Oleh Yulvianus Harjono dan M Fajar Marta
WAJAH Waras (38) terlihat amat letih. Sesekali ia melirik lengan kanannya yang berdarah. ”Awakku iki rasana koyo digebuki (badan ini rasanya seperti dipukuli),” keluh warga Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, ini.
Kepadatan Kota Bandar Lampung terlihat dari Bukit Randu, awal Oktober lalu. Semakin pa d a t ny a permukiman penduduk dan tidak terkendalinya pembangunan menjadi salah satu alasan Pemerintah Provinsi Lampung merancang kota baru sebagai pusat pemerintahannya. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Petambak plasma ini baru saja menempuh sembilan jam perjalanan, 250 kilometer jalan, dari tempat tinggalnya ke ibu kota provinsi, Bandar Lampung. Bukan jauhnya perjalanan, melainkan buruknya jalan yang dia keluhkan.
Untuk mencapai Bandar Lampung, dia harus melewati ruas jalan Simpang Penawar-Rawajitu sepanjang 70 kilometer, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Kondisi jalan hancur total. Tanah bercampur batu dan penuh debu.
Kendaraan hanya bisa berjalan merayap, dengan kecepatan rata-rata 15 kilometer per jam, di ruas jalan ini. ”Kalau di sana (Rawajitu Timur), malas ke luar. Juga sebaliknya, kalau berada di luar, malas kembali untuk melewati jalan itu,” tutur Syukri J Bintoro, warga Rawajitu lainnya.
Sudah belasan tahun jalan itu dibiarkan rusak parah, tanpa sentuhan perbaikan memadai dari pemerintah setempat. Padahal, jalan ini menghubungkan ke sentra tambak udang raksasa PT Aruna Wijaya Sakti (eks Dipasena) dan sejumlah perusahaan pengolah minyak sawit mentah.
Mayoritas jalan provinsi dan kabupaten di daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara tahun 1996 ini dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Begitu pula di daerah baru yang berbatasan dengan wilayah ini, antara lain Kabupaten Mesuji dan Tulang Bawang Barat.
Kemiskinan di Mesuji
Erwansyah (49), warga Talang Batu, Mesuji, juga harus rela berpuluh-puluh tahun hidup di tengah berbagai kondisi keterbatasan infrastruktur. Sudah jalannya buruk, aliran listrik dan air bersih pun tidak tersedia di desanya.
Tak hanya itu, tanah garapannya pun terampas. Hingga saat ini, dia dan ratusan warga Talang Batu terlibat sengketa pengelolaan tanah di hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani. Konflik pertanahan itu berjalan cukup lama dan sangat melelahkan.
Sebagai warga negara, khususnya di daerah pemekaran baru (Mesuji dimekarkan dari Tulang Bawang tahun 2009), dia pun tak berharap hak atas tanahnya yang sempat terampas dikembalikan lagi. Ketiadaan tanah garapan, ditambah buruknya infrastruktur, membuat mayoritas warga Mesuji hidup dalam kemiskinan.
Mesuji adalah salah satu dari tiga daerah di Lampung yang banyak terdapat warga miskin. Apalagi, kabupaten ini dikelilingi perkebunan besar yang memegang hak pengelolaan hutan tanaman industri. Namun, perusahaan itu seret menyerap tenaga kerja.
Jumlah penduduk miskin di Lampung, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional per Maret 2010, mencapai 1,479 juta orang atau 18,94 persen dari total penduduk sekitar 7,4 juta jiwa. Meskipun angka kemiskinan itu turun sebesar 5,03 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, patut dicatat, angka kemiskinan di Lampung masih jauh di atas rata-rata nasional, yaitu 13 persen.
Tingkat elektrifikasi baru 71 persen dari total desa atau baru 43 persen keluarga yang telah mendapat layanan aliran listrik. Buruknya infrastruktur jalan menjadi momok di Lampung. Ditengarai, 50 persen jalan provinsi dan 65 persen jalan nasional di provinsi ujung selatan Sumatera ini dalam kondisi rusak.
”Jangankan mau berobat gratis kalau jalan saja tidak bisa dilewati. Jangankan pula mau sekolah kalau jalan masih susah dilalui. Persoalan infrastruktur harus jadi prioritas ke depan,” tutur Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Hasan menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur dasar.
Belum maksimalnya kinerja daerah otonomi baru di Lampung ini juga pernah mendapat sorotan tajam dari tim Komisi II DPR saat kunjungan kerja, Agustus lalu. Kritik ini salah satunya datang dari Amrun Daulay, anggota Fraksi Partai Demokrat DPR.
Ia melihat mayoritas daerah pemekaran baru di Lampung belum optimal menggali potensi daerahnya. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD mayoritas masih di bawah 3 persen. Sebagian daerah otonomi baru itu, seperti Kabupaten Pesawaran dan Mesuji, hanya memiliki PAD sekitar Rp 2 miliar.
Namun, yang disesalkan, sebagian besar daerah itu justru lebih banyak menghabiskan APBD hanya untuk belanja rutin. Kabupaten Lampung Tengah, misalnya, dari total APBD Rp 932,781 miliar, sebanyak 86,58 persen dihabiskan untuk belanja pegawai. Sementara dari Rp 158,92 miliar APBD Tulang Bawang Barat, 78,61 persen untuk belanja pegawai.
Sumber: Kompas, Kamis, 28 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment