Oleh Jauhari Zailani
SEPULANG salat subuh di masjid, membaca koran di teras rumah. Pagi itu, saya tercenung membaca iklan baris, tertulis: “Dijual tanah 10.600 m2. Ex lapangan bola, di kecamatan..., hubungi no telpon.....”. Yang membuat saya garuk-garuk kepala, padahal tak gatal, adalah keterangan pada iklan baris itu: “ex lapangan bola”. Iklan ini menarik perhatian saya karena di sekitar tempat tinggal saya, terdapat beberapa lapangan bola, yang bisa saja sewaktu-waktu dijual juga dan beralih fungsi.
Tanah Lapang Siapa Punya?
Tanah lapang penuh kenangan. Sejak kami kecil, 50 tahun yang lalu, saban sore tanah itu tempat kami bermain. Bermain kejar-kejaran, bermain bola, tempat upacara dan acara sekolah seperti pertandingan olahraga. Sesekali dipakai pertandingan bola antarkampung. Dalam lapangan, kami berlari-lari, dari pinggir lapangan, kami bisa berteriak-berjingkrak, saksikan pertandingan bola. Sekitar hari Lebaran, usai melakukan salat hari raya, lapangan itu dipakai untuk semacam pasar malam. Dengan aneka mainan. Sungguh, kenangan manis pada tanah lapang.
Kini, tanah lapang itu kondisinya amat memprihatinkan. Dari jalan tak lagi tampak. Tertutup lapak-lapak tenda PKL. Berawal dari satu, kini berderet menutup pandangan. Tanah lapang itu siap digerogoti, siap diserobot dan dijarah. Sejumlah tanya, kita dapat diajukan. Saya dan Anda dapat bertanya. Bagaimana dengan tanah lapang di sekitar tempat kita tinggal? Apakah ada tanah lapang yang dipakai untuk main bola, anak-anak kita, atau bahkan mungkin malah kita sendiri? Masihkah aman, masihkah dapat diamankan, selamatkah tanah lapang itu? Selamatkan.
Iklan baris yang dimuat di Lampost tersebut mengingatkan saya pada peristiwa 40 tahun yang lalu. Suatu ketika di Yogyakarta, saya menyaksikan konflik antara sebuah lembaga pendidikan dan warga lingkungan sekolah tersebut. “Lapangan bola akan dibangun menjadi gedung sekolah,” kira-kira begitu bunyi headline koran terbesar di Kota Gudeg tersebut. Padahal, lapangan bola itu sudah berpuluh tahun menjadi arena bermain bagi anak-anak dan warga sekitarnya. Tentu saja, perubahan fungsi dari lapangan bola menjadi gedung sekolah “mengagetkan” warga. Tanya warga, memang lapangan ini siapa yang punya?
Pertanyaan seperti itu dapat kita ajukan, karena kasus seperti itu dengan sangat mungkin, menimpa tanah lapang di sekitar kita. Dengan merujuk pada iklan di atas, sudah jelas ancaman itu kian nyata. Dengan merujuk lapangan yang ada dekat dengan tempat kita mukim. Untuk saya yang tinggal di kawasan Way Halim, untuk sekadar contoh kasus.
Bayangkan, tanah milik pemerintah, yang diperuntukkan menjadi hutan kota, beberapa tahun yang lalu dikuasai oleh pengusaha. Tanah seluas 14 hektare tersebut di pagar keliling. Padahal, tempat itu ada lapangan sofbol, lapangan tempat orang berlatih menyetir kendaraan seperti mobil dan sepeda motor. Lahan itu acap menjadi tempat konser musik. Ketika dipagar oleh pengusaha, band yang sangat terkenal terpaksa konser di lapangan dalam Stadion PKOR Way Halim.
Contoh lain, lapangan bola yang terletak di Jalan Ki Maja, bersebelahan dengan dua sekolah dasar dan puskesmas. Berada di tengah permukiman warga, di kampung dan perumahan. Kini, perlahan tapi pasti, lapangan bola itu kian sempit dengan munculnya lapak-lapak, tenda, dan kios-kios PKL. Bahkan kini, sudah muncul rumah makan dengan bangunan semipermanen. Lapangan itu praktis tak lagi menarik untuk main bola. Begitu juga lapangan di belakang RS Imanuel, di sebelah SMAN 5. Anda yang mukim di belakang PTPN Kedaton, tentu dapat melihat lapangan yang kian menyempit, atau Anda yang tinggal di Kampungsawah dan Enggal.
Selamatkan Tanah Lapang
Pendeknya tanah lapang, kita menyebut lapangan bola, yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Tanah-tanah tak bertuan itu, semula tidak ada yang menguasai, tidak ada yang memiliki. Kini, lambat laun terimpit oleh desakan manusia. Tentu saja keliru, jika saya beranggapan tanah-tanah lapang tersebut tak ada yang memiliki. Yang sudah pasti, tanah ada yang memiliki, pun masih dijarah. Apalagi tanah tak bertuan?
Mari kita sadari, kita, anak-anak kita, perlu tanah lapang sebagai ruang publik. Ruang bersama. Ruang bersama yang harus kita selamatkan. Mari, tolong, kita cek bersama, apakah tanah lapang yang di sekitar kita telah ada orang atau badan yang memiliki? Jika belum, hampir pasti belum, mari kita urus. Mari kita selamatkan. Bagi kepala daerah, atau siapa pun yang peduli, sudah semestinya menyelamatkan tanah-tanah lapang di kota ini. Dengan hiperbolis kita dapat mengatakan, dengan menyelamatkan tanah lapang, kita menyelamatkan generasi depan, anak-anak muda, anak-anak kita dari perilaku negatif.
Ajakan ini, disadari dan didasari oleh kasus-kasus yang telah disampaikan di atas. Kini, kian relevan ajakan menyelamatkan tanah lapang. Situasinya kini, di tengah derasnya derap pembangunan kota, lahan-lahan kosong menjadi incaran. Tanah-tanah lapang, yang disebut sebagai lapangan bola itu, jumlah dan luasnya kian menyusut. Tak ada yang mencegah. Wahai, siapa pun Anda yang bertelinga, dengar suara ini. Siapa yang dapat membaca pesan ini, selamatkan tanah lapang. Siapa yang prihatin pada masa depan bangsa, selamatkan tanah lapang. Siapa yang sayang pada anak-anak kita, selamatkan tanah lapang. n
Jauhari Zailani, Dosen Universitas Muhammadiyah Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 Maret 2014
SEPULANG salat subuh di masjid, membaca koran di teras rumah. Pagi itu, saya tercenung membaca iklan baris, tertulis: “Dijual tanah 10.600 m2. Ex lapangan bola, di kecamatan..., hubungi no telpon.....”. Yang membuat saya garuk-garuk kepala, padahal tak gatal, adalah keterangan pada iklan baris itu: “ex lapangan bola”. Iklan ini menarik perhatian saya karena di sekitar tempat tinggal saya, terdapat beberapa lapangan bola, yang bisa saja sewaktu-waktu dijual juga dan beralih fungsi.
Tanah Lapang Siapa Punya?
Tanah lapang penuh kenangan. Sejak kami kecil, 50 tahun yang lalu, saban sore tanah itu tempat kami bermain. Bermain kejar-kejaran, bermain bola, tempat upacara dan acara sekolah seperti pertandingan olahraga. Sesekali dipakai pertandingan bola antarkampung. Dalam lapangan, kami berlari-lari, dari pinggir lapangan, kami bisa berteriak-berjingkrak, saksikan pertandingan bola. Sekitar hari Lebaran, usai melakukan salat hari raya, lapangan itu dipakai untuk semacam pasar malam. Dengan aneka mainan. Sungguh, kenangan manis pada tanah lapang.
Kini, tanah lapang itu kondisinya amat memprihatinkan. Dari jalan tak lagi tampak. Tertutup lapak-lapak tenda PKL. Berawal dari satu, kini berderet menutup pandangan. Tanah lapang itu siap digerogoti, siap diserobot dan dijarah. Sejumlah tanya, kita dapat diajukan. Saya dan Anda dapat bertanya. Bagaimana dengan tanah lapang di sekitar tempat kita tinggal? Apakah ada tanah lapang yang dipakai untuk main bola, anak-anak kita, atau bahkan mungkin malah kita sendiri? Masihkah aman, masihkah dapat diamankan, selamatkah tanah lapang itu? Selamatkan.
Iklan baris yang dimuat di Lampost tersebut mengingatkan saya pada peristiwa 40 tahun yang lalu. Suatu ketika di Yogyakarta, saya menyaksikan konflik antara sebuah lembaga pendidikan dan warga lingkungan sekolah tersebut. “Lapangan bola akan dibangun menjadi gedung sekolah,” kira-kira begitu bunyi headline koran terbesar di Kota Gudeg tersebut. Padahal, lapangan bola itu sudah berpuluh tahun menjadi arena bermain bagi anak-anak dan warga sekitarnya. Tentu saja, perubahan fungsi dari lapangan bola menjadi gedung sekolah “mengagetkan” warga. Tanya warga, memang lapangan ini siapa yang punya?
Pertanyaan seperti itu dapat kita ajukan, karena kasus seperti itu dengan sangat mungkin, menimpa tanah lapang di sekitar kita. Dengan merujuk pada iklan di atas, sudah jelas ancaman itu kian nyata. Dengan merujuk lapangan yang ada dekat dengan tempat kita mukim. Untuk saya yang tinggal di kawasan Way Halim, untuk sekadar contoh kasus.
Bayangkan, tanah milik pemerintah, yang diperuntukkan menjadi hutan kota, beberapa tahun yang lalu dikuasai oleh pengusaha. Tanah seluas 14 hektare tersebut di pagar keliling. Padahal, tempat itu ada lapangan sofbol, lapangan tempat orang berlatih menyetir kendaraan seperti mobil dan sepeda motor. Lahan itu acap menjadi tempat konser musik. Ketika dipagar oleh pengusaha, band yang sangat terkenal terpaksa konser di lapangan dalam Stadion PKOR Way Halim.
Contoh lain, lapangan bola yang terletak di Jalan Ki Maja, bersebelahan dengan dua sekolah dasar dan puskesmas. Berada di tengah permukiman warga, di kampung dan perumahan. Kini, perlahan tapi pasti, lapangan bola itu kian sempit dengan munculnya lapak-lapak, tenda, dan kios-kios PKL. Bahkan kini, sudah muncul rumah makan dengan bangunan semipermanen. Lapangan itu praktis tak lagi menarik untuk main bola. Begitu juga lapangan di belakang RS Imanuel, di sebelah SMAN 5. Anda yang mukim di belakang PTPN Kedaton, tentu dapat melihat lapangan yang kian menyempit, atau Anda yang tinggal di Kampungsawah dan Enggal.
Selamatkan Tanah Lapang
Pendeknya tanah lapang, kita menyebut lapangan bola, yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Tanah-tanah tak bertuan itu, semula tidak ada yang menguasai, tidak ada yang memiliki. Kini, lambat laun terimpit oleh desakan manusia. Tentu saja keliru, jika saya beranggapan tanah-tanah lapang tersebut tak ada yang memiliki. Yang sudah pasti, tanah ada yang memiliki, pun masih dijarah. Apalagi tanah tak bertuan?
Mari kita sadari, kita, anak-anak kita, perlu tanah lapang sebagai ruang publik. Ruang bersama. Ruang bersama yang harus kita selamatkan. Mari, tolong, kita cek bersama, apakah tanah lapang yang di sekitar kita telah ada orang atau badan yang memiliki? Jika belum, hampir pasti belum, mari kita urus. Mari kita selamatkan. Bagi kepala daerah, atau siapa pun yang peduli, sudah semestinya menyelamatkan tanah-tanah lapang di kota ini. Dengan hiperbolis kita dapat mengatakan, dengan menyelamatkan tanah lapang, kita menyelamatkan generasi depan, anak-anak muda, anak-anak kita dari perilaku negatif.
Ajakan ini, disadari dan didasari oleh kasus-kasus yang telah disampaikan di atas. Kini, kian relevan ajakan menyelamatkan tanah lapang. Situasinya kini, di tengah derasnya derap pembangunan kota, lahan-lahan kosong menjadi incaran. Tanah-tanah lapang, yang disebut sebagai lapangan bola itu, jumlah dan luasnya kian menyusut. Tak ada yang mencegah. Wahai, siapa pun Anda yang bertelinga, dengar suara ini. Siapa yang dapat membaca pesan ini, selamatkan tanah lapang. Siapa yang prihatin pada masa depan bangsa, selamatkan tanah lapang. Siapa yang sayang pada anak-anak kita, selamatkan tanah lapang. n
Jauhari Zailani, Dosen Universitas Muhammadiyah Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 Maret 2014
No comments:
Post a Comment