PEREMPUAN itu berdiri termangu, memandang jauh keluar. Seorang laki-laki duduk terpaku di dekatnya. Lalu, sepasang kekasih itu bercakap-cakap.
”Aku mengenang dongeng-dongeng, cerita, kisah-kisah.... Kau datang suatu hari dan bercerita tentang apa saja. Aku cuma menyimak ceritamu, seperti biasanya. Lalu, aku merasa utuh dan kau merasa lengkap,” papar si perempuan
”Maukah kuceritakan lagi kisah itu? Kita akan merasakan pesona. Dengarkanlah…,” sahut si lelaki di sebelahnya. Dia pun mulai mendongeng dan perempuan itu mendengarkannya.
Percakapan tadi mengawali pentas ”Kisah-kisah yang Mengingatkan” oleh Teater Satu Lampung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat-Sabtu (8-9/10) malam. Naskah dan penyutradaraan digarap Iswadi Pratama. Pentas ini menjadi salah satu pertunjukan yang menarik dari rangkaian Indonesia Art Summit 2010 di Jakarta, 4-24 Oktober.
Lelaki itu lantas bercerita tentang seorang perempuan, Sang, yang mencari pesona atau makna dari berbagai kenangan. Sang tersesat dalam lembah dongeng, yang setiap bagiannya dijaga hantu. Meski dibantu Rajawali yang menjelma sebagai kuda bersurai biru, Sang masih kesulitan menemukan pesona kenangan itu.
Sang semakin kesulitan saat sang kuda roboh, terbunuh kawanan rajawali. Sendirian dan kesepian, Sang pasrah menerima nasib. Namun, justru dalam kepasrahan itu, dia seperti dituntun untuk menemukan pesona dari berbagai kisah.
”Yang indah memang akan memilih tempatnya sendiri, saatnya sendiri, resah-risaunya sendiri,” katanya kepada diri sendiri.
Mungkin agak rumit untuk menceritakan ulang kisah yang berlapis-lapis itu. Agaknya juga tak terlalu penting untuk memahami detailnya. Apalagi, pentas itu sendiri sepertinya juga tidak berhasrat membeberkan narasi segamblang-gamblangnya.
Sepanjang pertunjukan selama sekitar satu jam itu, para penonton disuguhi berbagai fragmen cerita. Para pemain hilir-mudik di panggung untuk menampilkan berbagai adegan. Seluruh adegan itu dibungkus semacam deklamasikan dari rentetan puisi.
Puisi itu bisa mengungkapkan berbagai hal, terutama kehidupan romantis atau melankolis manusia. Kadang, puisi itu bercerita tentang sore hari, hawa di luar yang dingin, kopi, orang duduk, atau anak bermain di lapangan. Kadang juga menyebut soal kapal yang berlayar, stasiun, hutan, cinta, atau ciuman.
Penonton sepertinya hanya dirangsang oleh beragam potongan adegan, dialog, atau deklamasi selintas. Namun, kekuatan estetik atau dramatik penggalan itu acap terasa tajam sehingga mudah mengingatkan pada sesuatu yang pribadi atau merangsang permenungan lebih jauh.
Bertumpu pada bahasa
”Kisah-kisah yang Mengingatkan” menjadi menarik karena mencoba untuk kembali bertumpu pada bahasa, dalam hal ini dalam bentuk puisi. Puisi-puisi atau narasi yang dikemas secara puitis itu menonjol sepanjang pentas. Kalimat-kalimat dengan diksi lirih menjadi sarana percakapan antaraktor atau hadir secara terpisah sebagai petikan renungan.
Bahasa di sini ditampilkan tak saja sebagai alat komunikasi atau pembentuk narasi, imaji, atau suasana, tetapi juga sebagai ucapan yang menghasilkan bunyi dan irama. Pada momen-momen tertentu, puisi-puisi itu seperti menuntun kita untuk menengok penggalan kehidupan secara berbeda. Suasana sublim yang terbangun di atas panggung kerap membentangkan dunia yang begitu intim.
Pertunjukan itu seakan menyediakan ruang bagi penonton untuk merefleksikan berbagai soal dalam kehidupan nyata. Dorongan ini terasa relevan di tengah rutinitas masyarakat Ibu Kota yang tergesa dan diserbu berbagai peristiwa yang melintas cepat.
Kenapa Teater Satu memilih pendekatan ini? ”Kami ingin menampilkan kekuatan bahasa sebagai media untuk menyentuh penonton. Puisi merupakan bentuk bahasa yang lebih padat,” kata Iswadi Pratama, lulusan Jurusan Ilmu Sosial Politik Universitas Lampung.
Pendekatan semacam ini memang menjadi daya tarik Teater Satu Lampung. Kelompok yang didirikan pada tahun 1986 ini telah mementaskan sejumlah lakon lain, seperti ”Waiting for Godot” (2002), ”Nostalgia Sebuah Kota” (2003), dan ”Perempuan di Titik Nol” (2008). Lakon ”Kisah-kisah yang Mengingatkan” pernah dimainkan pada tahun 2009.
Ketekunan Teater Satu Lampung untuk menggarap sisi puitik bahasa di atas panggung tentu memperkuat perkembangan teater modern di Indonesia. Kehadirannya bakal memperkaya bahasa ungkap dari sejumlah teater lain. Sebut saja seperti Teater Garasi di Yogyakarta dan Teater Payung Hitam di Bandung yang cenderung eksperimental, Teater Koma yang menekuni corak realis, atau Teater Gandrik Yogyakarta yang asyik dengan gaya sampakan. (Ilham Khoiri)
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment