Oleh Iwan Nurdaya-Djafar
Ikut kembali bersama manuskrip kamus Van der Tuuk adalah dua karya klasik cerita rakyat Lampung, yaitu Tetimbai Anak Dalom (TAD) dan Tetimbai Si Dayang Rindu (TDR), yang tercantum pada bagian akhir manuskrip kamus.
KAMIS, 27 Februari 2014, adalah hari bersejarah bagi bahasa Lampung, karena pada hari itu bertempat di Hotel Emersia, Bandar Lampung, secara simbolis telah diserahkan manuskrip Kamus Bahasa Lampung-Belanda karya Hermanus Neubroner van der Tuuk dari Kerajaan Belanda kepada masyarakat Lampung yang diwakili oleh Dr. Kees Groeneboer (Kepala Erasmus Tallcentrum) kepada Panji Utama dari Lampung Peduli.
Pada kesempatan itu, Groeneboer menuturkan manuskrip tersebut merupakan bahan berharga untuk studi bahasa Lampung seraya mengingatkan manuskrip itu sulit dipelajari karena di samping mesti melek huruf ka-ga-nga versi lama, juga mesti memahami bahasa Belanda.
Menurut A. Teeuw, dalam makalahnya, Van der Tuuk sebagai Leksikografer, terhadap Kamus Lampung-Belanda itu Tuuk tak pernah menemukan kesempatan untuk menyunting dan membuatnya siap untuk publikasi. Teeuw juga menginformasikan terdapat dua versi manuskrip, satu yang lebih kecil dan satu yang besar, 600 halaman, yang mungkin versi terkemudian.
Dua langkah ingin saya usulkan demi menindaklanjuti manuskrip kamus tersebut, yaitu pertama membentuk tim penyusun Kamus Van der Tuuk yang terdiri dari pakar bahasa Lampung semisal Dr. Junaiyah H.M. dan Dr. Farida Ariani serta pakar bahasa Belanda, yaitu Dr. Kees Groeneboer sendiri.
Tim ini bekerja untuk mempelajari manuskrip setebal 600 halaman tersebut, menyunting, dan menyusunnya sebagai sebuah kamus yang layak terbit dan mudah dipahami. Langkah kedua, membentuk tim penerbitan kamus itu, yaitu apabila pekerjaan penyusunan kamus itu sudah rampung. Patut diingatkan bahwa pekerjaan mempelajari, menyunting, dan menyusun kamus berdasarkan manuskrip Van der Tuuk kiranya tak mudah, tetapi jangan sampai menyerah!
Kerja pendahuluan yang dirintis oleh Weber yang hanya sebanyak 27 halaman dan cuma huruf A serta J. Sugiarto yang sebanyak 71 halaman dan sampai huruf D mencerminkan kesulitan itu. Hal ini perlu diingatkan karena nasib manuskrip kamus Van der Tuuk yang lain yaitu Kamus Kawi-Bali-Belanda (Kawi-Balineesch-Nederlandsche Wordenboek) setebal 3.622 halaman meskipun berhasil diterbitkan dalam empat buku tebal, namun menurut Teeuw kebanyakan kandidat Ph.D. bahasa Belanda yang memanfaatkannya kadangkala akan mengutuk buku itu dan pengarangnya.
Boleh jadi, hal ini karena kerja seorang Hercules dan Kamus Kawi-Belanda-nya tak pernah dia selesaikan. Sebab, seperti Dr. James Muray, penyunting pertama Oxford English Dictionary (Kamus Ingris Oxford), Tuuk tertangkap di dalam sebuah jaring kata-kata.
Tetimbai Anak Dalom
Ikut kembali bersama manuskrip kamus Van der Tuuk adalah dua karya klasik cerita rakyat Lampung, yaitu Tetimbai Anak Dalom (TAD) dan Tetimbai Si Dayang Rindu (TDR), yang tercantum pada bagian akhir manuskrip kamus. Menurut Kees Groeneboer, pada bulan November 1868 dia (Tuuk) melaporkan untuk studi bahasa dia akhirnya dapat memakai dua cerita epik: Tjarita Anag Dalom dan Tjarita Dajang Rindoe.
Kedua cerita ini terkenal di seluruh masyarakat Lampung, bahkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dipakai di berbagai sajak. Van der Tuuk memiliki berbagai eksemplar dari kedua cerita ini. Van der Tuuk yang mempelajari bahasa Lampung dalam tahun 1868—1869 sangat tertarik akan epik-epik TAD dan TDR dan koleksinya, kini di Leiden, berisi lima salinan TAD dan empat TDR.
Manuskrip Van der Tuuk dalam prosa Melayu tidak bertitimangsa dan asalnya tidak diketahui, tapi rupanya berdasarkan tradisi lokal Palembang. Pada akhir kisah, manuskrip Van der Tuuk hanya menuturkan Dayang Merindu dibunuh dengan sebilah pedang oleh peminangnya yang masih hidup, tidak seperti manuskrip Brandes yang menyebutkan Dayang Merindu dipotong menjadi dua bagian, menyimpan bagian atas dan meninggalkan bagian bawah di Palembang. Versi lain menyebutkan bahwa ketika Pangiran Riya akan menggenggam tangannya, Dayang Rindu terbang ke surga.
Berdasarkan itu, dia ingin menyusun sebuah terbitan yang dimurnikan dan berdasarkan terbitan itu dia ingin membuat sebuah kamus bahasa Lampung. Namun, dia mengalami kesulitan menggunakannya untuk mempelajari bahasa Lampung. Sebab, walaupun tertulis dengan huruf bahasa Lampung, teks-teks ini mengandung campuran dari bahasa Jawa dan Melayu dengan di sana-sini menggunakan sebuah kata dari bahasa Lampung atau sejenisnya.
Dalam perkataan Tuuk sendiri melalui suratnya bertitimangsa 20 Maret 1869, “Kadang-kadang saya putus asa saat mencari sumber tertulis yang cocok untuk meneliti bahasa Lampung, karena di dalamnya ada banyak hal yang tidak dapat dimengerti, ataukah karena kecerobohan saat menyalin, ataukah karena di dalamnya terselip kata-kata yang berasal dari bahasa-bahasa lain.”
Louis Constant Westenenk (1872—1930) juga mengoleksi manuskrip TAD. Dia mencatat, menurut beberapa tradisi, Putri Gading Cempaka, telah dikenal di bawah nama Dayang Rinduh. Menurut P. Vooehoeve, rupanya ada suatu kekacauan dalam sumber-sumber Westenenk (1921) dengan epik Lampung Si Dayang Rindu. Epik ini memang dikenal di bagian selatan Residensi Bengkulu, tempat dialek Lampung terpakai.
Petrus Voorhoeve (1899—1996) yang melek huruf ka-ga-nga pernah juga melakukan penelitian di daerah Lampung, khususnya terhadap TDR dan TAD, yang kemudian dituangkan dalam artikel bertitel Some Notes on South-Sumatran Epics yang dimuat dalam buku Spectrum (penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1978, hlm. 92—102).
Buku ini diterbitkan untuk memperingati ulang tahun ke-70 Sutan Takdir Alisjahbana. P. Voorhoeve juga memasukkan bahasan dan satu episode TAD berjudul Anak Dalom Bertapa yang diambil dari manuskrip Helfrich ke dalam buku Sutan Takdir Alisjahbana, Puisi Lama (Balai Pustaka, 1948).
Terhadap kedua cerita epik Lampung itu, mesti pula diucapkan selamat datang, khususnya untuk TAD. Pasalnya, karena kanon sastra Lampung klasik itu tak ubahnya “anak hilang” dari khazanah karya klasik folklor Lampung.
Sekitar 1933 sebuah salinan TAD yang diilustrasikan dengan sangat bagus telah dikirim atas pinjaman Biro Sastra Rakyat (Balai Pustaka) di Jakarta dan di sana dialihhurufkan. Teks ini mungkin hilang dan akibatnya TAD gagal terbit.
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014
Ikut kembali bersama manuskrip kamus Van der Tuuk adalah dua karya klasik cerita rakyat Lampung, yaitu Tetimbai Anak Dalom (TAD) dan Tetimbai Si Dayang Rindu (TDR), yang tercantum pada bagian akhir manuskrip kamus.
KAMIS, 27 Februari 2014, adalah hari bersejarah bagi bahasa Lampung, karena pada hari itu bertempat di Hotel Emersia, Bandar Lampung, secara simbolis telah diserahkan manuskrip Kamus Bahasa Lampung-Belanda karya Hermanus Neubroner van der Tuuk dari Kerajaan Belanda kepada masyarakat Lampung yang diwakili oleh Dr. Kees Groeneboer (Kepala Erasmus Tallcentrum) kepada Panji Utama dari Lampung Peduli.
Pada kesempatan itu, Groeneboer menuturkan manuskrip tersebut merupakan bahan berharga untuk studi bahasa Lampung seraya mengingatkan manuskrip itu sulit dipelajari karena di samping mesti melek huruf ka-ga-nga versi lama, juga mesti memahami bahasa Belanda.
Menurut A. Teeuw, dalam makalahnya, Van der Tuuk sebagai Leksikografer, terhadap Kamus Lampung-Belanda itu Tuuk tak pernah menemukan kesempatan untuk menyunting dan membuatnya siap untuk publikasi. Teeuw juga menginformasikan terdapat dua versi manuskrip, satu yang lebih kecil dan satu yang besar, 600 halaman, yang mungkin versi terkemudian.
Dua langkah ingin saya usulkan demi menindaklanjuti manuskrip kamus tersebut, yaitu pertama membentuk tim penyusun Kamus Van der Tuuk yang terdiri dari pakar bahasa Lampung semisal Dr. Junaiyah H.M. dan Dr. Farida Ariani serta pakar bahasa Belanda, yaitu Dr. Kees Groeneboer sendiri.
Tim ini bekerja untuk mempelajari manuskrip setebal 600 halaman tersebut, menyunting, dan menyusunnya sebagai sebuah kamus yang layak terbit dan mudah dipahami. Langkah kedua, membentuk tim penerbitan kamus itu, yaitu apabila pekerjaan penyusunan kamus itu sudah rampung. Patut diingatkan bahwa pekerjaan mempelajari, menyunting, dan menyusun kamus berdasarkan manuskrip Van der Tuuk kiranya tak mudah, tetapi jangan sampai menyerah!
Kerja pendahuluan yang dirintis oleh Weber yang hanya sebanyak 27 halaman dan cuma huruf A serta J. Sugiarto yang sebanyak 71 halaman dan sampai huruf D mencerminkan kesulitan itu. Hal ini perlu diingatkan karena nasib manuskrip kamus Van der Tuuk yang lain yaitu Kamus Kawi-Bali-Belanda (Kawi-Balineesch-Nederlandsche Wordenboek) setebal 3.622 halaman meskipun berhasil diterbitkan dalam empat buku tebal, namun menurut Teeuw kebanyakan kandidat Ph.D. bahasa Belanda yang memanfaatkannya kadangkala akan mengutuk buku itu dan pengarangnya.
Boleh jadi, hal ini karena kerja seorang Hercules dan Kamus Kawi-Belanda-nya tak pernah dia selesaikan. Sebab, seperti Dr. James Muray, penyunting pertama Oxford English Dictionary (Kamus Ingris Oxford), Tuuk tertangkap di dalam sebuah jaring kata-kata.
Tetimbai Anak Dalom
Ikut kembali bersama manuskrip kamus Van der Tuuk adalah dua karya klasik cerita rakyat Lampung, yaitu Tetimbai Anak Dalom (TAD) dan Tetimbai Si Dayang Rindu (TDR), yang tercantum pada bagian akhir manuskrip kamus. Menurut Kees Groeneboer, pada bulan November 1868 dia (Tuuk) melaporkan untuk studi bahasa dia akhirnya dapat memakai dua cerita epik: Tjarita Anag Dalom dan Tjarita Dajang Rindoe.
Kedua cerita ini terkenal di seluruh masyarakat Lampung, bahkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dipakai di berbagai sajak. Van der Tuuk memiliki berbagai eksemplar dari kedua cerita ini. Van der Tuuk yang mempelajari bahasa Lampung dalam tahun 1868—1869 sangat tertarik akan epik-epik TAD dan TDR dan koleksinya, kini di Leiden, berisi lima salinan TAD dan empat TDR.
Manuskrip Van der Tuuk dalam prosa Melayu tidak bertitimangsa dan asalnya tidak diketahui, tapi rupanya berdasarkan tradisi lokal Palembang. Pada akhir kisah, manuskrip Van der Tuuk hanya menuturkan Dayang Merindu dibunuh dengan sebilah pedang oleh peminangnya yang masih hidup, tidak seperti manuskrip Brandes yang menyebutkan Dayang Merindu dipotong menjadi dua bagian, menyimpan bagian atas dan meninggalkan bagian bawah di Palembang. Versi lain menyebutkan bahwa ketika Pangiran Riya akan menggenggam tangannya, Dayang Rindu terbang ke surga.
Berdasarkan itu, dia ingin menyusun sebuah terbitan yang dimurnikan dan berdasarkan terbitan itu dia ingin membuat sebuah kamus bahasa Lampung. Namun, dia mengalami kesulitan menggunakannya untuk mempelajari bahasa Lampung. Sebab, walaupun tertulis dengan huruf bahasa Lampung, teks-teks ini mengandung campuran dari bahasa Jawa dan Melayu dengan di sana-sini menggunakan sebuah kata dari bahasa Lampung atau sejenisnya.
Dalam perkataan Tuuk sendiri melalui suratnya bertitimangsa 20 Maret 1869, “Kadang-kadang saya putus asa saat mencari sumber tertulis yang cocok untuk meneliti bahasa Lampung, karena di dalamnya ada banyak hal yang tidak dapat dimengerti, ataukah karena kecerobohan saat menyalin, ataukah karena di dalamnya terselip kata-kata yang berasal dari bahasa-bahasa lain.”
Louis Constant Westenenk (1872—1930) juga mengoleksi manuskrip TAD. Dia mencatat, menurut beberapa tradisi, Putri Gading Cempaka, telah dikenal di bawah nama Dayang Rinduh. Menurut P. Vooehoeve, rupanya ada suatu kekacauan dalam sumber-sumber Westenenk (1921) dengan epik Lampung Si Dayang Rindu. Epik ini memang dikenal di bagian selatan Residensi Bengkulu, tempat dialek Lampung terpakai.
Petrus Voorhoeve (1899—1996) yang melek huruf ka-ga-nga pernah juga melakukan penelitian di daerah Lampung, khususnya terhadap TDR dan TAD, yang kemudian dituangkan dalam artikel bertitel Some Notes on South-Sumatran Epics yang dimuat dalam buku Spectrum (penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1978, hlm. 92—102).
Buku ini diterbitkan untuk memperingati ulang tahun ke-70 Sutan Takdir Alisjahbana. P. Voorhoeve juga memasukkan bahasan dan satu episode TAD berjudul Anak Dalom Bertapa yang diambil dari manuskrip Helfrich ke dalam buku Sutan Takdir Alisjahbana, Puisi Lama (Balai Pustaka, 1948).
Terhadap kedua cerita epik Lampung itu, mesti pula diucapkan selamat datang, khususnya untuk TAD. Pasalnya, karena kanon sastra Lampung klasik itu tak ubahnya “anak hilang” dari khazanah karya klasik folklor Lampung.
Sekitar 1933 sebuah salinan TAD yang diilustrasikan dengan sangat bagus telah dikirim atas pinjaman Biro Sastra Rakyat (Balai Pustaka) di Jakarta dan di sana dialihhurufkan. Teks ini mungkin hilang dan akibatnya TAD gagal terbit.
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2014
No comments:
Post a Comment