Oleh Meza Swastika
Restoran dan rumah makan terus bertumbuh di Bandar Lampung. Tetapi, sulit mendapatkan kuliner khas dengan identitas Lampung.
DIRHAM gelagapan ketika wisatawan asal Jakarta yang ia bawa ke Teluk Kiluan bertanya tentang masakan khas Lampung. Ia kebingungan, tak bisa menjawab dan tak tahu harus membawa wisatawan itu ke mana.
Ia juga tak mungkin membawa wisatawan itu ke rumah makan di daerah Hanura, Padangcermin, yang menjual pindang kepala simba, karena rumah makan itu tak buka pada malam hari.
Bertanya ke sana-kemari, akhirnya wisatawan itu hanya dibawa ke PKOR Way Halim. Bukan makanan khas yang didapat, para wisatawan itu sempat risi dan kesal karena tukang peras berkedok pengamen yang datang bergiliran. "Jangankan dapat tips, mereka malah kesal sama saya.?
Literatur tentang rumah makan kuliner yang menyajikan masakan khas Lampung di Bandar Lampung memang minim. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mungkin hanya Pindang Mak War yang ada di Jalan Tulangbawang, Tanjungkarang Pusat, atau Rumah Makan Ryu yang ada di Jalan Raden Saleh, Telukbetung Selatan, dan Pindang Ria di Jalan Sutan Syahrir, Pahoman.
Selain itu, masakan-masakan khas Lampung lebih banyak berada di jalan-jalan biasa seperti pindang baung di Rumah Makan Kyai di Jalan Ryacudu serta Rumah Makan Seruit di Jalan Raden Saleh, Telukbetung Selatan.
Padahal, berdasarkan data yang dirilis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung dalam Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Dalam Angka menyebutkan sedikitnya terdapat 192 rumah makan dan 10 restoran di Bandar Lampung. Angka ini bahkan bisa lebih besar lagi karena masih banyak rumah-rumah makan yang belum masuk daftar yang ada di buku Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Dalam Angka.
Namun, rumah makan-rumah makan itu hanya menjadikan masakan khas Lampung sebagai opsional atau bahkan tak ada dalam daftar menu sama sekali.
Restoran-restoran besar yang ada di hotel-hotel di Bandar Lampung juga tak menonjolkan kekhasan citarasa masakan Lampung kepada tamunya. Karena itu, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Lampung Yaman Aziz tak terlalu mempromosikan wisata kuliner kepada wisatawan. "Yang jadi masalah adalah mau kita bawa ke mana wisatawan-wisatawan itu karena tak ada rumah makan yang benar-benar menjual menu makanan asli Lampung," katanya.
Padahal, situasi wisata di Lampung kini tengah bergairah. Lampung, menurutnya, dianggap sebagai alternatif pariwisata baru bagi wisatawan dari luar termasuk asing, tapi peluang ini tak ditangkap dengan baik. Sebab itu, ia tak terlalu mengapresiasi pertumbuhan rumah makan di Bandar Lampung yang amat masif kini.
"Banyak masalahnya, selain krisis makanan asli Lampung. Banyaknya rumah makan di Bandar Lampung tak dibarengi dengan kualitas pelayanan yang didapatkan oleh pengunjung," ujar Yaman.
Rumah makan-rumah makan yang ada, lanjutnya, cenderung menganggap makanan khas daerah sebagai dagangan yang tak punya prospek. Menu-menu di rumah makan justru cenderung sama sehingga cenderung hanya bersaing dalam hal citarasa dan suasana yang ditawarkan, ketimbang menu yang beragam, termasuk menu lokal.
Padahal, masakan khas Lampung, menurutnya, memiliki citarasa yang unik. Meski memiliki kecenderungan terhadap rasa pedas layaknya masakan Sunda, menu makanan khas Lampung jauh berbeda. Ia mencontohkan sambal terasi dan seruit dan tempoyak, termasuk pindang baung yang jauh berbeda dengan masakan-masakan pindang dari Sumatera Selatan maupun daerah lainnya.
"Menu khas Lampung itu beragam dan punya citarasa tersendiri, dan ini menjual. Tak hanya untuk wisatawan luar, tapi juga masyarakat kita lidahnya masih tak bisa lepas dari masakan-masakan Lampung.?
Sosiolog Unila, Bartoven Pipit, menilai pengusaha-pengusaha rumah makan tak sepenuhnya salah. Mereka justru memanfaatkan budaya konsumtif masyarakat Lampung dan cenderung ingin mencoba sesuatu yang baru sebagai peluang bisnis yang sangat prospek.
"Kita tidak bicara menu lokal, tapi lebih kepada memanfaatkan peluang dari budaya konsumtif itu.?
Selain itu, masyarakat Lampung juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti tren terhadap sesuatu yang baru. Akibatnya, masalah harga dan citarasa menjadi urusan nomor dua.
Bertebaran
Bertumbuhnya bisnis rumah makan selain membuat menu bervariasi juga memudahkan pembeli. Kini hampir di setiap ruas jalan, mulai dari jalan arteri, jalan poros, hingga di kompleks-kompleks perumahan bertebaran rumah makan-rumah makan dari yang kelas kaki lima sampai mewah.
Sebut saja di ruas Jalan R.A. Kartini, yang pada malam hari banyak warung-warung tenda lesehan atau nasi uduk atau rumah makan D'Kost yang ada di Mal Kartini. Atau di Jalan Raden Intan, kemudian di Jalan Ahmad Yani yang setiap minggu kedua tiap bulannya selalu digelar Car Free Night yang kebanyakan pedagangnya menjual makanan ringan.
Di Jalan Pangeran Diponegoro, selain bisa mencari makanan dengan harga yang ringan, juga banyak dijumpai restoran-restoran besar dengan menu khusus, seperti masakan Jepang.
Tak hanya itu, di kawasan Telukbetung ada Pasar Mambo yang menawarkan menu makanan seafood. Menu-menu makanan seafood juga banyak bertebaran di Jalan Pangeran Antasari.
Kemudian di kawasan Saburai ada penganan khas Lampung, seperti Pindang Mak War atau Pindang Ria di Pahoman. Di Jalan Teuku Umar terdapat penganan-penganan ringan, seperti martabak atau rumah makan berjaringan seperti Pecel Lele Lela dan Rumah Makan Bumbu Desa.
Kemudian di Jalan Zainal Abidin Pagaralam yang identik dengan kawasan kampus juga banyak dijumpai rumah makan dari kelas kaki lima sampai makanan cepat saji. Atau bisa juga beralih ke kompleks PKOR Way Halim yang juga menawarkan menu-menu ringan.
Selain itu, di ruas Jalan Ki Maja, Way Halim, banyak berdiri rumah makan cepat saji mulai dari Yanto Lamongan sampai warung tenda Bu Gendut.
Di kawasan Jalan Arif Rahman Hakim juga terdapat Rumah Kayu dan Rumah Bakso dengan nuansa rumah makan yang serbahijau. Bahkan di Rumah Bakso sengaja dibuat layaknya rumah panggung yang khas dengan rumah adat Lampung.
Tapi, pertumbuhan bisnis kuliner di Kota Bandar Lampung ini tak direspons positif oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung yang tak berupaya memanfaatkan peluang ini sebagai nilai jual peluang wisata baru: wisata kuliner.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung Rifa'i kepada Lampung Post, beberapa waktu lalu, justru cenderung berupaya menjual paket-paket wisata konvensional seperti objek wisata dan kawasan budaya.
Ditanya terkait hal ini, Rifa'i tak mau memberikan komentarnya. Akibatnya, Ketua HPI Lampung Yaman Aziz menilai ketiadaan upaya pembinaan dari dinas terkait membuat masalah pelayanan rumah makan terlihat buruk. Kebersihan dan kerahaman sebagai salah satu faktor penting justru belum dipahami atau bahkan diabaikan.
"Di sisi kewibawaan jelas Dinas Pariwisata tak bergigi karena mekanisme perizinan banyak diterabas stakeholder. Padahal rekomendasi pariwisata sangat penting, terutama soal kebersihan. Stakeholder harus menjaga kualitas pelayanannya." (M1)
mezaswastika@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014
Restoran dan rumah makan terus bertumbuh di Bandar Lampung. Tetapi, sulit mendapatkan kuliner khas dengan identitas Lampung.
DIRHAM gelagapan ketika wisatawan asal Jakarta yang ia bawa ke Teluk Kiluan bertanya tentang masakan khas Lampung. Ia kebingungan, tak bisa menjawab dan tak tahu harus membawa wisatawan itu ke mana.
Ia juga tak mungkin membawa wisatawan itu ke rumah makan di daerah Hanura, Padangcermin, yang menjual pindang kepala simba, karena rumah makan itu tak buka pada malam hari.
Bertanya ke sana-kemari, akhirnya wisatawan itu hanya dibawa ke PKOR Way Halim. Bukan makanan khas yang didapat, para wisatawan itu sempat risi dan kesal karena tukang peras berkedok pengamen yang datang bergiliran. "Jangankan dapat tips, mereka malah kesal sama saya.?
Literatur tentang rumah makan kuliner yang menyajikan masakan khas Lampung di Bandar Lampung memang minim. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mungkin hanya Pindang Mak War yang ada di Jalan Tulangbawang, Tanjungkarang Pusat, atau Rumah Makan Ryu yang ada di Jalan Raden Saleh, Telukbetung Selatan, dan Pindang Ria di Jalan Sutan Syahrir, Pahoman.
Selain itu, masakan-masakan khas Lampung lebih banyak berada di jalan-jalan biasa seperti pindang baung di Rumah Makan Kyai di Jalan Ryacudu serta Rumah Makan Seruit di Jalan Raden Saleh, Telukbetung Selatan.
Padahal, berdasarkan data yang dirilis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung dalam Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Dalam Angka menyebutkan sedikitnya terdapat 192 rumah makan dan 10 restoran di Bandar Lampung. Angka ini bahkan bisa lebih besar lagi karena masih banyak rumah-rumah makan yang belum masuk daftar yang ada di buku Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Dalam Angka.
Namun, rumah makan-rumah makan itu hanya menjadikan masakan khas Lampung sebagai opsional atau bahkan tak ada dalam daftar menu sama sekali.
Restoran-restoran besar yang ada di hotel-hotel di Bandar Lampung juga tak menonjolkan kekhasan citarasa masakan Lampung kepada tamunya. Karena itu, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Lampung Yaman Aziz tak terlalu mempromosikan wisata kuliner kepada wisatawan. "Yang jadi masalah adalah mau kita bawa ke mana wisatawan-wisatawan itu karena tak ada rumah makan yang benar-benar menjual menu makanan asli Lampung," katanya.
Padahal, situasi wisata di Lampung kini tengah bergairah. Lampung, menurutnya, dianggap sebagai alternatif pariwisata baru bagi wisatawan dari luar termasuk asing, tapi peluang ini tak ditangkap dengan baik. Sebab itu, ia tak terlalu mengapresiasi pertumbuhan rumah makan di Bandar Lampung yang amat masif kini.
"Banyak masalahnya, selain krisis makanan asli Lampung. Banyaknya rumah makan di Bandar Lampung tak dibarengi dengan kualitas pelayanan yang didapatkan oleh pengunjung," ujar Yaman.
Rumah makan-rumah makan yang ada, lanjutnya, cenderung menganggap makanan khas daerah sebagai dagangan yang tak punya prospek. Menu-menu di rumah makan justru cenderung sama sehingga cenderung hanya bersaing dalam hal citarasa dan suasana yang ditawarkan, ketimbang menu yang beragam, termasuk menu lokal.
Padahal, masakan khas Lampung, menurutnya, memiliki citarasa yang unik. Meski memiliki kecenderungan terhadap rasa pedas layaknya masakan Sunda, menu makanan khas Lampung jauh berbeda. Ia mencontohkan sambal terasi dan seruit dan tempoyak, termasuk pindang baung yang jauh berbeda dengan masakan-masakan pindang dari Sumatera Selatan maupun daerah lainnya.
"Menu khas Lampung itu beragam dan punya citarasa tersendiri, dan ini menjual. Tak hanya untuk wisatawan luar, tapi juga masyarakat kita lidahnya masih tak bisa lepas dari masakan-masakan Lampung.?
Sosiolog Unila, Bartoven Pipit, menilai pengusaha-pengusaha rumah makan tak sepenuhnya salah. Mereka justru memanfaatkan budaya konsumtif masyarakat Lampung dan cenderung ingin mencoba sesuatu yang baru sebagai peluang bisnis yang sangat prospek.
"Kita tidak bicara menu lokal, tapi lebih kepada memanfaatkan peluang dari budaya konsumtif itu.?
Selain itu, masyarakat Lampung juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti tren terhadap sesuatu yang baru. Akibatnya, masalah harga dan citarasa menjadi urusan nomor dua.
Bertebaran
Bertumbuhnya bisnis rumah makan selain membuat menu bervariasi juga memudahkan pembeli. Kini hampir di setiap ruas jalan, mulai dari jalan arteri, jalan poros, hingga di kompleks-kompleks perumahan bertebaran rumah makan-rumah makan dari yang kelas kaki lima sampai mewah.
Sebut saja di ruas Jalan R.A. Kartini, yang pada malam hari banyak warung-warung tenda lesehan atau nasi uduk atau rumah makan D'Kost yang ada di Mal Kartini. Atau di Jalan Raden Intan, kemudian di Jalan Ahmad Yani yang setiap minggu kedua tiap bulannya selalu digelar Car Free Night yang kebanyakan pedagangnya menjual makanan ringan.
Di Jalan Pangeran Diponegoro, selain bisa mencari makanan dengan harga yang ringan, juga banyak dijumpai restoran-restoran besar dengan menu khusus, seperti masakan Jepang.
Tak hanya itu, di kawasan Telukbetung ada Pasar Mambo yang menawarkan menu makanan seafood. Menu-menu makanan seafood juga banyak bertebaran di Jalan Pangeran Antasari.
Kemudian di kawasan Saburai ada penganan khas Lampung, seperti Pindang Mak War atau Pindang Ria di Pahoman. Di Jalan Teuku Umar terdapat penganan-penganan ringan, seperti martabak atau rumah makan berjaringan seperti Pecel Lele Lela dan Rumah Makan Bumbu Desa.
Kemudian di Jalan Zainal Abidin Pagaralam yang identik dengan kawasan kampus juga banyak dijumpai rumah makan dari kelas kaki lima sampai makanan cepat saji. Atau bisa juga beralih ke kompleks PKOR Way Halim yang juga menawarkan menu-menu ringan.
Selain itu, di ruas Jalan Ki Maja, Way Halim, banyak berdiri rumah makan cepat saji mulai dari Yanto Lamongan sampai warung tenda Bu Gendut.
Di kawasan Jalan Arif Rahman Hakim juga terdapat Rumah Kayu dan Rumah Bakso dengan nuansa rumah makan yang serbahijau. Bahkan di Rumah Bakso sengaja dibuat layaknya rumah panggung yang khas dengan rumah adat Lampung.
Tapi, pertumbuhan bisnis kuliner di Kota Bandar Lampung ini tak direspons positif oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung yang tak berupaya memanfaatkan peluang ini sebagai nilai jual peluang wisata baru: wisata kuliner.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung Rifa'i kepada Lampung Post, beberapa waktu lalu, justru cenderung berupaya menjual paket-paket wisata konvensional seperti objek wisata dan kawasan budaya.
Ditanya terkait hal ini, Rifa'i tak mau memberikan komentarnya. Akibatnya, Ketua HPI Lampung Yaman Aziz menilai ketiadaan upaya pembinaan dari dinas terkait membuat masalah pelayanan rumah makan terlihat buruk. Kebersihan dan kerahaman sebagai salah satu faktor penting justru belum dipahami atau bahkan diabaikan.
"Di sisi kewibawaan jelas Dinas Pariwisata tak bergigi karena mekanisme perizinan banyak diterabas stakeholder. Padahal rekomendasi pariwisata sangat penting, terutama soal kebersihan. Stakeholder harus menjaga kualitas pelayanannya." (M1)
mezaswastika@lampungpost.co.id
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014
No comments:
Post a Comment