di Surau”. Penggunaan subjudul ini menjadi sebuah  penanda  bahwa  adanya  budaya  masyarakat  Lampung  yang  berbau  religius.  Hal  ini dapat dilihat pada kutipan berikut. 

“Sebenarnya aku termasuk terlambat ketimbang kawan-kawan  yang  seletingan  karena tidak  langsung mengaji di  surau.  Mestinya  setelah mengaji dengan tamong-ku,  aku lanjutkan  kajianku  saja.  Tapi,  kata  mamak  yang  duluan  mengajar  aku  ngaji,  coba  dari awal dahulu. Mulai lagi dari awal alif ba ta.... Untung tidak lama, tidak sampai tamat Amma,  aku  sudah  ngaji  Quran.  Di  tes  Wak  Bakri  terlebih  dahulu,  siapa-siapa  yang sudah lancar membaca Amma, di dinaikkan ke Quran. Tapi, tetap saja aku di belakang, teman-temanku  sudah  juzz  ke  sekian,  aku  baru  mau  mulai  Surat  Al  Fatihah  dan  Al Baqarah” (Karzi, 2022, hlm 45-46).

Mengaji  di  surau  bagi masyarakat  Lampung  adalah  sebuah  hal  yang  harus  dilakukan sejak  kecil.  Kutipan  “Sebenarnya  aku  termasuk  terlambat ketimbang  kawan-kawan  yang seletingan karena tidak langsung mengajidi surau” menjadi sebuah penanda bahwa adanya kebiasaan  yang  telah  dilakukan  oleh  masyarakat  Lampung  dan  ketika  masyarakat  tidak melakukannya, adanya  penggambaran rasa  bersalah pada masyarakatnya.  Hal ini merupakan gambaran masyarakat Lampung yang dominan memeluk agama Islam. Berdasarkan data yang dihimpun  dari  Badan  Pusat  Statistik  Way  Kanan  pada  tahun  2015,  Negara  Batin  secara dominan  memeluk  agama  Islam  sebesar 30.051  orang  yang  disusuloleh  Kristen  Protestan sebanyak  350  orang,  Kristen  Katolik  sebanyak  274  orang,  dan  Hindu  sebanyak  89  orang (Badan Pusat Statistik, 2018). Dominasi angka yang signifikan ini menunjukkan bahwa agama dominan  yang  terdapat  di  Negara  Batin  merupakan  Islam  sehingga  salah  satu  ajaran  yang terdapat di dalam ajaran tersebut adalah mengaji. 

Bahkan,  pemerintah  Lampung  meresmikan  satu  program  yang  bernama “Lampung Mengaji” pada tahun  2019 (Humas  Pemprov, 2019). Kegiatan  ini  dilaksanakan  di  tingkat SD/SMP/SMA/PKLK  Negeri/Swasta  untuk  Lampung  Berjaya.  Program  ini  dilaksanakan dengan alasan khusus  Gubernur  Pemerintah  Lampung.  Gubernur  Arinal menyatakan niatnya untuk  merangsang  pertumbuhan  ekonomi  penduduk  Lampung.  Beliau  juga  menekankan pentingnya  mempertimbangkan  implikasi  dari  pertumbuhan  ekonomi  tersebut,  di  mana meskipun  warga  bisa  menjadi  makmur  secara  finansial,  namun  moralitas  mereka  mungkin tetap  rendah.  Dengan  pemahaman  tersebut,  Wakil  Gubernur  Lampung,  Chusnunia  Chalim, dan  Gubernur  Arinal  telah  menyusun  program Lampung  Mengaji.  Program  ini  terbukti menjadi inisiatif yang berhasil dalam membina nilai-nilai agama dan meningkatkan moralitas, yang  pada gilirannya  berkontribusi  pada  keberhasilan  dan  kemakmuran  Lampung  (Humas Pemprov, 2019).

Hubungan mengaji ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat Lampung yang tidak dapat dipisahkan.   Novel Negarabatin ini   menggambarkan   tokoh   yang   mewakili   masyarakat Lampung  dan  kebiasaannya  untuk  mengaji.  Gambaran  religiositas  ini  pun  didukung  oleh penelitian yang diungkapkan oleh Herlina bahwa Kegiatan Lampung Mengaji menjadi sebuah kebiasaan  yang  dapat  membangun  perilaku  atau  karakter  religius  peserta  didik  (Herlinda, 2008). Selain itu, keterlibatan reguler dalam upaya ini menumbuhkan watak religius di dalam siswa, di mana mereka menunjukkan kepatuhan yang tinggi dalam praktik devosional mereka, menunjukkan ketekunan dalam mempelajari Al-Quran, memiliki ingatan menyeluruh tentang ayat-ayat  suci,  menunjukkan  rasa  saling  menghormati,  dan  mencontohkan  berbagai  perilaku konstruktif lainnya (Herlinda, 2008).

Oleh  karena  itu,  tindakan  pemberian  upeti  di  Lampung  mencakup  lebih  dari  sekedar perayaan keagamaan, melainkan telahberkembang menjadi elemen intrinsik identitas budaya lokal  yang  ditransmisikan  dari  satu  generasi  ke  generasi  berikutnya. Praktik  mengaji  ini mencontohkan  komitmen  tak  tergoyahkan  masyarakat  Lampung  terhadap  prinsip-prinsip agama  yang  mendalam  dan  pengabdian  spiritual.  Selain  itu,  tindakan  pelayanan  berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial di antara anggota masyarakat, seringdilakukan secara kolektif di masjid atau tempat tinggal tetangga.

Kebijaksanaan  adat  yang  tertanam  dalam  praktik  mengaji  ini  menandakan  religiositas mendalam yang ditunjukkan oleh orang-orang Lampung. Mereka sangat menghormati tradisi ini  dan  melestarikannya  sebagai  aspek  yang  sangat  diperlukan  dalam  kehidupan  sehari-hari mereka.  Selain  itu,  praktik  melayani  juga  membangun  landasan  etika  yang  kuat  bagi  anak-anak,   menanamkan   di   dalam   diri   mereka   penghormatan   terhadap   ajaran   agama   dan menumbuhkan kehidupan yang dijiwai dengan kesadaran spiritual.

Dalam  bidang  pendidikan  karakter,  kegiatan  mengaji  memberikan  kontribusi  besar dalam  membentuk  kompas  moral  dan  perilaku  etis  pemuda  Lampung.  Mereka  tidak  hanya memperoleh  pengetahuan  tentang  doktrin  agama,  tetapi  mereka  juga  menginternalisasi  nilai-nilai  seperti  disiplin  diri,  ketabahan,  integritas,  dan  empati.  Dengan  demikian,  kegiatan Mengaji bukan semata-mata upaya keagamaan, melainkan membentuk landasan yang kokoh dalam  menumbuhkan  ciri-ciri  karakter  budi  dalam  generasi  muda  Lampung.  Tentunya,  nilai tersebut  merupakan  gambaran  gagasan  setempat  yang  bersifat  bijaksana,  bernilai  baik  yang ditanamkan   dan   diikuti   oleh   anggota   masyarakat   sebagai   wujud   keunggulan   budaya masyarakat . 

Nilai pendidikan karakter berupa religiositas pun muncul dari tradisi sunat yang ada di bagian  subjudul  selanjutnya pada novel ini, “Bediom  Lalu  Disunat”.  Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut.

Sebelum hari H tiba, Uyung yang sudah kelas dua SD dikhitan. Jenno Mantri Sunat, Tamong Muni yang datang.

Memang sudah dikatakan Uyung pada bak-nya, Jahri. Ia ingin sunat.

“Malu. Teman-teman sudah sunat semua,” ujar Uyung.

“Iya, Nak. Nanti sunat saktu kita pindah rumah. Sabar ya, Nak,” Jahri menenangkan anaknya. 

“Tapi jangan menangis kalau sunat ya.” (Karzi, 2022, hlm 53).

Kutipan  “Malu.  Teman-teman  sudah sunat semua,”  ujar  Uyung” dapat  dimaknai sebagai rasa malu tokoh Uyung  karena dirinya  yang belum sunat. Seperti  yang diungkapkan sebelumnya,  mayoritas  masyarakat  Lampung  beragama  Islam  sehingga  dalam  Islam,  sunat merupakan  hal  yang  diwajibkan  bagi  muslim.  Khitan  atau  sunatan,  seperti  yang  dikenal  di pulau Jawa, merupakan salah satu syariat yang dianjurkan dalam Islam. Praktik khitan bukan hanya sekadar kewajiban agama, tetapi juga merupakan bagian dari identitas seorang Muslim (Azizah,  2022).  Khitan  dijadikan  sebagai  salah  satu  tindakan  preventif  untuk  menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Penting  untuk  dicatat  bahwa  khitan  juga  memiliki  dampak  positif  dalam  menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan. Selain memperhatikan aspek kebersihan fisik, praktik ini juga  melibatkan  nilai-nilai  keagamaan  dan  sosial  yang  kuat.  Melalui  proses  khitan,  seorang Muslim  diingatkan  akan  komitmen  dan  ketaatannya  kepada  ajaran  agama.  Selain  itu,  proses khitan sering  kali  diiringi  dengan  perayaan  kecil  yang  melibatkan  keluarga  dan  masyarakat sebagai  bentuk  dukungan  dan  penerimaan  terhadap  individu  yang  menjalani  proses  tersebut. Ini mencerminkan pentingnya dukungan sosial dalam menjalankan ajaran agama.

Dengan   demikian,   khitan   bukan   hanya   suatu   praktik   ritual   semata,   tetapi   juga merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  identitas  dannilai-nilai  Islam  yang  dijunjung tinggi  oleh  umat  Muslim.  Khitan  memainkan  peran  penting  dalam  membentuk  identitas keagamaan, membangun komitmen dan tanggung jawab moral,  serta memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat Muslim, termasuk di masyarakat Lampung.

Khitan menjadi sebuah kearifan lokal dari budaya masyarakat Lampung yang nantinya akan    ada  perayaan  yang  dilakukan  oleh  keluarga  Uyung  dalam  narasi  dalam  merayakan khitanan dan pindah rumah (bediom). Kearifan lokal lainnya yang dipercaya oleh masyarakat Lampung yang tercermin di dalam narasi adalah bediom. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut. 

“Pindah  rumah  tersebut membawa  tempat  tidur,  alat  memasak,  lampu,  makanan, sajadah, dan Alquran. Alquran dan sajadah dibawa kepala keluarga yaitu menandakan ia kepala keluarga atau imam di keluarganya. Bawaan lainnya yang diangkat minak-muari dan  tetangga  adalah  pertanda  satu  keluarga  yangbediomhendak  memulai  kehidupan yang   baru.   Bawaan   tersebut   diberikan   kepada   kepala   keluarga   sebagai   modal melanjutkan kehidupan di tempat yang baru.” (Karzi, 2022, hlm 53).

Tradisi  Bediom atau  pindah  lamban  di  masyarakat  pesisir  Lampung  (khususnya Lampung  Saibatin) memiliki  kesamaan usia dengan filosofi  piil pusenggiri  yang dianut  oleh masyarakat  Lampung  (Admin,  2017).  Filosofi  tersebut  terdiri  dari  berjuluk  beadok,  nemui nyimah,  nengah nyappur,   dan   sakai   sambaian.Bediom  merupakan   salah   satu  bentuk pelaksanaan  nemui  nyimah,  di  mana  seseorang  dianggap  telah  mampu  berinteraksi  dengan masyarakat Lampung lainnya saat ia mandiri untuk menempati rumah sendiri. Secara definitif, budaya lokal bediom menjadi sebuah kebudayaan dalam ruang yang terbatas dengan cadangan pengetahuan bersama yang di dalamnya individu berhubungan dengan secara personal dengan ritual  masa  lalu  yang  didasarkan  atas  suku,  agama,  kepercayaan,  dan  ikatan-ikatan  komunal yang lain. 

Tradisi Bediom memiliki tujuan  yang jelas. Pertama, sebagai ungkapan syukur kepada Sang  Pencipta  atas  diberikannya  rezeki  untuk  menempati  rumah  baru  dan  mandiri.  Kedua, untuk  mengabarkan  kepada  penduduk  sekitar  bahwa  rumah  tersebut  telah  ditempati  oleh penghuni  baru.  Ketiga,  untuk  memperkuat  hubungan  silaturahmi  dengan  penduduk  sekitar rumah yang baru ditempati (Admin, 2017).

Melalui pelaksanaan  Bediom, nilai-nilai seperti rasa  syukur, kerja keras,  kebersamaan, dan saling menghormati, serta terwujud dalam tindakan nyata. Ungkapan syukur kepada Sang Penciptaatas  rezeki  yang  diberikan  dalam  bentuk  rumah  baru  dan  mandiri,  menunjukkan pentingnya   bersyukur   atas   nikmat   yang   diberikan   serta   rasa   tanggung   jawab   dalam memanfaatkannya.   Selanjutnya,   tradisi   ini   juga   menekankan   pentingnya memperkuat hubungan  silaturahmi  dengan  penduduk  sekitar,  menunjukkan  nilai-nilai  saling  peduli  dan solidaritas sosial.

Peran  tetua  atau  pemuka  agama  dalam  memimpin  acara  Bediom  menambah  dimensi religius  dalam  tradisi  ini.  Mereka  tidak  hanya  memimpin  doa-doa  untuk  keselamatan  dan keberkahan bagi pemilik rumah baru, tetapi juga terlibat secara aktif dalam proses sosialisasi nilai-nilai  agama  dan  moral  kepada  generasi  muda.  Dengan  demikian,  Bediom  tidak  hanya menjadi  momen  kebahagiaan  bagi  keluarga  yang  pindahrumah,  tetapi  juga  menjadi  ajang pembelajaran dan pemantapan nilai-nilai keagamaan dan sosial bagi seluruh komunitas.

Tidak  hanya  nilai  pendidikan  karakter  dominan  terkait  dengan  nilai  cinta  damai,  nilai religi  yang  terdapat dalam  novel  ini,  nilai  dominanlainnya  yang  muncul  adalah  nilai  kerja keras.  Nilai  ini  pun  dapat  dilihat  pada  pembahasan  sebelumnya  terkait  dengan bediomyang dilakukan  oleh  masyarakat  Lampung.  Nilai  kerja  keras  lainnya  tergambar  melalui ngusi. Kutipan initerdapat dalam subjudul “Sapsada* Berbunyi Sore” pada bagian 9 sebagai berikut. 

“Ketika  ada  rencana ngusi hendak  membuat  ladang  yang  baru,  dibicarakan  terlebih dahulu  dengan  seisi  rumah.  Kapan  harinya,  tanggal  berapa,  bulan  berapa,  kita  hendak ngusi. Semua alat hendak dibawa ke hutan yang hendak dibuka. Ada doa-doanya yang tidak  bisa  diabaikan  agar  nanti  ladang  yangtikusinanti  memberikan  rezeki  yang  baik kepada pemiliknya. Pullan yang hendak tikusi harus tibebali terlebih dahulu. Ngebebali ini permisi kepada penunggu hutan. Membersihkan hutan dari yang gain ataumakhluk halus  agar  pemilik  lahan  damai  atau  tidak  bersengketa  dengan  yang  lebih  dahulu menghuni lahan dan tidak saling mengganggu” (Karzi, 2022, hlm 75).

Ngusi dalam  masyarakat  Lampung  dapat dipahami  sebagai  pembukaan  hutanuntuk lahan  pertanian.  Hal  ini karena  dominasi  pekerjaan  masyarakat  Lampung,  khususnya  daerah Negara Batin adalah bertani. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tradisi ngusi menjadi sebuah budaya   yang   sudah   biasa   dilakukan   olehmasyarakat   Lampung.   Tradisi ngusi dalam masyarakat    Lampung,    yang    merupakan    pembukaan    hutan    untuk    lahan    pertanian, menunjukkan kearifan lokal  yang telah  diwariskan  secara turun temurun. Praktik ngusitidak hanya sekadar tindakan fisik untuk membuka lahan baru, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang mengatur interaksi manusia dengan lingkungan dan makhluk halus.

Sebelum   melakukan ngusi, masyarakat   Lampung   terlebih   dahulu   membicarakan rencana  tersebut  dengan  seisi  rumah.  Hal  ini  menunjukkan pentingnya  konsensus  dan kesepakatan  bersama  dalam  mengambil  keputusan  yang  berdampak  pada  lingkungan  dan kehidupan  sehari-hari. Penetapan tanggal, bulan, dan ritual doa-doanya menunjukkan adanya penghormatan terhadap alam dan penunggu hutan sebagai bagiandari kepercayaan lokal.

Praktik-praktik  adat  yang  diamati  oleh penduduk  Lampung  sebelum  terlibat  dalam pertanian ditandai dengan  kepatuhan mereka  yang kuat terhadap  nilai-nilai tertentu, terutama ketekunan  mereka  dalam  mengejar  mata  pencaharian.  Sebelum  memulai  kegiatan  pertanian mereka, masyarakat Lampung akan mengadakan pertemuan yang melibatkan seluruh anggota keluarga untuk menyusun strategi pembukaan lahan  baru.  Ini menunjukkan dedikasi mereka untuk  memastikan  persiapan  menyeluruh  sebelum  memulai  proses  pertanian.  Keuletan  yang ditampilkan  dalam  fase  persiapan  inimenunjukkan  komitmen  mereka  yang  tak  tergoyahkan terhadap pengerjaan pertanian mereka.

Selain   itu,   selama   pelaksanaan   praktik   pertanian   mereka,   masyarakat   Lampung menunjukkan  kerja  keras  yangtulus.  Mereka  akan  mengumpulkan semua  peralatan  yang diperlukandan  mengangkutnya  ke  lokasi  hutan  yang  ditentukan,  membersihkan  tanah  dari vegetasi yang ada, dan melakukan doa yang diperlukan, yang sangat penting. Berbagai tahapan ini  membutuhkan  upaya  fisik  dan  mental  yang  cukup  besar,lebih  lanjut  menggarisbawahi tekad mereka untuk mencari nafkah dan mencapai kesuksesan di bidang pertanian.

Nilai kerja keras tidak hanya terbukti dalam persiapan dan pelaksanaan praktik-praktik ini  tetapi  juga  dalam  upaya untuk  mempertahankan  hubungan  yang  harmonis  dengan  alam. Prinsip bersarang,  yang  melibatkan  pembukaan  hutan  dari  makhluk  halus  sebelum  memulai kegiatan  pertanian,  membutuhkan  perhatian  khusus  dan  pemahaman,  serta  penghormatan terhadap,  lingkungan  sekitarnya.  Dengan  demikian,  praktik-praktik  masyarakat  Lampung melampaui kegiatan  pertanian  belaka  dan  berfungsi  sebagai  manifestasi  dari  nilai-nilai  abadi kerja  keras  yang  membentuk  fondasi  yang  kokoh  untuk  mencari  mata  pencaharian  dan menumbuhkan keharmonisan dengan alam.

Selain itu, penggambaran kearifan lokal yang terdapat di dalamnya adalah budaya lokal yang  tidak  jauh  berbeda  dengan  masa  lampu  yang  semuanya  berkaitan  dengan  masa  lalu. Secara  antropologis,  seseorang  memiliki  keterkaitan  dengan  tempat  kelahirannya  masing-masing.  Hal  ini  menimbulkan  kerinduan  yang  dialami  oleh  manusia,  khususnya  yang merantau.  Hal  ini  pun  dialami  oleh  penulis  (Udo  Z.  Karzi)  melalui  novel  ini  karena  di dalamnya, penulis menunjukkan sebuah narasi adanya tindakan merantau tokoh Uyung untuk bersekolah. Hal ini pun menunjukkan adanya nilai kerja keras yang dilakukan oleh tokoh dan menjadi representasi merantau bagi masyarakat Lampung walaupun masih dalam satu provinsi yang sama. 

Penggambaran kearifan lokal dalam novel ini tidak hanya mencakup budaya lokal yang kaya, tetapi  juga  menggambarkan  nilai-nilai  yang  kuat,  termasuk  nilai  kerja  keras.  Dalam konteks ini, terlihat bahwa budaya lokal Lampung memiliki keterkaitan erat dengan masa lalu dan akar tempat kelahiran individu. Hal ini menimbulkan kerinduan akan rumah danidentitas asli,  terutama  bagi  mereka  yang  merantau.  Pengalaman  merantau  yang  dialami  oleh  tokoh Uyung  dalam  novel  menjadi  sebuah  cerminan  nilai-nilai  kerja  keras.  Meskipun  merantau dalam skala yang relatif kecil, yaitu hanya untuk bersekolah di tempat yang lebih jauh, namun hal  ini  mencerminkan  dedikasi  dan  usaha  yang  diperlukan  untuk  mencapai  tujuan  tertentu. Meskipun masih berada dalam satu provinsi yang sama, tindakan ini menunjukkan semangat untuk berjuang dan bekerja keras demi mencapai keunggulan dalam pendidikan.

Dengan  demikian, nilai  kerja  keras  menjadi  sebuah  tema  yang  melintasi  budaya  lokal Lampung dalam novel ini. Melalui kisah merantau tokoh Uyung, pembaca diperkenalkan pada nilai-nilai penting yang melandasi kehidupan masyarakat Lampung, termasuk semangat untuk bekerja kerasdemi meraih cita-cita dan memperoleh keunggulan dalam kehidupan.


KESIMPULAN

Novel Negarabatin karya  Udo  Z.  Karzi menghadirkan berbagai  kearifan  lokal masyarakat  Lampung  yang  dianalisis  melalui  pendekatan  antropologis  dalam sastra. Dalam konteks sastra, kualitas suatu karya tidak hanya dilihat dari objeknya, melainkan juga  dari  representasi  citra  dan  makna  yang  disampaikan.  Melalui  petanda-petanda dalam    novel,    pembaca    dapat    memahami    dan    meresapi    kearifan    lokal    serta menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Nilai pendidikan karakter tercermin dalam  berbagai  tradisi  dan  budaya  yang  dijelaskan  dalam  novel  tersebut. Misalnya, pemanggilan   nama   Uyung   sebagai   upaya   untuk   meniadakan   kesenjangan   dan mempromosikan  toleransi  serta cinta  damai.  Selain  itu,  tradisi  mengaji  dan bediom, yang diikuti dengan praktik sunat, menunjukkan nilai-nilai religiositas  yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Selanjutnya, ngusi dan  merantau  menjadi  simbol  dari  nilai  kerja  keras  dan semangat  untuk  mencapai  tujuan.  Implikasi dari  analisis  ini  menunjukkan  pentingnya memanfaatkan  sastra  lokal  sebagai  sumber  nilai-nilai  kearifan  dalam  pembentukan pendidikan  karakter.  Integrasi  materi  sastra  lokal  dalam  kurikulum  pendidikan  dapat membantu  siswa  untuk lebih  memahami  dan  menginternalisasi  nilai-nilai  tersebut. Selain   itu,   kolaborasi   antara   penulis   lokal,   pendidik,   dan   pemerintah setempat diperlukan  untuk  mendokumentasikan  dan  mempromosikan  karya  sastra  lokal  sebagai sumber  inspirasi  dalam  pengembangan  modul  pendidikan  karakter.  Dengan  demikian, pemanfaatan  sastra  lokal  dalam  konteks  pendidikan  karakter  dapat  menjadi  langkah strategis  dalam  membentuk  generasi  muda  yang  memiliki  karakter  positif  dan  berdaya saing  tinggi,  serta  memperkokoh  identitas  budaya masyarakat  Lampung  dan  Indonesia secara lebih luas.


REFERENCES

Admin,  2024.  Ini  Dia  Arti  Nama  Uyung  yang  Populer  Untuk  Nama  Bayi  Laki-laki maupun     Nama     Bayi     Perempuan     [WWW     Document].     Namibia.     URL https://namamia.com/nama-bayi/uyung.html (accessed 2.6.24).

Admin, 2017. Bediom [WWW Document]. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. URL https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=487#:~:text=Bediom%20adalah%20salah%20satu%20bentuk,telah%20mandiri%20menempati%20rumah%20sendiri. (accessed 2.6.24).

Azizah, S., 2022.  Khitan Dalam Pandangan Islam Sesuai Al Quran danHadist [WWW Document].  BSI  MAslahat.  URL  https://www.bsimaslahat.org/blog/khitan-dalam-pandangan-islam-sesuai-al-quran-dan-hadist/ (accessed 2.6.24).

Badan  Pusat  Statistik,  2018.  Badan  Pusat Statistik  Kabupaten  Way  Kanan  [WWW Document]. URL https://waykanankab.bps.go.id/statictable/2016/11/30/452/banyaknya-penduduk-menurut-kecamatan-dan-agama-yang-dianut-di-kabupaten-way-kanan-2015-.html (accessed 2.6.24).

Hasanah,  S.A.,  2016.  PENDIDIKAN  KARAKTER  BERBASIS  KEARIFAN  LOKAL PEMBENTUK  KARAKTER  BANGSA  [WWW  Document].  Seminar  Nasional Pendidikan. URL https://jurnal.unej.ac.id/index.php/fkip-epro/article/view/5828/4326 (accessed 1.24.24).

Herlinda,  C.S.,  2008.  THE  CONNECTION  OF  LAMPUNG’S  RECITATION ACTIVITIES  ON  DEVELOPING  RELIGIOUSCHARACTER  AT  SMP  EL-SYIHAB BANDARLAMPUNG. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Humas  Pemprov,  2019.  Gubernur  Arinal  Resmikan  Program  Lampung  Mengaji  dan Kurikulum   Bahasa   Lampung -Website   Resmi   Biro   Administrasi   Pimpinan Sekretariat Daerah Provinsi Lampung  [WWW Document]. URL https://biroadpim.lampungprov.go.id/detail-post/gubernur-arinal-resmikan-program-lampung-mengaji-dan-kurikulum-bahasa-lampung (accessed 2.6.24).

Izhar,  2021.  Inserting  Lampung  Local  Wisdom  In  Learning  Indonesian  Language  And Its  Implications  On  Character  Education,  in:  Proceedings  of  the  6th  International Conference on Science, Education and Technology (ISET 2020). Atlantis Press.

Karzi,  U.Z.,  2022.  Negarabatin:  Negeri  di  Balik  Bukit.  PT  Dunia  Pustaka  Jaya, Bandung.

MAN 2 Agam, 2022. Marjanis: 18 Nilai Pendidikan Karakter, Bekal Hidup Lebih Baik -[WWW  Document].  URL  https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/64919/marjanis-18-nilai-pendidikan-karakter-bekal-hidup-lebih-baik (accessed 9.21.23).

Novianti, A., 2023. FAKTA CERITA DALAM NOVEL NEGARABATIN NEGERI DI BALIK BUKIT KARYA UDO Z. KARZI DAN IMPLIKASINYA PADA BUKIT KARYA  UDO  Z.  KARZI  DAN  IMPLIKASINYA  PADA  PEMBELAJARAN BAHASA  INDONESIA  DI  SMA  PEMBELAJARAN  BAHASA  INDONESIA  DI SMA. Skripsi. Universitas Lampung, Lampung.

Pengelola  Web  Kemdikbud,  2017.  Penguatan  Pendidikan  Karakter  Jadi  Pintu  Masuk Pembenahan  Pendidikan  Nasional  [WWW  Document].  Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. URL https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/07/penguatan-pendidikan-karakter-jadi-pintu-masuk-pembenahan-pendidikan-nasional (accessed 1.24.24).

Ratna,     I.N.K.,     2011.     ANTROPOLOGI     SASTRA:     PERKENALAN     AWAL Anthropology Literature: an Early Introduction I Nyoman Kutha Ratna. CORE.

Ratna,  N.K.,  2011a.  Antropologi  Sastra  “Peranan  Unsur-unsur  Kebudayaan  dalam Proses Kreatif.” Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ratna,  N.K.,  2011b.  Antropologi  Sastra:  Peranan  Unsur-Unsur  Kebudayaan  dalam Proses Kreatif. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rusbiyantoro,   W.,   2011.   PENGGUNAAN   KATA   SAPAAN   DALAMBAHASA MELAYU KUTAI. PAROLE: Journal of Linguistics and Education 2, 59–76.

Syarifah,  M.M.,  Suyitno,  Suwanto,  S.,  2019.  The  Local  Wisdom  Value  in  Literary Teaching    Material    in    IndonesianLanguage    Textbook    [WWW    Document]. Proceedings of the 1st Conference of Visual Art, Design, and Social Humanities by Faculty of Art and Design, CONVASH 2019. URL https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.2-11-2019.2294930 (accessed 1.26.24).

Winataputra,  U.S.,  Setiono,  S.,  2017.  Pedoman  Umum  Penggalian  dan  Perwujudan Nilai Ahlak Bagian Penguatan Pendidikan Karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.


Copyright © 2024, Roma Kyo Kae Saniro, Andina Meutia Hawa,Dyani Prades Pratiwi, Noni Sukmawati

The   manuscript open   access   article   distributed under   the   Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and  reproduction  in  any  medium,  provided  the  original  work  is  properly cited.


Sumber: Jurnal Serambi Ilmu Vol.25, No. 1 Maret 2024

link: https://jurnal.serambimekkah.ac.id/index.php/serambi-ilmu/article/view/1292/1144 (diakses, 11/5/2024). 


No comments:

Post a Comment