Oleh Delima Natalia Napitupulu
SALAH satu syarat membuka prodi baru adalah minimal memiliki enam dosen dengan kualifikasi pendidikan yang linier. Usulan perlunya pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung terkendala pada keterbatasan SDM.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unila Agus Hadiawan mengatakan terkait keinginan masyarakat tentang pembukaan FIB, saat ini FISIP hanya memiliki dosen antropologi dan sosiologi. Sementara untuk membuka ilmu budaya, SDM itu tidak cukup karena harus memiliki dosen budaya yang spesifik.
Walau sarana gedung dan ruang perkuliahan memadai, SDM yang dibutuhkan masih kurang. Wacana pembukaan jurusan ilmu budaya dinilainya sangat positif. "Jika tujuannya melestarikan dan mengangkat budaya Lampung agar lebih dikenal pada tataran nasional bahkan internasional, prodi ilmu budaya memang perlu," kata Agus kepada Lampung Post, Kamis (6/3).
Pembukaan jurusan itu dinilainya sangat tepat mengingat seringnya terjadi konflik horizontal di Lampung sejak beberapa tahun terakhir. Tidak semua konflik bisa diselesaikan dengan pendekatan formal, pendekatan budaya dinilai Agus sebagai solusi paling tepat.
Ditambah lagi, masyarakat Lampung sudah semakin majemuk dan modern. Budaya yang ada di kalangan masyarakat yang semakin majemuk dan modern akan semakin terkikis. Perlu pelestarian agar nilai-nilai budaya tetap terpelihara.
Menurut dia, di tengah kondisi semacam itu, FIB sudah tepat untuk dibuka. Namun, perlu diskusi panjang yang melibatkan pihak terkait untuk merancang dan menganalisis kurikulum, sistem pembelajaran, hingga segmentasi yang akan ditonjolkan. "Budaya itu kan luas, mana yang mau ditonjolkan, bahasa, seni, atau antropologinya?" kata dia.
Setelah menentukan bidang yang akan ditonjolkan, selanjutnya melihat ketersediaan tenaga pengajarnya. Dia mencontohkan jika ingin menonjolkan aspek bahasa, perlu dosen lulusan S-1 dan S-2 bahasa Lampung. Sayangnya, hingga saat ini lulusan itu belum ada.
Komitmen Pemda
Agus menilai langkah yang tepat saat ini adalah membuka S-1 bahasa Lampung di bawah naungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Setelah itu berkembang, barulah jurusan ilmu budaya dibentuk.
Hal yang harus diperhatikan, kata Agus, yaitu komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah dalam menampung lulusan.
Sementara itu, Dekan FKIP Unila Bujang Rahman berharap agar pemerintah daerah menunjukkan komitmennya dalam melestarikan bahasa Lampung. Salah satunya melalui pendidikan.
Bujang menilai kebutuhan pembukaan S-1 bahasa Lampung sangat mendesak. Salah satu indikatornya, jumlah penutur bahasa Lampung yang semakin berkurang. Walau sangat mendesak, untuk membuka S-1 bahasa Lampung perlu dipikirkan secara matang. Terutama untuk penyerapan lulusannya di dunia kerja.
Tingginya urgensi membuka prodi S-1 bahasa Lampung membutuhkan perhatian, dukungan, dan komitmen resmi, terutama dari pemerintah daerah. "Saya berharap pemerintah daerah mau berkomitmen untuk bekerja sama, terutama terkait pemanfaatan lulusannya kelak," kata Bujang kemarin.
Hal itu untuk mengantisipasi ketika terjadi pergantian kepala daerah, komitmen dan kerja sama itu tetap berjalan. "Pak Sjachroedin cukup peduli pada bahasa Lampung, contohnya ada Perda tentang Bahasa Lampung. Tapi penggantinya belum tentu punya kepedulian yang sama," kata Bujang.
Semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa Lampung saat ini merupakan indikasi mulai lunturnya kecintaan masyarakat pada bahasa asli itu. Jika tidak segera ditanggulangi, tidak mustahil bahasa itu akan benar-benar ditinggalkan. (S2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 7 Maret 2014
Agus Hadiawan |
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unila Agus Hadiawan mengatakan terkait keinginan masyarakat tentang pembukaan FIB, saat ini FISIP hanya memiliki dosen antropologi dan sosiologi. Sementara untuk membuka ilmu budaya, SDM itu tidak cukup karena harus memiliki dosen budaya yang spesifik.
Walau sarana gedung dan ruang perkuliahan memadai, SDM yang dibutuhkan masih kurang. Wacana pembukaan jurusan ilmu budaya dinilainya sangat positif. "Jika tujuannya melestarikan dan mengangkat budaya Lampung agar lebih dikenal pada tataran nasional bahkan internasional, prodi ilmu budaya memang perlu," kata Agus kepada Lampung Post, Kamis (6/3).
Pembukaan jurusan itu dinilainya sangat tepat mengingat seringnya terjadi konflik horizontal di Lampung sejak beberapa tahun terakhir. Tidak semua konflik bisa diselesaikan dengan pendekatan formal, pendekatan budaya dinilai Agus sebagai solusi paling tepat.
Ditambah lagi, masyarakat Lampung sudah semakin majemuk dan modern. Budaya yang ada di kalangan masyarakat yang semakin majemuk dan modern akan semakin terkikis. Perlu pelestarian agar nilai-nilai budaya tetap terpelihara.
Menurut dia, di tengah kondisi semacam itu, FIB sudah tepat untuk dibuka. Namun, perlu diskusi panjang yang melibatkan pihak terkait untuk merancang dan menganalisis kurikulum, sistem pembelajaran, hingga segmentasi yang akan ditonjolkan. "Budaya itu kan luas, mana yang mau ditonjolkan, bahasa, seni, atau antropologinya?" kata dia.
Setelah menentukan bidang yang akan ditonjolkan, selanjutnya melihat ketersediaan tenaga pengajarnya. Dia mencontohkan jika ingin menonjolkan aspek bahasa, perlu dosen lulusan S-1 dan S-2 bahasa Lampung. Sayangnya, hingga saat ini lulusan itu belum ada.
Komitmen Pemda
Agus menilai langkah yang tepat saat ini adalah membuka S-1 bahasa Lampung di bawah naungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Setelah itu berkembang, barulah jurusan ilmu budaya dibentuk.
Hal yang harus diperhatikan, kata Agus, yaitu komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah dalam menampung lulusan.
Sementara itu, Dekan FKIP Unila Bujang Rahman berharap agar pemerintah daerah menunjukkan komitmennya dalam melestarikan bahasa Lampung. Salah satunya melalui pendidikan.
Bujang menilai kebutuhan pembukaan S-1 bahasa Lampung sangat mendesak. Salah satu indikatornya, jumlah penutur bahasa Lampung yang semakin berkurang. Walau sangat mendesak, untuk membuka S-1 bahasa Lampung perlu dipikirkan secara matang. Terutama untuk penyerapan lulusannya di dunia kerja.
Tingginya urgensi membuka prodi S-1 bahasa Lampung membutuhkan perhatian, dukungan, dan komitmen resmi, terutama dari pemerintah daerah. "Saya berharap pemerintah daerah mau berkomitmen untuk bekerja sama, terutama terkait pemanfaatan lulusannya kelak," kata Bujang kemarin.
Hal itu untuk mengantisipasi ketika terjadi pergantian kepala daerah, komitmen dan kerja sama itu tetap berjalan. "Pak Sjachroedin cukup peduli pada bahasa Lampung, contohnya ada Perda tentang Bahasa Lampung. Tapi penggantinya belum tentu punya kepedulian yang sama," kata Bujang.
Semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa Lampung saat ini merupakan indikasi mulai lunturnya kecintaan masyarakat pada bahasa asli itu. Jika tidak segera ditanggulangi, tidak mustahil bahasa itu akan benar-benar ditinggalkan. (S2)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 7 Maret 2014
No comments:
Post a Comment