February 10, 2009

Nasib Sastra Lampung, Penaka Kerakap di Atas Batu

Catatan Keprihatinan atas Lepasnya Hadiah Sastra Rancage 2009*


Oleh Christian Heru Cahyo Saputro**

HADIAH sastra Rancage 2009 untuk sastra berbahasa Lampung terlepas dari tangan Lampung. Padahal dengan susah payah Udo Z Karzi melalui karyanya Mak Dawah Mak Dibingi berhasil merintis dan memboyong Rancage ke Sang Bumi Ruwai Jurai tahun 2008 lalu. Apakah ini menandakan ulun Lampung yang konon punya Piil makin tak peduli dengan kehidupan sastra dan bahasanya?

Lampung sama halnya dengan daerah-daerah lainnya mempunyai tradisi sastra lisan. Di Lampung sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatnya. Sastra lisan sendiri diturunkan secara turun temurun secara lisan dalam bahasa daerah Lampung dan sudah menjadi milik masyarakatnya. Tetapi kini keberadaan sastra lisan Lampung, penaka kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.

Pada zaman dulu sastra lisan Lampung biasa disampaikan oleh para orang tua kepada anak-nanak atau cucunya pada waktu senggang, ---atau sebagai pengantar menjelang tidur. Sedangkan tujuannya adalah untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, petuah-petuah, hukum-hukum, kepada anak cucu mereka.

Selain itu, sastra lisan juga bisa didengar dan dinikmati pada acara-acara adat misalnya, pada acara upacara khitanan, mengerjakan kebun, pesta perkawinan atau begawi.

Kini karena pengaruh sarana hiburan seperti radio, televisi dan film—sastra lisan Lampung sudah sangat kurang diperhatikan oleh masyarakatnya. Dan kemungkinan besar sebagai salah satu penyebab utamanya karena bahasa Lampung sebagai bahasa pengantarnya mulai ditinggalkan oleh penuturnya (baca: penduduk Lampung asli).

Mereka nampaknya larut dengan bahasa yang dibawa oleh penduduk pendatang (transmigran) atau dalam komunikasi seharian mereka lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa ibu.

Selain itu, tentunya karena pengaruh era globalisasi informasi yang terus membombardir hingga pojok-pojok tiyuh (kampung). Hal ini berakibat merubah pola pikir dan tatanan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Lampung. Demikian juga dengan kehadiran masyarakat pendatang yag sudah tentu akan mengakibatkan perubahan struktur dan pandangan hidup masyarakat Lampung.

Masyarakat tradisional mulai meninggalkan sesuatu yang berbau “adat” --karena dianggapnya sudah ketinggalan zaman--, kuno dan ingin lebih mengejar apa yang disebutnya ‘modern’.

Sastra lisan warisan budaya tradisipun dianggap kuno untuk dijadikan media hiburan terutama oleh generasi muda. Mereka lebih senang ke diskotek, cineplek, nonton video, atau TV dengan parabola yang menawarkan seabrek pilihan program alternative ketimbang duduk berjam-jam duduk menikmati warahan –salah satu jenis sastra lisan Lampung---yang disampaikan oleh pawing pembawa cerita.

Dengan demikian dari hari ke hari sastra lisan Lampung semakin tidak ketahuan rimbanya. Dalam upacara-upacara adat (begawi) seperti pesta perkawinan, khitanan, dan upacara lainnya sastra lisan pun tidak dipakai lagi sebagai materi acaranya.

Namun hal ini bukan berarti bahwa kebiasaan mendengarkan sastra lisan itu tidak ada sama sekali. Di beberapa tempat di tyuh-tiyuh yang pandangan masyarakatnya masih memegang kuat adapt dan menganggap penting mendengarkan cerita-cerita nenek moyangnya, karena mereka menyadari banyak hal yang dapat dipetik manfaatnya dari cerita-cerita yang terkandung dalam sastra lisan itu.

Sastra lisan Lampung menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua yatu: prosa dan puisi. Prosa Lampung kebanyakan berupa; legenda, fable dan mythe. Jenis cerita rakyat (folklore) yang sangat dihormati oleh sebagian rakyat Lampung, karena temanya sangat baik dan luhur antara lain Warahan Radin Jambat, Radin Intan, Betan Subing, dan Anak Dalom.Sedangkan yang puisi kebanyakan berbentuk pantun, syair dan pisaan.

Sastra lisan Lampung baik yang berbentuk prosa maupun puisi mempunyai fungsi sebagai aalat pendidikan, nasehat keagamaan, adat dan juga sebagai media hiburan.

Untuk menjaga kesinambungan perkembangan sastra lisan Lampung ini sebaiknya berbagai pihak dan pemangku kepentingan harus terus berupaya mengadakan pembinaan anatar lain; dengan menggelar lomba dongeng atau baca puisi dalam bahasa Lampung. Apalagi bahasa daerah Lampung kini sudah masuk menjadi salah satu pilihan dalam kurikulum pendidikan muatan lokal (mulok) di Provinsi Lampung.

Jenis Sastra Lampung

Sebagaimana Melayu di Sumatra pada umumnya, Suku Lampung sangat kental dengan tradisi kelisanan. Pantun, syair, mantra, dan berbagai jenis sastra berkembang tidak dalam bentuk keberaksaraan, sehingga wajar jika memiliki pola-pola sastra lama yang serupa sebagai ciri dari kelisanan itu.

Sastra lisan Lampung menjadi milik kolektif suku Lampung . Ciri utamanya kelisanan, Anonim , dan lekat dengan kebiasaan, tradisi , dan adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung. Sastra itu banyak tersebar dalam masyarakat dan merupakan bagian sangat penting dari khazanah budaya etnis Lampung.

Menurut pakar bahasa Lampung A. Effendi Sanusi, jenis sastra lisan terbagi lima jenis yaitu berupa peribahasa , teka-teki , mantera , puisi , dan cerita rakyat .

Nasib Sastra Lampung

Perkembangan dan kehidupan sastra Lampung memang memprihatinkan, Penaka pepatah, bak kerakap di atas batu, hidup segan mati pun tak mau . Selama ini sastra lisan Lampung hanya bertumbuhkembang di komunitasnya. Sementara ini pemasyarakatan sastra Lampung yang bisa diakses oleh banyak orang hanya melalui RRI Bandar Lampung melalui program acara Ragom Budaya Lampung (RBL) dan Manjau Dibingi serta di TVRI SPK Bandar Lampung dalam program acara Pantun Setimbalan.

Sedangkan sosialisasi yang dilakukan Dinas Pendidikan, Taman Budaya, dan Yayasan Jung Foundation sifatnya hanya program insidentil dan tak berkelanjutan, karena terkendala dana dan kebijakan. Yang lebih memprihatinkan institusi perguruan tinggi di Lampung tak ada yang peduli dan menyentuh sastra Lampung sebagai bahan kajian atau kurikulumnya. Bahkan Universitas Lampung sebagai salah satu perguruan tinggi negeri andalan justru menutup program pendidikan D-3 Bahasa Lampung yang diharapkan akan menjadi salah satu persemaian dalam menumbuhkembangkan sastra Lampung.

Tradisi Sastra Tulis

Tidak seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern(teks) , sastra modern berbahasa Lampung baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak dwibahasa Lampung Indonesia karya Udo Z. Karzi, Momentum (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (2007)

Karya puisi Udo Z Karzi yang terdapat dalam antologi Momentum dan Mak Dawah Mak Dibingi tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Dengan kata lain, Udo melakukan pembaruan dalam perpuisian Lampung sehingga ada yang menyebut Udo sebagai “Bapak Puisi Modern Lampung". Melalui karyanya Mak Dawah Mak Dibingi Udo Z Karzi juga berhasil membukukan prestasi dengan mengunduh Hardiah Sastra Rancage 2008.

Namun, sangat disayangkan karena pada tahun 2009 Hadiah Sastra Rancage, kembali lepas dari tangan Lampung. Pasalnya, tak satu pun buku sastra berbahasa Lampung yang diterima panitia hingga batas deadline yang ditentukan. Sangat memprihatinkan. Konon, yang jadi penyebabnya tak ada satu pun penerbit maupun sponsor di Lampung yang berminat menerbitkan karya sastra berbahasa Lampung.

Padahal pejabat dan pengusaha Lampung banyak yang berkelebihan dan konon punya Piil. Tetapi Piil-nya baru keluar kalau bersaing dalam nyaleg dan Pilkada. Mereka bisa menebar banyak rupiah untuk kampanye, tetapi pelit untuk memajukan budaya daerahnya.

Jika ke depan ingin kehidupan sastra Lampung tidak punah, terus bertumbuhkembang dan eksis, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung beserta stake holder secara simulatan dan berkesinambungan harus terus mengagendakan program untuk mengangkat sastra Lampung dari keterpurukan. Selain itu, semua ulun Lampung juga harus punya rasa memiliki bahasa dan juga budayanya.

Program sosialisasi sastra lisan maupun tulisan Lampung melalui pendidikan baik melalui program kurikulum muatan lokal (mulok) yang disesuaikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) dan pelatihan untuk guru-guru kesenian merupakan langkah yang strategis dan efektif. Semoga.


* Dikirim untuk Lampung Post, tertanggal 10 Februari 2009, tetapi tidak termuat

** Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Jung Foundation dan Peneliti Folklor pada SEKELEK Institute Publishing House, tinggal di Lampung.

No comments:

Post a Comment