Oleh Meza Swastika
Dari bukit, di pintu masuk wilayah Ulubelu, memandang lembah sejuk itu seperti lukisan pemandangan. Indah.
HARI masih terang, tetapi hawa sejuk sudah mulai membekap desa-desa di lereng Bukit Rendingan, Ulubelu, Tanggamus. Petani-petani kopi yang pulang dari kebun menggendong ranting-ranting kayu menyeruak dari rerimbunan hutan.
Di Pekon (Desa) Ngarip, tiga perempuan tua duduk bertingkat mencari kutu di tangga rumah panggung. Meskipun terlihat primitif, mereka tampak acuh tak acuh terhadap deru alat-alat berat yang lewat, juga pipa-pipa besi yang berkilau diterpa sinar matahari sore. Pemandangan kontras itu adalah “harmoni” baru warga di lembah yang menyimpan deposit panas bumi sangat besar itu.
Secangkir kopi asli yang harum tersaji di salah satu rumah panggung di pekon itu. Pada sore hari yang dingin di atas ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut berhadapan dengan Gunung Tanggamus yang menjulang. Permukiman-permukiman penduduk yang terlihat hanya seperti jentik.
Saidah (45) datang dari dalam rumah membawa dua piring kacang tanah rebus. "Nyicip dari hasil kebun di belakang rumah," ujar Saidah.
Hampir 58 kilometer menempuh jarak dari Talangpadang menuju Ulubelu dengan jalur yang terjal dan jalan yang rusak di mana-mana. Di bawah bayang-bayang tanah yang ringkih dari longsor dan jurang yang dalam, penat cukup terbayar hanya dengan secangkir kopi wangi. Benar, gaung reputasi kopi Ulubelu memang sudah dikenal bahkan hingga luar negeri.
Di Ulubelu, secangkir kopi menjadi simbol sebagai sebuah penyambutan. Sekaligus juga sebagai jalinan persaudaraan antarsesama warga ataupun kepada pendatang. Kopi menjadi pengikat, kapan pun di mana pun, ngopi menjadi ritual kebersamaan bagi warga di Ulubelu.
Tradisi yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun ini membudaya terus-menerus menciptakan hubungan yang harmonis antarwarga di tiap pekon yang ada di Kecamatan Ulubelu. Bahkan, kopi sudah menjadi oleh-oleh wajib bagi warga Ulubelu yang bertandang ke sanak familinya di luar Ulubelu.
"Kalau ke Karang (Bandar Lampung, red) lihat anak saya, pasti minta bawain kopi, saya biasanya bawa 10 kilo yang belum digiling untuk oleh-oleh," kata Rahman, salah satu warga Ngarip.
Malam hari, di salah satu pos ronda, Rahman bertutur, kopi Ulubelu memang sudah dikenal sejak dulu. Jauh sebelum perusahaan kopi instan datang ke Ulubelu untuk bermitra. "Kami tak pakai pupuk kimia, semua kami lakukan secara tradisional seperti kakek buyut kami dulu bertani kopi, mungkin itu yang membuat kopi kami dikenal.”
Hampir seluruh warga Ulubelu memang mengandalkan hidupnya dari bertani kopi sejak dulu. Turun-temurun dengan tetap menjaga kualitas kopi yang mereka panen untuk tetap pada citarasa sebuah kopi asli.
Belantara Kopi
Sepanjang perjalanan menuju ke Pekon Ngarip yang menjadi ibu kota Kecamatan Ulubelu, deretan perkebunan kopi memang mendominasi daerah ini. Sejauh-jauh mata memandang batang-batang kopi terlihat rimbun.
Namun, sayangnya para petani kopi di daerah ini mengaku tak terlalu bisa merasakan harga kopi yang mereka budi dayakan. Termasuk tak merasakan kebanggaan kualitas kopi yang begitu masyhur dari Ulubelu ini.
Buruknya infrastruktur di Ulubelu menjadi jualan para pedagang pengepul untuk menawar kopi para petani dengan harga yang amat rendah. Barulah setelah salah satu produk kopi instan datang ke Ulubelu, petani baru mulai merasakan nikmatnya harga kopi yang mereka budi dayakan sejak turun-temurun.
Ada kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat, tentang larangan untuk merambah hutan lindung untuk budi daya kopi. Ada pantangan untuk menghilangkan sumber pangan tamong (harimau, red) yang mereka anggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Ulubelu.
"Dulu pernah ada kebun kopi yang dirusak gajah karena merambah di hutan kawasan. Atau ada yang didatangi tamong waktu lagi berkebun," kata Rahman.
Reputasi kopi Ulubelu tak lepas dari mata Belanda yang dengan jeli menunjuk lembah sejuk dan terisolasi ini jauh sebelum merdeka. Meskipun nama Ulubelu baru moncer kembali setelah eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di wilayah itu, Belanda sudah membangun “kota satelit” di ceruk itu. Tilas-tilas tentang kejayaan Belanda menanam kopi dan aneka komoditas lain tercatat dalam sejarah.
Mengunjungi Ulubelu memang tidak sesederhana suatu perjalanan. Jalanan meliuk melewati dan mendaki punggung-punggung bukit dengan sisi lainnya berupa jurang adalah pengalaman yang lumayan bagi pendatang. Hutan kopi di bukit-bukit nan hijau juga menjadi simbol kemakmuran suatu area agraris.
Air jernih mengalir dari gunung melewati parit-parit sisi jalan yang tak terurus. Namun, kondisi itu justru menguatkan bahwa air jernih itu begitu alami dan segar tanpa kontaminasi. Juga satwa-satwa kecil yang masih cukup bebas di alam terbuka.
Di beberapa lokasi, ada kampung-kampung etnik yang masih menahan diri dari gempuran arsitektur modern. Rumah-rumah panggung dengan konstruksi kayu, beralas dan berdinding papan, beratap seng, melengkapi aktivitas penghuninya yang juga masih cukup homogen.
Peranti kerja semisal bronang, keranjang panjang dari jalinan bilah bambu sebagai wadah pengangkut barang yang digendongkan dengan kepala masih kerap terlihat dipakai kaum ibu tani. Alat-alat tangkap ikan seperti bubu kadang masih dijumpai tersimpan di rumah etnik. Juga warga menjemur kopi di halaman, bahkan di tengah jalan.
Harmoni etnik antara penduduk asli dengan pendatang juga menjadi warna indah pembauran di Ulubelu. Berada di komunitas berbahasa Lampung, kerap kita temui orang-orang dengan nama Jawa tetapi fasih berdiskusi dengan bahasa dan logat Lampung. Demikian juga ketika di kampung Jawa, orang Semendo atau Lampung sudah sulit dibedakan kecuali dianggap sebagai orang Jawa.
Spektakulasi di Ulubelu adalah alamnya yang memang aduhai. Memandang Ulubelu dari bukit sebelum masuk wilayah ini, seperti menyaksikan lukisan pemandangan alam yang lengkap. Perkampungan warga, kompleks eksploitasi panas bumi, kebun kopi, dan hutan adalah hamparan permadani yang indah. Sedangkan uap panas bumi yang menyembul dari perut bumi berupa asap putih menggumpal-gumpal ke udara mewarnai langit biru seperti salju terbang. Luar biasa. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
Dari bukit, di pintu masuk wilayah Ulubelu, memandang lembah sejuk itu seperti lukisan pemandangan. Indah.
HARI masih terang, tetapi hawa sejuk sudah mulai membekap desa-desa di lereng Bukit Rendingan, Ulubelu, Tanggamus. Petani-petani kopi yang pulang dari kebun menggendong ranting-ranting kayu menyeruak dari rerimbunan hutan.
Di Pekon (Desa) Ngarip, tiga perempuan tua duduk bertingkat mencari kutu di tangga rumah panggung. Meskipun terlihat primitif, mereka tampak acuh tak acuh terhadap deru alat-alat berat yang lewat, juga pipa-pipa besi yang berkilau diterpa sinar matahari sore. Pemandangan kontras itu adalah “harmoni” baru warga di lembah yang menyimpan deposit panas bumi sangat besar itu.
Secangkir kopi asli yang harum tersaji di salah satu rumah panggung di pekon itu. Pada sore hari yang dingin di atas ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut berhadapan dengan Gunung Tanggamus yang menjulang. Permukiman-permukiman penduduk yang terlihat hanya seperti jentik.
Saidah (45) datang dari dalam rumah membawa dua piring kacang tanah rebus. "Nyicip dari hasil kebun di belakang rumah," ujar Saidah.
Hampir 58 kilometer menempuh jarak dari Talangpadang menuju Ulubelu dengan jalur yang terjal dan jalan yang rusak di mana-mana. Di bawah bayang-bayang tanah yang ringkih dari longsor dan jurang yang dalam, penat cukup terbayar hanya dengan secangkir kopi wangi. Benar, gaung reputasi kopi Ulubelu memang sudah dikenal bahkan hingga luar negeri.
Di Ulubelu, secangkir kopi menjadi simbol sebagai sebuah penyambutan. Sekaligus juga sebagai jalinan persaudaraan antarsesama warga ataupun kepada pendatang. Kopi menjadi pengikat, kapan pun di mana pun, ngopi menjadi ritual kebersamaan bagi warga di Ulubelu.
Tradisi yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun ini membudaya terus-menerus menciptakan hubungan yang harmonis antarwarga di tiap pekon yang ada di Kecamatan Ulubelu. Bahkan, kopi sudah menjadi oleh-oleh wajib bagi warga Ulubelu yang bertandang ke sanak familinya di luar Ulubelu.
"Kalau ke Karang (Bandar Lampung, red) lihat anak saya, pasti minta bawain kopi, saya biasanya bawa 10 kilo yang belum digiling untuk oleh-oleh," kata Rahman, salah satu warga Ngarip.
Malam hari, di salah satu pos ronda, Rahman bertutur, kopi Ulubelu memang sudah dikenal sejak dulu. Jauh sebelum perusahaan kopi instan datang ke Ulubelu untuk bermitra. "Kami tak pakai pupuk kimia, semua kami lakukan secara tradisional seperti kakek buyut kami dulu bertani kopi, mungkin itu yang membuat kopi kami dikenal.”
Hampir seluruh warga Ulubelu memang mengandalkan hidupnya dari bertani kopi sejak dulu. Turun-temurun dengan tetap menjaga kualitas kopi yang mereka panen untuk tetap pada citarasa sebuah kopi asli.
Belantara Kopi
Sepanjang perjalanan menuju ke Pekon Ngarip yang menjadi ibu kota Kecamatan Ulubelu, deretan perkebunan kopi memang mendominasi daerah ini. Sejauh-jauh mata memandang batang-batang kopi terlihat rimbun.
Namun, sayangnya para petani kopi di daerah ini mengaku tak terlalu bisa merasakan harga kopi yang mereka budi dayakan. Termasuk tak merasakan kebanggaan kualitas kopi yang begitu masyhur dari Ulubelu ini.
Buruknya infrastruktur di Ulubelu menjadi jualan para pedagang pengepul untuk menawar kopi para petani dengan harga yang amat rendah. Barulah setelah salah satu produk kopi instan datang ke Ulubelu, petani baru mulai merasakan nikmatnya harga kopi yang mereka budi dayakan sejak turun-temurun.
Ada kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat, tentang larangan untuk merambah hutan lindung untuk budi daya kopi. Ada pantangan untuk menghilangkan sumber pangan tamong (harimau, red) yang mereka anggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Ulubelu.
"Dulu pernah ada kebun kopi yang dirusak gajah karena merambah di hutan kawasan. Atau ada yang didatangi tamong waktu lagi berkebun," kata Rahman.
Reputasi kopi Ulubelu tak lepas dari mata Belanda yang dengan jeli menunjuk lembah sejuk dan terisolasi ini jauh sebelum merdeka. Meskipun nama Ulubelu baru moncer kembali setelah eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di wilayah itu, Belanda sudah membangun “kota satelit” di ceruk itu. Tilas-tilas tentang kejayaan Belanda menanam kopi dan aneka komoditas lain tercatat dalam sejarah.
Mengunjungi Ulubelu memang tidak sesederhana suatu perjalanan. Jalanan meliuk melewati dan mendaki punggung-punggung bukit dengan sisi lainnya berupa jurang adalah pengalaman yang lumayan bagi pendatang. Hutan kopi di bukit-bukit nan hijau juga menjadi simbol kemakmuran suatu area agraris.
Air jernih mengalir dari gunung melewati parit-parit sisi jalan yang tak terurus. Namun, kondisi itu justru menguatkan bahwa air jernih itu begitu alami dan segar tanpa kontaminasi. Juga satwa-satwa kecil yang masih cukup bebas di alam terbuka.
Di beberapa lokasi, ada kampung-kampung etnik yang masih menahan diri dari gempuran arsitektur modern. Rumah-rumah panggung dengan konstruksi kayu, beralas dan berdinding papan, beratap seng, melengkapi aktivitas penghuninya yang juga masih cukup homogen.
Peranti kerja semisal bronang, keranjang panjang dari jalinan bilah bambu sebagai wadah pengangkut barang yang digendongkan dengan kepala masih kerap terlihat dipakai kaum ibu tani. Alat-alat tangkap ikan seperti bubu kadang masih dijumpai tersimpan di rumah etnik. Juga warga menjemur kopi di halaman, bahkan di tengah jalan.
Harmoni etnik antara penduduk asli dengan pendatang juga menjadi warna indah pembauran di Ulubelu. Berada di komunitas berbahasa Lampung, kerap kita temui orang-orang dengan nama Jawa tetapi fasih berdiskusi dengan bahasa dan logat Lampung. Demikian juga ketika di kampung Jawa, orang Semendo atau Lampung sudah sulit dibedakan kecuali dianggap sebagai orang Jawa.
Spektakulasi di Ulubelu adalah alamnya yang memang aduhai. Memandang Ulubelu dari bukit sebelum masuk wilayah ini, seperti menyaksikan lukisan pemandangan alam yang lengkap. Perkampungan warga, kompleks eksploitasi panas bumi, kebun kopi, dan hutan adalah hamparan permadani yang indah. Sedangkan uap panas bumi yang menyembul dari perut bumi berupa asap putih menggumpal-gumpal ke udara mewarnai langit biru seperti salju terbang. Luar biasa. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
No comments:
Post a Comment