SIANG itu matahari bersinar sangat terik. Namun, sengatan itu tidak lantas menyurutkan semangat belasan nelayan yang menunggu tumpangan kapal jukung. Nelayan-nelayan bagan itu hendak melaut, tetapi mereka terlebih dahulu menyinggahi Pulau Pasaran.
Puluhan kapal bagan menganggur di kawasan perairan dekat Pulau Pasaran, Teluk Betung, Bandar Lampung, Jumat (8/10). Selain bertepatan dengan masa perawatan, saat ini juga banyak nelayan bagan yang tidak melaut karena cuaca buruk.(KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Begitu yang ditunggu tiba, segera mereka memindahkan perlengkapan, mulai dari jeriken berisi solar, tambang, panci, hingga bakul berisikan nasi, ke dalam perahu. Tak butuh waktu lama, hanya 10 menit, begitu perahu bergerak, mereka tiba di Pulau Pasaran.
Tidak mengherankan, jarak dari dermaga di perairan Teluk Betung ke Pulau Pasaran hanya sekitar 100 meter. Dari daratan, barisan rumah-rumah dan kapal di pulau ini terlihat sangat jelas.
Hanya dibutuhkan Rp 1.500 per orang untuk ongkos menyeberang ke pulau ini dari daratan terdekat. Di perairan pulau itu berjajar ratusan kapal milik nelayan bagan. Beberapa ponton bagan dengan tinggi 10 meter dan lebar 6 meter juga banyak diparkir di sekitarnya.
Akibat cuaca ekstrem saat ini, banyak kapal dan ponton bagan yang sengaja ditambatkan di sekitar perairan ini. Cuaca ekstrem menyulitkan nelayan dan warga lain yang mata pencariannya bersumber pada hasil laut.
Pulau Pasaran merupakan salah satu sentra pengolahan ikan asin dan ikan teri terbesar di Lampung. Sebagian besar penduduk setempat, yaitu 300-an orang, bekerja sebagai perajin ikan asin, nelayan bagan, atau buruh pada pengolahan ikan asin. Terdapat sedikitnya 40 unit pengolahan ikan teri di pulau itu.
Jika berkunjung ke sana, akan tampak warga sibuk menjemur atau merebus ikan teri. ”Itu sebabnya, pulau itu disebut pasaran karena dari dulu jadi tempat pasaran ikan-ikan teri,” ujar Justan (21), warga setempat yang menceritakan asal-usul nama Pulau Pasaran.
Pulau Pasaran berpenduduk terpadat di Lampung. Sebanyak 140 keluarga tinggal dengan rumah saling berdempetan di pulau seluas 8 hektar ini. Uniknya pula, ketika pulau lainnya mengalami abrasi dan wilayahnya berkurang, luas areal pulau ini justru terus bertambah.
Dulu luasnya hanya 2 hektar, kini 8 hektar. Warga yang berada di pinggiran pulau biasa menguruk pantai dengan tanah-tanah dan bebatuan. Letaknya yang strategis, yaitu di dekat tempat pelelangan ikan, dan tidak jauh dari pusat Kota Bandar Lampung membuat pulau kecil ini banyak didatangi warga baru.
Listrik dan PAM
Yang membuat warga betah tinggal di sini adalah fasilitas infrastruktur sarana dan prasarana yang cukup ”wah” untuk sebuah pulau kecil. Di pulau ini sudah terlayani listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Tidak hanya itu, saat sebagian besar warga Bandar Lampung belum bisa menikmati air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM), desa mereka justru sudah menikmatinya. Pipa PAM tertanam di bawah laut dan terhubung ke rumah-rumah warga.
”Air sumur di sini asin, tidak bisa diminum. Sehari-hari kami minum dan mandi yang pakai air PAM. Biayanya, ya, memang mahal, tetapi lancar (alirannya),” ujar Salun (43), warga Pasaran. Dalam sebulan, tagihan air PAM setiap rumah sebesar Rp 250.000.
Kini mulai dibangun sebuah jembatan beton sepanjang sekitar 100 meter yang menghubungkan pulau ini dengan daratan di Teluk Betung. Namun, sebagian warga justru menanggapi ”dingin” pembangunan infrastruktur baru yang akan mempermudah lalu lintas masuk menuju ke tempat tinggal mereka. Para tukang perahu kapal khawatir penghasilan mereka akan berkurang jika jembatan selesai dibangun.
”Takutnya, kalau selesai terbangun, keamanan di sini tidak bisa lagi terjamin. Orang luar mudah keluar-masuk kemari,” ungkap Ratnasari (26), salah seorang warga setempat. (jon)
Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment