December 5, 2010

Pukau Teluk Semaka, Catatan Dewan Juri Batu Bedil Award 2010

Metafora merupakan jalan tengah antara hal yang tak bisa dipahami dan hal-hal yang bersifat umum. (Aristoteles)

MENGGAGAS strategi kebudayaan tidak bisa bertolak dari ruang hampa. Ia harus senantiasa diperhitungkan. Terlebih lagi sinyalir para cerdik cendikia yang menyebutkan bahwa bangsa ini tengah mengalami defisit kebudayaan. Maka dalam konteks sastra, sebagai penopang struktur budaya, kegiatan yang memacu apresiasi dan kreativitas masyarakat harus pula diperhitungkan dengan bijak.

Berdasar alasan tersebut, mungkin program ini dilahirkan: Lomba Cipta Puisi Batu Bedil Award dalam rangka Festival Teluk Semaka 2010 yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus. Setiap lomba cipta puisi yang diembeli tema, kesulitan juri adalah mejadikan tema yang ditetapkan panitia sebagai pegangan. Yang menjadi dilema saat menilai sejumlah puisi untuk dipertaruhkan saat rapat dewan juri.

Satu sisi kami menghendaki yang terpilih adalah “puisi” dalam arti telah memenuhi standar estetika, tapi di sisi lain kami tak dapat menghindari pesan tematik panitia.

Hal ini juga pasti berlaku pada peserta. Mereka berlomba-lomba untuk selalu tidak lari dari tema yang ditetapkan panitia. Sehingga, sekuat kemampuan, mereka mencocok-cocokkan atau mematut-matutkan supaya puisi dapat "menyuarakan" pesan panitia. Akibatnya, ada banyak puisi yang terasa memaksakan diri hanya untuk mengurusi persoalan tema dan mengabaikan standar puisi—yakni estetika—dengan menempel nama-nama tempat, tradisi, dan seterusnya. Yang terbaca kemudian hanya keahlian “jahit-menjahit”.

Kemudian kami bekerja menilai 103 buah puisi yang diserahkan panitia dengan tetap berlandaskan tiga unsur kriteria penilaian yang disepakati bersama, yaitu kekuatan puisi, kecakapan mengolah bahasa, dan kesesuaian dengan tema. Kami pun berdebat, misalnya, ada puisi yang sebenarnya sudah jadi dan kami menduga-duga penulisnya adalah penyair yang sudah kami akrabi: puisinya kuat secara puitik, cakap mengolah bahasa. Namun, setelah kami dekati secara detail, terasa kalau puisi itu sebenarnya bermain-main di permukaan. Inilah yang disinyalir oleh Budi Darma bahwa karya sastra seharusnya tidak berpura-pura untuk membuktikan sesuatu. Karya sastra yang baik dapat mengatakan sesuatu tanpa mengatakannya.

Upaya untuk "membuktikan sesuatu", tetapi kemudian gagal setidaknya kami temukan dalam sebuah puisi yang menganggap bahwa Pulau Panggung adalah sebagai pulau dalam arti geografis (yaitu adanya daratan di tengah perairan sebagaimana lazimnya Pulau Samosir, Pulau Seribu, Pulau Sebesi), padahal sebenarnya Pulau Panggung hanyalah wilayah kecamatan di sebuah dataran tinggi di Kabupaten Tanggamus. Meskipun dalam sastra ada yang dikenal dengan rekayasa bahasa, terhadap hal ini jelas menunjukkan betapa penulis tidak memahami kondisi geografi wilayah, terlebih lagi bukankah rekayasa bahasa pun dibuat dalam rangka mewujudkan tertib logika?

Ada pula yang penulis yang mendesakkan sekian banyak terminologi dari literatur yang dibacanya ke dalam puisi. Sebagai contoh, karena masyarakat pribumi Kabupaten Tanggamus adalah orang pesisir, maka seluruh daftar pustaka yang diketahui tentang struktur sosial masyarakat saibatin serta merta dijejalkan dalam puisi. Dan lebih mengerikan lagi-mungkin supaya terkesan intelektual- catatan kaki pun dijejerkan sepanjang mungkin dalam sebuah puisi, melebihi catatan kaki dalam buku teks Pengantar Mikrobiologi. Lagi-lagi kami teringat dengan ujaran Budi Darma: Wibawa sebuah tulisan tidak terletak pada berapa banyak teori gambar ruwet yang dipertontonkan oleh penulisnya. Sebuah tulisan yang berwibawa dapat berangkat dari common sense, dan dari common sense itulah tulisan yang berwibawa justru dapat membuahkan teori.

Meskipun demikian, akhirnya kami bisa mengumpulkan 25 puisi yang menjadi nomine sampai akhirnya, kami dapatkan tiga puisi untuk dipertaruhkan lagi menjadi peringkat I, II, dan III. Ketiga puisi itu adalah Pukau Kampung Semaka, Menjaga Cinta di Teluk Kiluan, dan Kenangan Bersama Ibu. Kami memilih tiga puisi ini mengingat puisi-puisi ini terasa jernih, sederhana (dalam arti tak mengada-ada), kesesuaian dengan tema, dan pesan yang ingin disampaikan pun terusung. Adanya unsur estetika (puitik, diksi), imaji, kesesuaian dengan tema. Penyair menghindar dari ingin menggurui, sok faham pada tema yang ditetapkan, ataupun hanya ingin bemain-main dengan olahan bahasa. Lebih jauh, justru kami melihat, pada puisi-puisi ini terkesan bahwa penyair ingin mengatakan sesuatu dengan jujur, jernih, dan tetap bekerja secara intelektual. Inilah mungkin yang disebut Aristoteles sebagai jalan tengah antara hal yang tak bisa dipahami dan hal-hal yang bersifat umum.

Lalu setiap puisi kami dedahkan dengan cermat. Misalnya kekuatan puisi Pukau Kampung Semaka. Sebagai perantau, aku lirik merasakan perubahan telah terjadi di kampungnya, seperti anjing menyalak azan! yang pada saat ia kanak-kanak mungkin hal itu tak ia temukan. Lalu, "para pendatang" sudah tidak segan lagi pada pemangku tiyuh, dan kenangan-kenangan silam seperti pada purnama orang-orang kampung menanam jimat penolak bala. Sampai pada penutup puisi, aku lirik ingin kembali membasuh muka di Sungai Semaka walaupun airnya sudah berwarna cadas. Mungkin penulis puisi ini cukup sadar akan adanya sinyal defisit kebudayaan seperti yang disampaikan di muka tulisan, sehingga si penulis mencoba mempertanyakan kembali eksistensi dirinya yang berangkat dari sebuah bangunan bernama tradisi lokal. Apakah ini semacam counter terhadap struktur budaya yang tengah dominan dan menjadi trend setter? Ada sebentuk "ideologi" yang diusung dalam puisi ini: senggikhi kutti di tanoh sinji!

Sementara peringkat kedua, puisi Menjaga Cinta di Teluk Kiluan, kami mendekati dengan cerita “sahibul hikayat" tentang asal mula nama Kiluan itu sendiri. Alkisah, Kiluan dalam bahasa pesisir berarti meminta atau mohon. Dan, Teluk Kiluan, bagi masyarakat setempat pada masa lampau dijadikan sebagai tempat permohonan antara hamba dengan Pemilik Semesta. Hal itu kami dapatkan pada bait kedua: Di lubuk yang dijaga bukit-bukit/di teluk permohonan/tak ada yang dapat kucatat/juga kugambar/selain hati yang terus bergetar/berdebar oleh angin yang berpusar/dari hulu ke hilir/seperti sebelum kukulum bibir/yang ragu mengucap rindu. Ada kenangan, ada rindu, ada pula keraguan (bimbang) tentang cinta, tentang masa silam, dan ihwal yang membuat aku lirik harus kembali ke teluk permohonan.

Lalu puisi sederhana dan terkesan jujur tapi tetap berhasrat pada tema, kami temukan pada Kenangan Bersama Ibu yang bercerita tentang air terjun Way Lalaan, yang karena kekuatan puitik dan pengolahan kata masih di bawah kedua puisi di atas. Meskipun demikian, sekiranya Pemerintah Kabupaten Tanggamus "mengutip" puisi ini untuk dijadikan prasasti pada objek wisata Way Lalaan di sana, puisi ini akan (dan sudah) bicara banyak tentang masa lalu dan masa kini juga tetap aktual di masa depan. Begitulah kekuatan puisi, yang kerap diartikan sebagai suara lain dari zaman.

Selanjutnya, demi kepentingan penerbitan buku, maka dari puisi-puisi yang telah masuk nomine, kami lanjutkan memilih 15 puisi nomine nonperingkat untuk dimuat di dalam antologi puisi yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus yang bekerja sama dengan penerbit di Yogyakarta. Puisi itu di antaranya Gambar Taman Batu (A’yat Safrana G. Khalili, Sumenep), Prasasti Batu Bedil (Budhy Setiawan, Jakarta), Bumi Begawi Jejama (Dhea Fitria Juhara, Jakarta), Batu Bedil (Dian Hartati, Bandung), Yang Berkemas di Kiluan (Dian Hartati, Bandung), Gisting (Dwi Setyo Wibowo, Yogyakarta), Tentang Kiluan (Edi Purwanto, Lampung Barat), Pantai Doa di Tubuh Kita (Faisal Syahreza, Bandung), Sepenggal Catatan Kecil untuk Perjalanan (Kemas Feri Rahman, Bogor), Sajak Sang Pemandu (Moh. Sofakul Mustaqim, Blitar), Lepas Sore Teluk Kiluan (Muh. Husen Arifin, Malang), Surat Rindu (Oky Sanjaya, Lampung), Sembilan Belas Hujan dan Sunyi Burung September (Sakti Wibowo, Jakarta), Situs Batu Bedil (Wayan Sunarta, Bali), Akulah Kiluan yang Memesona (Zanila Aqsa, Jakarta).

Pada akhirnya, lomba seperti ini—yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung; mungkin juga provinsi lain—sangat berarti bagi promosi pariwisata dan budaya daerah bersangkutan. Promosi melalui sastra (cerpen ataupun puisi), lebih efektif karena dibaca banyak orang, meski belum dianggap lazim. Karena itu, apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus, Lampung ini, perlu diapreasiasi agar Teluk Semaka semakin memancarkan pukau dan pesonanya.

Salam hangat dari Kotaagung.

Dewan Juri
Ari Pahala Hutabarat
Isbedy Stiawan ZS
Jimmy Maruli Alfian



Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010

No comments:

Post a Comment