Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
JALAN-JALAN setapak yang ada di dalam belantara kerap bercabang ke kiri dan kanan. Bila ditelusuri, jalan-jalan itu biasanya berakhir di sebuah pohon karet atau pohon medang atau berujung di rawa-rawa yang terbentang luas atau menghilang ke dalam sebuah sungai.
Jalan-jalan itu, yang lebih kecil lagi dari jalan setapak, adalah jalan yang dibuat oleh para peramu hasil hutan. Orang yang hendak mencari karet, rotan, lilin lebah, dan madu memang terpaksa mblusuk sampai ke relung hutan.
Ada kalanya, orang membuka jalan di hutan untuk memudahkan membawa batang-batang kayu dan rotan ke sungai. Transportasi melalui air jauh lebih mudah dilakukan. Dalam dunia binatang, gajah dan badak barangkali dapat dianggap sebagai pegawai-pegawai Departemen Pekerjaan Umum.
Binatang-binatang ini biasanya memilih untuk selalu memintas hutan di jalan yang sama. Ukuran tubuhnya yang besar dengan sendirinya menumbangkan pohon dan perdu di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui. Manusia yang menelusuri jalan itu akan mudah mengenali jejak-jejak kawanan gajah atau badak yang membukanya.
Akan tetapi, yang tidak terbiasa berjalan di hutan masih akan kebingungan mencari jalan tanpa bantuan seorang pemandu. Tanpa bantuan pemandu, Infanteri Belanda takkan mungkin dapat menemukan jalan.
Peneliti kontemporer pun akan tersesat tanpa pemandu jalan! Artikel minggu lalu rupanya membuat banyak orang tertawa dan menggerutu karena nama-nama tempat yang tertulis tidak sesuai dengan yang kini ada. Sebagai contoh, Halangan Batu (di dalam teks asli) rupanya sebenarnya Halangan Ratu di lapangan!
Ada tiga kemungkinan salah kaprah ini. Pertama, memang dulu namanya Halangan Batu, lalu berubah menjadi Halangan Ratu. Kedua, namanya memang Halangan Ratu, tapi Speck salah mendengar atau mencatat sehingga terdokumentasi Halangan Batu. Ketiga, namanya Halangan Ratu, dicatat oleh Speck sebagai Halangan Ratu, tetapi percetakan salah menuliskannya menjadi Halangan Batu.
Bagaimanapun nama Halangan Batu tercatat sepanjang masa. Untuk menghindari kesalahpahaman serupa, untuk selanjutnya saya akan menuliskan nama tempat dan orang serta istilah sesuai dengan yang ditulis di dalam naskah asli.
Pada perempat akhir abad ke-19, Lampung terbagi ke dalam lima distrik: yaitu Telok Betong, Sekampong, Sepoetie, Toelang Bawang, dan Samangka. Kelima distrik ini mempunyai batas-batas yang jelas kecuali Telok Betong.
Telok Betong dipimpin oleh seorang regent yang tinggal di Telok Betong. Sungai-sungai menjadi batas alam Telok Betong dengan daerah-daerah Samangka dan Sekampong. Pulau Lagundy, Seboekoe, Sebessie, dan Krakatou di Selat Sunda serta pulau-pulau yang terdapat di Teluk Lampung termasuk juga di dalam Distrik Telok Betong.
Sekampong berbatasan dengan Samangka, Telok Betong, dan Sepoetie. Daerah ini pun dipimpin oleh regent Telok Betong. Distrik Sepoetie yang dipimpin oleh seorang pangeran—yang tinggal di Dusun Tarabangie—berbatasan dengan Toelang Bawang, Samangka, Sekampong, dan Laut Jawa.
Distrik Toelang Bawang berbatasan dengan Residensi Palembang di sebelah utara, Distrik Sepotie di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah timur. Distrik ini dipimpin seorang demang yang tinggal di Dusun Mengala. Di bawahnya terdapat seorang sub-demang yang memimpin Boemi Agong. Sub-demang itu bertempat tinggal di Gebang.
Distrik yang terakhir, Distrik Samangka, berbatasan dengan Residensi Bengkulu di sebelah utara dan baratnya. Di sebelah selatan, Teluk Samangka menjadi batasnya. Pulau-pulau yang bertebaran di Teluk Samangka termasuk ke dalam wilayahnya. Di sebelah timur, distrik itu berbatasan dengan Telok Betong, Sekampong, dan Sepoetie. Daerah ini dipimpin oleh seorang depati yang bertempat tinggal di Bornei.
Menurut Speck, sebelum kedatangan Belanda, para tetua menjadi pemimpin. Setelah itu, penduduk dusun atau kampung memilih seseorang sebagai pemimpin—yang kemudian diangkat oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang.
Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin yang dipilih itu didampingi oleh tetua di dusun/kampung masing-masing. Masalah-masalah yang tak dapat diselesaikannya diajukan lagi kepada Kepala Distrik di tempatnya.
Di Telok Betong dan Samangka masih ada satuan wilayah marga yang terdiri dari beberapa kampung. Setiap kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung yang berkedudukan di bawah kepala marga. Para kepala marga itu berada di bawah pimpinan regent Telok Betong atau depati Samangka.
Di Lampung, regent Telok Betong dianggap sebagai pemimpin pribumi yang tertinggi. Bersama kepala-kepala Distrik yang lainnya, regent itu diangkat secara resmi oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang dan berhak menerima gaji dari Hindia-Belanda. Seorang demang khusus ditempatkan di Dusun Seringkebow, Distrik Sepoetie, untuk menangani kasus-kasus penyelundupan.
Pada umumnya, pemimpin-pemimpin di Lampung tidak memiliki kekuasaan besar atas warga yang dipimpinnya. Hukuman yang dijatuhkan atas pelanggaran tidaklah terlalu berat (di mata Belanda) dan dapat digantikan dengan membayar denda. Bahkan, hukuman mati pun dapat digantikan dengan membayar uang bangon.
Untuk kepentingan kegiatan militer, F.G. Steck mengamati, mengumpulkan data, dan menilai ciri, karakter, dan kehidupan masyarakat Lampung. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu pengamatan—dan penilaian terhadap hasil pengamatan itu—cenderung dilakukan dari sudut pandang kebudayaan Belanda. Pendekatan relativisme kebudayaan tidak dikenal sama sekali ketika itu sehingga penilaian orang-orang Eropa mengenai suku-suku bangsa di Nusantara tidak mengenakkan untuk dibaca.
Di mata F.G. Steck, orang Lampung tampak bertubuh kekar dan kuat. Mereka percaya diri dan cenderung suka dipuji. Perilakunya bebas dan santai (dalam hal ini, kemungkinan besar Steck memperbandingkan orang di Lampung dengan orang di Jawa yang biasanya dianggap lebih ketat diatur oleh adat dan tata krama pergaulan). Selain itu, hampir semua orang Lampung yang ditemuinya bersikap ramah dan jujur. n
Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G Kolff. 1862.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda
Raden Singalaja Semangka, 1880 (KITLV, Leiden) |
Jalan-jalan itu, yang lebih kecil lagi dari jalan setapak, adalah jalan yang dibuat oleh para peramu hasil hutan. Orang yang hendak mencari karet, rotan, lilin lebah, dan madu memang terpaksa mblusuk sampai ke relung hutan.
Ada kalanya, orang membuka jalan di hutan untuk memudahkan membawa batang-batang kayu dan rotan ke sungai. Transportasi melalui air jauh lebih mudah dilakukan. Dalam dunia binatang, gajah dan badak barangkali dapat dianggap sebagai pegawai-pegawai Departemen Pekerjaan Umum.
Binatang-binatang ini biasanya memilih untuk selalu memintas hutan di jalan yang sama. Ukuran tubuhnya yang besar dengan sendirinya menumbangkan pohon dan perdu di pinggir-pinggir jalan yang mereka lalui. Manusia yang menelusuri jalan itu akan mudah mengenali jejak-jejak kawanan gajah atau badak yang membukanya.
Akan tetapi, yang tidak terbiasa berjalan di hutan masih akan kebingungan mencari jalan tanpa bantuan seorang pemandu. Tanpa bantuan pemandu, Infanteri Belanda takkan mungkin dapat menemukan jalan.
Peneliti kontemporer pun akan tersesat tanpa pemandu jalan! Artikel minggu lalu rupanya membuat banyak orang tertawa dan menggerutu karena nama-nama tempat yang tertulis tidak sesuai dengan yang kini ada. Sebagai contoh, Halangan Batu (di dalam teks asli) rupanya sebenarnya Halangan Ratu di lapangan!
Ada tiga kemungkinan salah kaprah ini. Pertama, memang dulu namanya Halangan Batu, lalu berubah menjadi Halangan Ratu. Kedua, namanya memang Halangan Ratu, tapi Speck salah mendengar atau mencatat sehingga terdokumentasi Halangan Batu. Ketiga, namanya Halangan Ratu, dicatat oleh Speck sebagai Halangan Ratu, tetapi percetakan salah menuliskannya menjadi Halangan Batu.
Bagaimanapun nama Halangan Batu tercatat sepanjang masa. Untuk menghindari kesalahpahaman serupa, untuk selanjutnya saya akan menuliskan nama tempat dan orang serta istilah sesuai dengan yang ditulis di dalam naskah asli.
Pada perempat akhir abad ke-19, Lampung terbagi ke dalam lima distrik: yaitu Telok Betong, Sekampong, Sepoetie, Toelang Bawang, dan Samangka. Kelima distrik ini mempunyai batas-batas yang jelas kecuali Telok Betong.
Telok Betong dipimpin oleh seorang regent yang tinggal di Telok Betong. Sungai-sungai menjadi batas alam Telok Betong dengan daerah-daerah Samangka dan Sekampong. Pulau Lagundy, Seboekoe, Sebessie, dan Krakatou di Selat Sunda serta pulau-pulau yang terdapat di Teluk Lampung termasuk juga di dalam Distrik Telok Betong.
Sekampong berbatasan dengan Samangka, Telok Betong, dan Sepoetie. Daerah ini pun dipimpin oleh regent Telok Betong. Distrik Sepoetie yang dipimpin oleh seorang pangeran—yang tinggal di Dusun Tarabangie—berbatasan dengan Toelang Bawang, Samangka, Sekampong, dan Laut Jawa.
Distrik Toelang Bawang berbatasan dengan Residensi Palembang di sebelah utara, Distrik Sepotie di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah timur. Distrik ini dipimpin seorang demang yang tinggal di Dusun Mengala. Di bawahnya terdapat seorang sub-demang yang memimpin Boemi Agong. Sub-demang itu bertempat tinggal di Gebang.
Distrik yang terakhir, Distrik Samangka, berbatasan dengan Residensi Bengkulu di sebelah utara dan baratnya. Di sebelah selatan, Teluk Samangka menjadi batasnya. Pulau-pulau yang bertebaran di Teluk Samangka termasuk ke dalam wilayahnya. Di sebelah timur, distrik itu berbatasan dengan Telok Betong, Sekampong, dan Sepoetie. Daerah ini dipimpin oleh seorang depati yang bertempat tinggal di Bornei.
Menurut Speck, sebelum kedatangan Belanda, para tetua menjadi pemimpin. Setelah itu, penduduk dusun atau kampung memilih seseorang sebagai pemimpin—yang kemudian diangkat oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang.
Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin yang dipilih itu didampingi oleh tetua di dusun/kampung masing-masing. Masalah-masalah yang tak dapat diselesaikannya diajukan lagi kepada Kepala Distrik di tempatnya.
Di Telok Betong dan Samangka masih ada satuan wilayah marga yang terdiri dari beberapa kampung. Setiap kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung yang berkedudukan di bawah kepala marga. Para kepala marga itu berada di bawah pimpinan regent Telok Betong atau depati Samangka.
Di Lampung, regent Telok Betong dianggap sebagai pemimpin pribumi yang tertinggi. Bersama kepala-kepala Distrik yang lainnya, regent itu diangkat secara resmi oleh pejabat Hindia-Belanda yang berwenang dan berhak menerima gaji dari Hindia-Belanda. Seorang demang khusus ditempatkan di Dusun Seringkebow, Distrik Sepoetie, untuk menangani kasus-kasus penyelundupan.
Pada umumnya, pemimpin-pemimpin di Lampung tidak memiliki kekuasaan besar atas warga yang dipimpinnya. Hukuman yang dijatuhkan atas pelanggaran tidaklah terlalu berat (di mata Belanda) dan dapat digantikan dengan membayar denda. Bahkan, hukuman mati pun dapat digantikan dengan membayar uang bangon.
Untuk kepentingan kegiatan militer, F.G. Steck mengamati, mengumpulkan data, dan menilai ciri, karakter, dan kehidupan masyarakat Lampung. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu pengamatan—dan penilaian terhadap hasil pengamatan itu—cenderung dilakukan dari sudut pandang kebudayaan Belanda. Pendekatan relativisme kebudayaan tidak dikenal sama sekali ketika itu sehingga penilaian orang-orang Eropa mengenai suku-suku bangsa di Nusantara tidak mengenakkan untuk dibaca.
Di mata F.G. Steck, orang Lampung tampak bertubuh kekar dan kuat. Mereka percaya diri dan cenderung suka dipuji. Perilakunya bebas dan santai (dalam hal ini, kemungkinan besar Steck memperbandingkan orang di Lampung dengan orang di Jawa yang biasanya dianggap lebih ketat diatur oleh adat dan tata krama pergaulan). Selain itu, hampir semua orang Lampung yang ditemuinya bersikap ramah dan jujur. n
Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ deel 4. Amsterdam, Batavia: Frederik Muller, G Kolff. 1862.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
No comments:
Post a Comment