January 12, 2014

Kawin Massal, Pelecut Cerpenis Baru

Oleh Dian Wahyu Kusuma

Negeri Penyair, begitu julukan Tanah Lada dalam dunia sastra. Tapi bukan berarti Ruwa Jurai miskin cerpenis. Kawin Massal membuktikan Lampung juga tempat berdiam penulis prosa.

BUKU antologi cerpen yang diterbitkan Dewan Kesenian Lampung ini menjadi pembaptis kedua setelah media massa yang menerbitkan cerpen-cerpen di dalamnya. Cerpen yang ditulis enam cerpenis Lampung, F. Moses, Muhammad Amin, Ika Nurliana, S.W. Teofani, Yuli Nugrahani, Yulizar Fadli ini diharapkan mampu melahirkan penulis sastra baru di Lampung.


Demikian yang diharapkan Naqiyah Syam, ketua Forum Lingkar Pena Lampung, saat Bincang Buku Lampung Post, Rabu (8/1), di kantin Lampung Post. Bincang Buku Lampost putaran keempat yang diiringi guyuran hujan ini dihadiri 25 peserta dari berbagai komunitas.

Membahas karya penulis Lampung membuat peserta seolah “pulang” membicarakan diri sendiri. Membincang cerpen Muhammad Amin yang berjudul Empat Potong Warahan Batu begitu sarat dengan nilai lokal, khususnya di daerah Kotaagung di zaman tumbai membuat kita berselancar ke masa lalu di mana zaman masih diliputi mitologi.

Tapi, bagaimanapun sampai saat ini mitologi, minimal dalam cerita-cerita, masih hidup dan subur di masyarakat. Muhammad Amin begitu piawai meracik kata dan cerita sehingga membuat pembaca hanyut dalam alurnya yang runut dan bisa dicerna siapa pun. Bahkan, jika kita ceritakan dengan anak kecil menjelang tidurnya pun akan mudah dinikmati.

Sekalipun demikian, dua karya Muhammad Amin bukanlah karya yang berdasar dongeng belaka, imajinasi penulis begitu lincah di sana. Membuat kita enggan untuk mengakhiri membacanya. Pada cerpen Pemetik Dadi, penulis mengajak kita menikmati suasana kampung di zaman tumbai yang begitu sarat dengan penghormatan terhadap alam. Pada setiap musim yang hadir, dinikmati dengan harmoni, dan menjadi semakin mansyuk dengan hadirnya pemuda pemetik dadi. Meski itu awal nestapa kehilangan yang memilukan.

Cerpenis lain, S.W. Teofani, mewedarkan monolog tokoh perempuan Indonesia R.A. Kartini yang menceritakan tokoh lain Rohana Kudus. Sebuah monolog imajiner yang diwakilkan dalam Bukan Lembar yang Hilang.
  
Sedangkan F. Moses meneror kita dengan tokoh Kasdi yang tak jua pulang pada hari pernikahannya, karena dia menyiapkan diri untuk menjadi pengantin dalam bentuk lain. Ya, dia memilih menjadi pelaku bom bunuh diri. Sungguh tragis.

Cerpen Ika Nurliana mengangkat kegalauan ibu rumah tangga yang sedang dirundung masalah rumah tangga. Meski dia serapi mungkin menyembunyikannya dari anak-anak, yang terwakilkan dalam Kertas itu Akan Selalu Kosong.

Sedangkan Kampung Kecubung, buah karya Yulizar Fadli, menghantarkan kita ke sebuah kampung dengan kehidupannya yang bersahaja dan tak lepas dari kebiasaan pemudanya yang mengonsumsi minuman memabukkan. Bukan dengan tuak atau dengan minuman oplosan, tapi tanaman kecubung yang bisa membuat orang jadi gila jika tidak tertolong. 

Menelisik cerpen ini membuat kita asyik masyuk pada ritme cerita yang berbeda-beda. Peserta Bincang Buku pun berharap kumpulan cerpen ini  menjadi pelecut cerpenis-cerpenis baru bermunculan untuk meramaikan kesusastraan Lampung. (P2)
 
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
 

No comments:

Post a Comment