Oleh Arizka Warganegara
LAMPUNG, sebuah provinsi di ujung Pulau Sumatera, sesungguhnya banyak mengundang misteri, terutama bagi para ilmuan politik. Menjadi misteri karena provinsi yang saya duga sebagai satu-satunya tempat di Indonesia ini masyaratkanya sudah mengamalkan nilai demokrasi kosmopolitan, sebuah pandangan hidup yang pluralis dan menghargai perbedaan. Dugaan tersebut menjadi wajar karena heteregonitas etnis di Lampung sangat bervariasi, terutama akibat kolonisatie dan program transmigrasi pada masa Orde Baru.
Istilah demokrasi kosmopolitan diperkenalkan Profesor Anthony Giddens, mantan direktur sekolah ekonomi politik ternama di dunia, London School of Economic and Political Science, di Inggris. Giddens mengatakan sebuah masyarakat yang sudah bisa menghargai perbedaan berpotensi mengembangkan sistem demokrasi kosmopolitan sebuah sistem demokrasi yang melintas batas perbedaan antarkelompok SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Kenapa Lampung? Dalam pandangan saya, mengkaji soal Lampung sangat menarik, terutama melihat aksentuasi dan relasi politik lokal antaretnis di Lampung. Secara general, saya bisa katakan menarik melihat Lampung dalam dimensi sosial, budaya, dan politik. Ini sudah dilihat satu dekade terakhir oleh beberapa peneliti luar negeri seperti Rebbeca Elmhirst dari Universtas Brighton di Inggris dan Kaneko Masanori dari Jepang.
Kenapa menarik? Bagaimana mungkin etnis Lampung yang hanya berpenduduk sekitar 16% dari total populasi mampu menguasa 60% kekuatan politik lokal. Jika data kita olah, yang menarik justru soal koalisi etnis pada pilkada tahun 2005 sampai dengan yang terakhir pilkada di Lampung Utara tahun 2013. Etnis Lampung yang terpilih menjadi kepala daerah lebih dari 60% dari total kepala daerah, baik di level kabupaten, kota, maupun provinsi.
Walaupun anggapan etnisitas tidak memengaruhi pilihan politik seperti yang secara teoritik diyakini oleh Direktur Kajian Etnis Universitas Kebangsaan Malaysia Profesor Shamsul A.B., tetapi saya kembali mengaitkan dengan pandangan Giddens soal Demokrasi Kosmopolitan yang saya unggah dan saya kembali meyakini bahwa etnik sentimen dalam pemilukada di Lampung sudah usai.
Etnis mayoritas Jawa dan minoritas Lampung tidak menjadikan persoalan etnisitas menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan politik dan hal ini terkaji dalam konteks politik lokal di Lampung. Etnis Jawa sebagai mayoritas etnis tidak lagi melihat simbol etnis dll. sebagai bagian dari pertimbangan mereka dalam menentukan pilihan politik di pemilukada jika entnisitas menjadi dasar tentulah yang menjadi kepala daerah mayoritas di Lampung bukan native Lampung.
Menyoal Budaya Politik Lampung
Saya ingin memulai dari bagaimana kajian ilmu kolonial melihat Lampung. Yang menarik adalah bagaimana kolonial Belanda memilih Provinsi Lampung sebagai salah satu tempat kolonisatie atau basis transmigrasi dari Pulau Jawa.
Secara teoritik, Benoit (1989) in Yuhki Tajima (2008), migration was a policy to relieve poverty on the overcrowded island of Java by subsidizing the move from Java to less populated islands. Tujuan utama dari transmigrasi adalah memindahkan penduduk yang terlalu padat di Jawa dengan memindahkan mereka ke wilayah yang tidak terlalu padat dan program memindahkan penuduk ini dimulai awal abad 20 dan program kolonial Belanda ini diteruskan oleh Orde Baru atau yang lebih populer dikenal dengan istilah program transmigrasi.
Lampung pada masa itu dilihat oleh koloni Belanda sebagai salah satu tempat yang tidak begitu padat, sehingga diputuskan bahwa penduduk dipindahkan dari tanah Jawa dibawa ke Lampung diberi subsidi dan tanah.
Konfigurasi etnis dalam kekuasaan kemudian berubah dramatis terutama pascaprogram kolonisatie dan diteruskan dengan program transmigrasi. Awalnya dalam dimensi kekuasaan, pada 1928, Lampung di-setting kolonial Belanda terbagi dalam 84 pemerintahan marga dan masing-masing marga mempunyai pemimpin, tata cara budaya, serta penduduk.
Artinya, dalam konteks kekuasaan tidak ada kuasa tunggal di Lampung hal ini berbeda dengan Jawa yang menganggap bahwa kekuasaan itu mesti tunggal. Implikasi secara politik tidak ada satu marga atau satu orang yang berdauluat dan berkuasa secara penuh baik dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik di Provinsi Lampung.
Sehingga peristilahan raja atau sultan yang menguasai semua teritori di Lampung tidak dikenal. Yang ada dalam dimensi kekuasaan terdapat 84 kepala marga. Artinya, terdapat 84 kuasa kuasa lokal berdasar marga pada bagian lain federasi kekuasaan di Lampung berpola kekuasaan sangat difergen atau memencar, tidak terpusat pada satu kelompok orang atau marga di Lampung.
Pilgub dan Budaya Politik
Pasca-kolonisatie dan transmigrasi atau setelah banyak penduduk Jawa datang ke Lampung serta mengisi wilayah-wilayah kosong di Lampung serta tekana pihak penguasa Orde Baru, peta kekuasaan di Lampung berubah dengan drastis. Tidak satu pun orang asli Lampung menjadi gubernur sampai kemudian era reformasi menjelang dan merubah pola pemilihan kepala daerah dari model perwakilan menjadi model langsung atau pilkada.
Pilkada adalah model pemilihan yang mengadopsi one man one vote dan secara prinsipil menerapkan majority rule dengan model pemilihan seperti itu dapat dipastikan etnis mayoritas akan dengan mudah menjadi kepala daerah. Bermodal lebih dari 60% tentunya secara logika etnis Jawa akan mendominasi dalam pemilihan kepada daerah di Lampung.
Namun, apa yang terjadi ternyata praduga soal itu tidak terjadi, justru etnis Lampung yang minoritas yang dominan menjadi kepala daerah di Lampung. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2005 ketika pilkada pertama kali digelar, dari enam pilkada di kabupaten/kota dua wilayah Way Kanan dan Lampung Tengah kepala daerahnya beretnis Lampung, sementara tiga pasangan beretnis Jawa dan satu pasangan beretnis berasal dari wilayah Sumatera Selatan, sedangkan untuk posisi wakil kepala daerah lima beretnis Lampung dan satu bertenis Jawa.
Dua tahun kemudian, pada 2007, dari total empat pilkada semua kepala daerah beretnis Lampung, sementara tiga wakil kepalda daerah beretnis Jawa dan satu beretnis Lampung. Pada 2008 koalisi etnis Lampung dan Jawa menjadikan SZP dan Joko Umar Said sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pada 2010, dari total enam kepala daerah, empat kepala daerah beretnis Lampung dan dua beretnis Jawa, semetara untuk posisi wakil kepala daerah tiga beretnis Lampung, dua bertenis Jawa, dan dua beretnis yang berasal dari wilayah Sumatera Selatan.
Pada tahun 2011, dari tiga pilkada yang terpilih, dua beretnis Jawa dan satu beretnis Lampung. Pada 2012, dari tiga pilkada yang terpilih, semuanya beretnis Lampung, sementara untuk posisi wakil dua beretnis Jawa dan satu beretnis Jawa. Diakhiri pada 2013 satu pilkada menghasilkan pasangan koalisi etnis Lampung Agung Ilmu Mangkunegara dan Paryadi terpilih menjadi kepala dan wakil kepala daerah di Lampung Utara.
Pada bagian lain menarik juga melihat peta dan kontestasi pilkada di Lampung bagaimana beberapa cagub mencoba menarik sentimen etnis Jawa dengan menggunakan slogan dan identitas Jawa seperti blangkon, wayangan, dll. walaupun ternyata dalam beberapa kali pikada di Lampung terbukti tidak ampuh menarik pemilih Jawa.
Pilgub 2014 ini kembali menjadi testing untuk etnik sentimen di arena pilkada. Ada dua pasangan yang merupakan gabungan koalisi Lampung-Jawa ataupun Jawa-Lampung. Apakah etnis sentimen yang kembali gagal “memanipulasi” hati pemilih di Lampung atau justru ada sesuatu yang baru? Menarik menunggu hasilnya.
Akhirnya, memang sulit untuk menggambarkan secara komprehensif dalam satu tulisan singkat soal budaya politik dalam ranah politik lokal di Lampung, tetapi saya berani katakan bahwa Lampung adalah percontohan demokrasi kosmopolitan di Indonesia, bagaimana relasi etnis dalam politik tidak saling berkompetisi, tapi justru sebaliknya saling mendukung satu dengan yang lain. n
Arizka Warganegara, Dosen FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 Maret 2014
LAMPUNG, sebuah provinsi di ujung Pulau Sumatera, sesungguhnya banyak mengundang misteri, terutama bagi para ilmuan politik. Menjadi misteri karena provinsi yang saya duga sebagai satu-satunya tempat di Indonesia ini masyaratkanya sudah mengamalkan nilai demokrasi kosmopolitan, sebuah pandangan hidup yang pluralis dan menghargai perbedaan. Dugaan tersebut menjadi wajar karena heteregonitas etnis di Lampung sangat bervariasi, terutama akibat kolonisatie dan program transmigrasi pada masa Orde Baru.
Istilah demokrasi kosmopolitan diperkenalkan Profesor Anthony Giddens, mantan direktur sekolah ekonomi politik ternama di dunia, London School of Economic and Political Science, di Inggris. Giddens mengatakan sebuah masyarakat yang sudah bisa menghargai perbedaan berpotensi mengembangkan sistem demokrasi kosmopolitan sebuah sistem demokrasi yang melintas batas perbedaan antarkelompok SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Kenapa Lampung? Dalam pandangan saya, mengkaji soal Lampung sangat menarik, terutama melihat aksentuasi dan relasi politik lokal antaretnis di Lampung. Secara general, saya bisa katakan menarik melihat Lampung dalam dimensi sosial, budaya, dan politik. Ini sudah dilihat satu dekade terakhir oleh beberapa peneliti luar negeri seperti Rebbeca Elmhirst dari Universtas Brighton di Inggris dan Kaneko Masanori dari Jepang.
Kenapa menarik? Bagaimana mungkin etnis Lampung yang hanya berpenduduk sekitar 16% dari total populasi mampu menguasa 60% kekuatan politik lokal. Jika data kita olah, yang menarik justru soal koalisi etnis pada pilkada tahun 2005 sampai dengan yang terakhir pilkada di Lampung Utara tahun 2013. Etnis Lampung yang terpilih menjadi kepala daerah lebih dari 60% dari total kepala daerah, baik di level kabupaten, kota, maupun provinsi.
Walaupun anggapan etnisitas tidak memengaruhi pilihan politik seperti yang secara teoritik diyakini oleh Direktur Kajian Etnis Universitas Kebangsaan Malaysia Profesor Shamsul A.B., tetapi saya kembali mengaitkan dengan pandangan Giddens soal Demokrasi Kosmopolitan yang saya unggah dan saya kembali meyakini bahwa etnik sentimen dalam pemilukada di Lampung sudah usai.
Etnis mayoritas Jawa dan minoritas Lampung tidak menjadikan persoalan etnisitas menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan politik dan hal ini terkaji dalam konteks politik lokal di Lampung. Etnis Jawa sebagai mayoritas etnis tidak lagi melihat simbol etnis dll. sebagai bagian dari pertimbangan mereka dalam menentukan pilihan politik di pemilukada jika entnisitas menjadi dasar tentulah yang menjadi kepala daerah mayoritas di Lampung bukan native Lampung.
Menyoal Budaya Politik Lampung
Saya ingin memulai dari bagaimana kajian ilmu kolonial melihat Lampung. Yang menarik adalah bagaimana kolonial Belanda memilih Provinsi Lampung sebagai salah satu tempat kolonisatie atau basis transmigrasi dari Pulau Jawa.
Secara teoritik, Benoit (1989) in Yuhki Tajima (2008), migration was a policy to relieve poverty on the overcrowded island of Java by subsidizing the move from Java to less populated islands. Tujuan utama dari transmigrasi adalah memindahkan penduduk yang terlalu padat di Jawa dengan memindahkan mereka ke wilayah yang tidak terlalu padat dan program memindahkan penuduk ini dimulai awal abad 20 dan program kolonial Belanda ini diteruskan oleh Orde Baru atau yang lebih populer dikenal dengan istilah program transmigrasi.
Lampung pada masa itu dilihat oleh koloni Belanda sebagai salah satu tempat yang tidak begitu padat, sehingga diputuskan bahwa penduduk dipindahkan dari tanah Jawa dibawa ke Lampung diberi subsidi dan tanah.
Konfigurasi etnis dalam kekuasaan kemudian berubah dramatis terutama pascaprogram kolonisatie dan diteruskan dengan program transmigrasi. Awalnya dalam dimensi kekuasaan, pada 1928, Lampung di-setting kolonial Belanda terbagi dalam 84 pemerintahan marga dan masing-masing marga mempunyai pemimpin, tata cara budaya, serta penduduk.
Artinya, dalam konteks kekuasaan tidak ada kuasa tunggal di Lampung hal ini berbeda dengan Jawa yang menganggap bahwa kekuasaan itu mesti tunggal. Implikasi secara politik tidak ada satu marga atau satu orang yang berdauluat dan berkuasa secara penuh baik dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik di Provinsi Lampung.
Sehingga peristilahan raja atau sultan yang menguasai semua teritori di Lampung tidak dikenal. Yang ada dalam dimensi kekuasaan terdapat 84 kepala marga. Artinya, terdapat 84 kuasa kuasa lokal berdasar marga pada bagian lain federasi kekuasaan di Lampung berpola kekuasaan sangat difergen atau memencar, tidak terpusat pada satu kelompok orang atau marga di Lampung.
Pilgub dan Budaya Politik
Pasca-kolonisatie dan transmigrasi atau setelah banyak penduduk Jawa datang ke Lampung serta mengisi wilayah-wilayah kosong di Lampung serta tekana pihak penguasa Orde Baru, peta kekuasaan di Lampung berubah dengan drastis. Tidak satu pun orang asli Lampung menjadi gubernur sampai kemudian era reformasi menjelang dan merubah pola pemilihan kepala daerah dari model perwakilan menjadi model langsung atau pilkada.
Pilkada adalah model pemilihan yang mengadopsi one man one vote dan secara prinsipil menerapkan majority rule dengan model pemilihan seperti itu dapat dipastikan etnis mayoritas akan dengan mudah menjadi kepala daerah. Bermodal lebih dari 60% tentunya secara logika etnis Jawa akan mendominasi dalam pemilihan kepada daerah di Lampung.
Namun, apa yang terjadi ternyata praduga soal itu tidak terjadi, justru etnis Lampung yang minoritas yang dominan menjadi kepala daerah di Lampung. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2005 ketika pilkada pertama kali digelar, dari enam pilkada di kabupaten/kota dua wilayah Way Kanan dan Lampung Tengah kepala daerahnya beretnis Lampung, sementara tiga pasangan beretnis Jawa dan satu pasangan beretnis berasal dari wilayah Sumatera Selatan, sedangkan untuk posisi wakil kepala daerah lima beretnis Lampung dan satu bertenis Jawa.
Dua tahun kemudian, pada 2007, dari total empat pilkada semua kepala daerah beretnis Lampung, sementara tiga wakil kepalda daerah beretnis Jawa dan satu beretnis Lampung. Pada 2008 koalisi etnis Lampung dan Jawa menjadikan SZP dan Joko Umar Said sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pada 2010, dari total enam kepala daerah, empat kepala daerah beretnis Lampung dan dua beretnis Jawa, semetara untuk posisi wakil kepala daerah tiga beretnis Lampung, dua bertenis Jawa, dan dua beretnis yang berasal dari wilayah Sumatera Selatan.
Pada tahun 2011, dari tiga pilkada yang terpilih, dua beretnis Jawa dan satu beretnis Lampung. Pada 2012, dari tiga pilkada yang terpilih, semuanya beretnis Lampung, sementara untuk posisi wakil dua beretnis Jawa dan satu beretnis Jawa. Diakhiri pada 2013 satu pilkada menghasilkan pasangan koalisi etnis Lampung Agung Ilmu Mangkunegara dan Paryadi terpilih menjadi kepala dan wakil kepala daerah di Lampung Utara.
Pada bagian lain menarik juga melihat peta dan kontestasi pilkada di Lampung bagaimana beberapa cagub mencoba menarik sentimen etnis Jawa dengan menggunakan slogan dan identitas Jawa seperti blangkon, wayangan, dll. walaupun ternyata dalam beberapa kali pikada di Lampung terbukti tidak ampuh menarik pemilih Jawa.
Pilgub 2014 ini kembali menjadi testing untuk etnik sentimen di arena pilkada. Ada dua pasangan yang merupakan gabungan koalisi Lampung-Jawa ataupun Jawa-Lampung. Apakah etnis sentimen yang kembali gagal “memanipulasi” hati pemilih di Lampung atau justru ada sesuatu yang baru? Menarik menunggu hasilnya.
Akhirnya, memang sulit untuk menggambarkan secara komprehensif dalam satu tulisan singkat soal budaya politik dalam ranah politik lokal di Lampung, tetapi saya berani katakan bahwa Lampung adalah percontohan demokrasi kosmopolitan di Indonesia, bagaimana relasi etnis dalam politik tidak saling berkompetisi, tapi justru sebaliknya saling mendukung satu dengan yang lain. n
Arizka Warganegara, Dosen FISIP Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 Maret 2014
No comments:
Post a Comment