Emha Ainun Nadjib |
Lampung istimewa. Berbagai isu nasional dipantik dari sini. Berbagai julukan muncul: laboratorium politik, lumbung konflik agraria, hingga istilah negeri asal begal.
PERISTIWA-PERISTIWA fenomenal yang terjadi di Lampung tak kurang mengundang perhatian para tokoh nasional. Bahkan, banyak ahli dan pengamat mengidentifikasi masalah untuk mengetahui apa penyebab fenomena ini.
Saat menyampaikan sambutan pada diskusi kebangsaan Sekala Selampung II di Menggala, pekan lalu, budayawan Emha Ainun Nadjib tak kurang memberi komentar panjang lebar tentang Lampung. Berikut pendapat seniman yang kerap dijuluki Kiai Mbeling itu, yang ditulis dengan format tanya-jawab oleh Sudarmono dari Lampung Post.
Apa pandangan Anda tentang kondisi terkini Lampung?
Saya melihat Lampung saat ini seperti mobil yang berada di perempatan jalan. Dia mau melaju ke arah mana, belum diputuskan. Sebab, tarik-menarik kepentingan terlihat sangat kuat.
Sejauh mana Anda mengenal Lampung?
Saya sangat kenal. Saya pernah lama di Lampung. Mertua saya di Lampung. Itu sebagai gambaran tentang kedekatan saya dengan Lampung. Dan sekarang, buktinya saya ada di sini.
Yang pasti, dalam setahun terakhir saya beberapa kali ke Lampung. Tadi sore, saya berada di Bratasena, tambak udang kemitraan plasma-inti yang sempat terjadi kesalahpahaman. Saya hadir di sana untuk ikut urun rembuk mencari solusi atas kemelut yang terjadi beberapa waktu lalu.
Nah, tadi sore itu kami menggelar syukuran atas kesepakatan yang telah terjalin. Insya Allah semua sudah beres dengan saling menyadari dan saling mendukung untuk kemudian berjalan bersama dan berproduksi kembali.
Kasus di tambak itu juga berbentuk konflik sosial yang dipicu kesenjangan ekonomi. Apa yang Anda tawarkan kepada para pihak?
Begini, ya. Kalau saya lihat, konflik ini adalah turunan dari euforia reformasi yang kebablasan. Banyak pihak yang ingin mencari keuntungan di era reformasi. Sebab, di masyarakat terbentuk semacam dikotomi keyakinan.
Dikotomi itu adalah, bahwa kalau terjadi perselisihan antara pemerintah dan rakyat, seolah selalu rakyat yang benar. Ketika ada konflik antara perusahaan dan buruh, seolah selalu buruh yang benar. Dan itu adalah fakta saat ini. Nah, apakah ini yang akan kita pelihara terus?
Arus pemikiran dikotomi yang keliru itu begitu kuat. Bagaimana cara meluruskan?
Dikotomi ini jelas keliru. Dan saya sebagai seorang warga negara yang kadang diminta untuk memberi pandangan dan diminta memberi perspektif kepada suatu konflik yang terjadi, kerap mendapat kecaman. Saya sudah sering dan bahkan menjadi langganan fitnah dari banyak LSM. Ketika saya ada di tengah kemelut yang terjadi antara perusahaan melawan buruh, misalnya, saya selalu diserang. Penyebabnya, saya sering berseberangan dengan pihak yang mengaku paling benar. Sebab, bagi saya, tidak ada pilihan untuk berada pada pihak yang salah. Siapa pun dia.
Menghadapi fitnah dan serangan begitu, apa yang Anda lakukan?
Selalu saja saya membuka diri untuk para pihak yang berhadap-hadapan. Mungkin karena mereka melihat saya tidak punya atribut di mana-mana, mereka bisa menerima saya. Saya hanya orang biasa yang ingin menjadi air yang bisa menyejukkan, menjadi api yang menghangatkan, dan menjadi gula yang bisa membuat semua tersenyum manis.
Saya tidak punya atibut ini-itu. Saya tidak berpihak kepada satu golongan. Saya mengaku sebagai Nahdlatul Muhammadiyah ketika ada perdebatan antara keduanya. Saya selalu berusaha keras untuk berada dan berpihak kepada yang benar. Apa pun risikonya. Dan saya selalu berjuang keras untuk bisa menegakkan kebenaran itu pada situasi konflik sebesar apa pun.
Identifikasi Anda tentang Lampung berada di perempatan jalan, apa itu?
Ya, Lampung ini saya nilai sedang berada di posisi transisi. Kalau dilihat dari penampilannya, Lampung tidak bisa disebut daerah tertinggal atau terbelakang. Kehidupan modern sudah menjadi bagian dari masyarakatnya.
Di lain pihak, Lampung masih belum memiliki tingkat kedewasaan intelektual yang memadai untuk kehidupan demokrasi yang sedang tumbuh. Budaya diskusi dengan menyuguhkan hasil kajian ilmu pengetahuan seperti di Yogyakarta, belum intensif di sini. Ini bisa dilihat dari rasa saling menerima kritik dari para pihak yang terlihat masih kurang. Dan ini butuh proses panjang melalui pendidikan dan kebudayaan yang berkembang.
Apakah diskusi semacam ini bisa menjadi titik awal kehidupan budaya kritis yang Anda maksud?
Saya berharap, acara dengan konsep diskusi bebas semacam ini bisa dikembangkan terus di Lampung. Saya sudah puluhan tahun memelihara forum semacam ini. Bukan hanya di Yogyakarta, tetapi di berbagai tempat.
Di Jombang, sebulan sekali saya harus pulang kampung untuk hadir dalam forum ma’iyah pengajian Padang Mbulan yang diselenggarakan setiap bulan purnama. Kami sebut ma’iyah yang artinya forum kebersamaan. Di Yogyakarta, ada forum Macapat Syafaat. Dan masih banyak lagi di berbagai tempat. Nah, di Lampung ini, beberapa waktu lalu ada yang menggagas Sekala Selampung. Penggagasnya berharap forum ini menjadi seperti yang ada di Yogyakarta atau yang lain.
Apa urgensinya?
Orang itu, ya, pada dasarnya tidak mau terkotak-kotak berada pada suatu tempat yang sempit. Nah, di forum ini kita sangat bebas. Bahkan tidak ada aturan. Kapan mau dimulai juga bisa disepakati bersama. Juga kapan mau bubar.
Orang boleh ngomong apa saja tanpa ada rasa takut. Nah, ternyata forum yang tanpa batas begitulah yang membuat ornag lebih terbebas dari segala kepentingan. Dan dengan keterbukaan itu, ternyata solusi lebih arif dan jalan yang bisa diterima dengan ikhlas lebih banyak di dapat. Maka, forum ini saya anggap penting. Dengan catatan, jangan menggagas forum ini kemudian menjadi ormas, LSM, apalagi parpol.
Apa saran Anda untuk Lampung lebih baik?
Sekarang ini, Indonesia tidak punya tokoh sesepuh yang menjadi negarawan lagi. Yang ada adalah banyak kesatria. Sayangnya, sekarang banyak kesatria yang suka bertengkar. Akibatnya, mereka sibuk menyerang dan membela diri. Kemudian kejadiannya, rakyat yang sengsara. Saya pikir, kondisi Lampung juga sama. Padahal, potensi sumber daya alam dan sumber daya lainnya sangat besar. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014
PERISTIWA-PERISTIWA fenomenal yang terjadi di Lampung tak kurang mengundang perhatian para tokoh nasional. Bahkan, banyak ahli dan pengamat mengidentifikasi masalah untuk mengetahui apa penyebab fenomena ini.
Saat menyampaikan sambutan pada diskusi kebangsaan Sekala Selampung II di Menggala, pekan lalu, budayawan Emha Ainun Nadjib tak kurang memberi komentar panjang lebar tentang Lampung. Berikut pendapat seniman yang kerap dijuluki Kiai Mbeling itu, yang ditulis dengan format tanya-jawab oleh Sudarmono dari Lampung Post.
Apa pandangan Anda tentang kondisi terkini Lampung?
Saya melihat Lampung saat ini seperti mobil yang berada di perempatan jalan. Dia mau melaju ke arah mana, belum diputuskan. Sebab, tarik-menarik kepentingan terlihat sangat kuat.
Sejauh mana Anda mengenal Lampung?
Saya sangat kenal. Saya pernah lama di Lampung. Mertua saya di Lampung. Itu sebagai gambaran tentang kedekatan saya dengan Lampung. Dan sekarang, buktinya saya ada di sini.
Yang pasti, dalam setahun terakhir saya beberapa kali ke Lampung. Tadi sore, saya berada di Bratasena, tambak udang kemitraan plasma-inti yang sempat terjadi kesalahpahaman. Saya hadir di sana untuk ikut urun rembuk mencari solusi atas kemelut yang terjadi beberapa waktu lalu.
Nah, tadi sore itu kami menggelar syukuran atas kesepakatan yang telah terjalin. Insya Allah semua sudah beres dengan saling menyadari dan saling mendukung untuk kemudian berjalan bersama dan berproduksi kembali.
Kasus di tambak itu juga berbentuk konflik sosial yang dipicu kesenjangan ekonomi. Apa yang Anda tawarkan kepada para pihak?
Begini, ya. Kalau saya lihat, konflik ini adalah turunan dari euforia reformasi yang kebablasan. Banyak pihak yang ingin mencari keuntungan di era reformasi. Sebab, di masyarakat terbentuk semacam dikotomi keyakinan.
Dikotomi itu adalah, bahwa kalau terjadi perselisihan antara pemerintah dan rakyat, seolah selalu rakyat yang benar. Ketika ada konflik antara perusahaan dan buruh, seolah selalu buruh yang benar. Dan itu adalah fakta saat ini. Nah, apakah ini yang akan kita pelihara terus?
Arus pemikiran dikotomi yang keliru itu begitu kuat. Bagaimana cara meluruskan?
Dikotomi ini jelas keliru. Dan saya sebagai seorang warga negara yang kadang diminta untuk memberi pandangan dan diminta memberi perspektif kepada suatu konflik yang terjadi, kerap mendapat kecaman. Saya sudah sering dan bahkan menjadi langganan fitnah dari banyak LSM. Ketika saya ada di tengah kemelut yang terjadi antara perusahaan melawan buruh, misalnya, saya selalu diserang. Penyebabnya, saya sering berseberangan dengan pihak yang mengaku paling benar. Sebab, bagi saya, tidak ada pilihan untuk berada pada pihak yang salah. Siapa pun dia.
Menghadapi fitnah dan serangan begitu, apa yang Anda lakukan?
Selalu saja saya membuka diri untuk para pihak yang berhadap-hadapan. Mungkin karena mereka melihat saya tidak punya atribut di mana-mana, mereka bisa menerima saya. Saya hanya orang biasa yang ingin menjadi air yang bisa menyejukkan, menjadi api yang menghangatkan, dan menjadi gula yang bisa membuat semua tersenyum manis.
Saya tidak punya atibut ini-itu. Saya tidak berpihak kepada satu golongan. Saya mengaku sebagai Nahdlatul Muhammadiyah ketika ada perdebatan antara keduanya. Saya selalu berusaha keras untuk berada dan berpihak kepada yang benar. Apa pun risikonya. Dan saya selalu berjuang keras untuk bisa menegakkan kebenaran itu pada situasi konflik sebesar apa pun.
Identifikasi Anda tentang Lampung berada di perempatan jalan, apa itu?
Ya, Lampung ini saya nilai sedang berada di posisi transisi. Kalau dilihat dari penampilannya, Lampung tidak bisa disebut daerah tertinggal atau terbelakang. Kehidupan modern sudah menjadi bagian dari masyarakatnya.
Di lain pihak, Lampung masih belum memiliki tingkat kedewasaan intelektual yang memadai untuk kehidupan demokrasi yang sedang tumbuh. Budaya diskusi dengan menyuguhkan hasil kajian ilmu pengetahuan seperti di Yogyakarta, belum intensif di sini. Ini bisa dilihat dari rasa saling menerima kritik dari para pihak yang terlihat masih kurang. Dan ini butuh proses panjang melalui pendidikan dan kebudayaan yang berkembang.
Apakah diskusi semacam ini bisa menjadi titik awal kehidupan budaya kritis yang Anda maksud?
Saya berharap, acara dengan konsep diskusi bebas semacam ini bisa dikembangkan terus di Lampung. Saya sudah puluhan tahun memelihara forum semacam ini. Bukan hanya di Yogyakarta, tetapi di berbagai tempat.
Di Jombang, sebulan sekali saya harus pulang kampung untuk hadir dalam forum ma’iyah pengajian Padang Mbulan yang diselenggarakan setiap bulan purnama. Kami sebut ma’iyah yang artinya forum kebersamaan. Di Yogyakarta, ada forum Macapat Syafaat. Dan masih banyak lagi di berbagai tempat. Nah, di Lampung ini, beberapa waktu lalu ada yang menggagas Sekala Selampung. Penggagasnya berharap forum ini menjadi seperti yang ada di Yogyakarta atau yang lain.
Apa urgensinya?
Orang itu, ya, pada dasarnya tidak mau terkotak-kotak berada pada suatu tempat yang sempit. Nah, di forum ini kita sangat bebas. Bahkan tidak ada aturan. Kapan mau dimulai juga bisa disepakati bersama. Juga kapan mau bubar.
Orang boleh ngomong apa saja tanpa ada rasa takut. Nah, ternyata forum yang tanpa batas begitulah yang membuat ornag lebih terbebas dari segala kepentingan. Dan dengan keterbukaan itu, ternyata solusi lebih arif dan jalan yang bisa diterima dengan ikhlas lebih banyak di dapat. Maka, forum ini saya anggap penting. Dengan catatan, jangan menggagas forum ini kemudian menjadi ormas, LSM, apalagi parpol.
Apa saran Anda untuk Lampung lebih baik?
Sekarang ini, Indonesia tidak punya tokoh sesepuh yang menjadi negarawan lagi. Yang ada adalah banyak kesatria. Sayangnya, sekarang banyak kesatria yang suka bertengkar. Akibatnya, mereka sibuk menyerang dan membela diri. Kemudian kejadiannya, rakyat yang sengsara. Saya pikir, kondisi Lampung juga sama. Padahal, potensi sumber daya alam dan sumber daya lainnya sangat besar. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2014
No comments:
Post a Comment