Oleh Karina Lin
MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).
Dalam sebulan ini (Maret 2014), saya mencatat telah tiga kali opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini pertama ditulis Hardi Hamzah yang berjudul Urgensi FIB di Unila (Lampung Post, 3 Maret 2014); opini kedua berjudul Memimpikan FIB di PTN Lampung ditulis Dina Amalia Susanto (Lampung Post,15 Maret 2014); dan opini ketiga berjudul FIB Berbasis Empirisme? yang ditulis Destaayu Wulandari (Lampung Post,i 20 Maret 2014).
Adapun gambaran singkat dari masing-masing tulisan tersebut sebagai berikut. Hardi Hamzah dalam artikel opininya mendesak pendirian FIB seraya mengungkapkan argumentasi bila FIB didirikan, kilaunya kelak bisa dirasakan dalam refleksi yang konkret bersama turnannya, semacam Lampungnologi dan beberpa turunannya sampai pada usaha antisipatif terhadap antropologi budaya. Dia mengatakan, lebih jauh lagi, transformasi budaya terus mengalir bersamaan globalisasi dan tentu kita harapkan tidak hanya sebagai filter secara normatif terhadap akulturasi budaya yang muncul.
Selanjutnya, Dina Amalia Susanto lebih menekankan pada sisi kelimuannya. Ia misalnya mencontohkan (justru) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jawa Barat-lah yang memegang informasi situs-situs purbakala di Lampung dari zaman megalitikum (prasejarah) hingga sejarah. Sejarawan luar Lampung di tingkat nasional maupun luar negerilah yang dari masa orientalis hingga masa kini yang (justru) mendokumentasikan sejarah Lampung periode prakolonial hingga Orde Baru.
Sementara Destaayu Wulandari memaparkan pada sisi bagaimana kelak bentuk dari FIB itu nantinya. Apakah akan teoretis, ataukah praktik, dan lain-lain.
Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat ataupun gagasan-gagasan yang diurai oleh para penulis itu. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya (semenjak hari ini).
Hanya saja, ada satu hal lagi yang tak boleh luput (tetapi luput juga) yakni mengenai peluang FIB tersebut sungguh-sungguh berdiri. Bagaimana dan seberapa besar peluang FIB berdiri di Unila? Kira-kira beginilah andai kata dirumuskan dalam sebuah kalimat awam.
Kamus Vdt sebagai Katalisator
Menjawab pertanyaan di atas, saya kira gampang-gampang susah. Namun, tak ada salahnya jika saya coba untuk menganalisisnya. Arman A.Z., seorang peminat sejarah kelampungan yang tinggal di sini, pernah menulis mengenai kamus bahasa Lampung karya Herman Neubronneer Van der Tuuk (Vdt).
Kamus ini, sebagaimana ditulis Arman (dimuat dalam Lampung Post, 19 Februari 2014), merupakan kamus bahasa Lampung pertama (dengan kata lain tertua) untuk ukuran kebahasaan Lampung. Kamus ini selama satu setengah abad tersimpan baik di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan baru pada Februari 2014 lalulah kamus tersebut “dipulangkan.”
Sengapa saja beri tanda petik pada kata dipulangkan. Pasalnya, dipulangkan di sini bukan dalam harfiahnya, melainkan berupa repro-nya saja. Penyerahan repro kamus Vdt sendiri telah dilakukan pada 27 Februari lalu. Dalam acara penyerahan repro kamus tersebut, juga diadakan diskusi kelampungan dengan tema Mengembalikan Harga Diri Orang Lampung. Sayang, saya tidak bisa menghadiri diskusi tersebut karena keterbatasan kuota undangan diskusi.
Namun, sejumlah media cetak lokal yang diundang memberitakan hasil dari diskusi plus penyerahan repro kamus tersebut. Ada empat rekomendasi penting yang dihasilkan dari diskusi: (a) perlu adanya tindak lanjut berupa pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan dan memasyarakatkan bahasa Lampung; (b) perlu dibukanya kembali program studi (prodi) bahasa Lampung atau FIB di Universitas Lampung; (c) mendesak pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mewujudkan budaya Lampung sebagai identitas lokal; (d) perlu penerbitan dan sosialisasi kamus bahasa Lampung karya Vdt dan berbagai manuskrip Lampung kuno yang saat ini tersebar di berbagai tempat (teraslampung.com).
Semenjak keluarnya empat rekomendasi tersebut, wacana mendesak pendirian FIB bergema lagi. Sampai di sini, boleh disebut pengembalian kamus dan hasil diskusi menjadi semacam katalisator yang memicu letupan semangat pendirian FIB di Unila.
Tentu saja ini respons yang sangat positif. Akan tetapi, patut dicatat, wacana mendesak pendirian FIB di Unila telah pernah digemakan jauh sebelum momen pengembalian repro kamus VdT. Kita bisa mengetahui hal ini dari, salah satunya, buku Feodalisme Modern (ditulis Udo Z. Karzi). Ada beberapa subbab dalam buku yang menyinggung-nyinggung wacana pendirian FIB di Unila.
Lalu seorang dosen saya di Prodi Pendidikan Sejarah pernah pula mengajukan gagasan ini. Menurut penuturannya, proposal telah dibuatnya bersama seorang dosen dari prodi kebahasaan dan diajukan kepihak dekanat atau rektorat (saya lupa). Tunggu punya tunggu, tak ada kelanjutannya.
Menyatakan FIB
Sejujurnya, saya sangat menyambut baik bergemanya kembali wacana mendesak pendirian FIB di Unila. Saya kira, tak perlu dipaparkan secara panjang lebar mengenai alasan keperluan ini. Sederhana saja, yakni untuk keberlangsungan peradaban dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Serta satu lagi, yang katakanlah alasan sentimentil diri saya.
Sebagai alumnus Unila dari Prodi Pendidikan Sejarah, saya berharap sekali Unila memiliki prodi yang murni ilmu sejarah. Saya terkenang ketika pada 2002 mengikuti SPMB. Saat itu saya memilih dua prodi yang sama-sama berlatar belakang humaniora, pilihan pertama di Universitas Indonesia dan pilihan kedua di Unila. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan pilihan pertama, sehingga menimba ilmulah saya di prodi pilihan kedua (pendidikan sejarah).
Meski namanya tetap mencantumkan kata sejarah, dalam kurikulumnya terdapat mata kuliah pendidikan (ya, namanya juga Prodi Pendidikan Sejarah), jadi tidaklah murni. Selain itu, menurut penuturan ketua prodinya, komposisi penulisan skripsi jauh lebih banyak yang menjurus ke pendidikan ketimbang ke sejarah.
Alasan lainnya? Tanggapan berbagai pihak yang bagai gayung bersambut. Walaupun demikian, tetap ada rasa skeptis apakah wacana kali ini bisa menjadi sekedar wacana. Kalau dari sisi teknis seperti sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya, menurut saya bisa diusahakan atau diatur. Baru-baru ini saya melakukan perbincangan dengan seorang pensiunan guru besar di UI (beliau berlatar belakang sosiologi). Kebetulan sang guru besar ini kini bekerja di semacam badan yang mengurusi akreditasi PT-PT di Indonesia.
Mengenai pendirian FIB ini, menurutnya, kalau ada perjanjian kerja sama, mungkin bisa resource sharing. Namun, sebaiknya cek dengan Dikti dulu daripada melangkah terlalu jauh tapi salah. Jika Unila serius bikin fakultas baru, bisa penjajakan ke Dikti dan FIB di UI dan UGM. Unila juga harus bikin tim studi kelayakan atau feasibility study.
Bersamaan dengan itu, dia juga mengatakan, “Yang sebenarnya mau bikin fakultas siapa, sih? Yang punya ide harus merintis, menjajaki. Kalau tidak, omong doang. Buang energi saja. Dalam tiap inisiatif selalu harus ada orang yang siap memotori dan menyediakan tenaga dan pikiran penuh waktu untuk mewujudkan ide. Kalau tidak, percuma saja.”
Pernyataan itu menyentak saya. Nah, ini dia! Jika dipikir-pikir, apa yang dinyatakannya itu realistis. Sepengamatan saya, wacana pendirian FIB sudah ada sejak lama. Ide tersebut terus hidup. Hanya saja, faktor siapa atau dalam terminologi yang lebih luas lagi, pihak yang sungguh-sungguh memotori, mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran guna mewujudkan FIB tersebut masih belum ada. Kita masih belum sampai tahap itu sehingga tidaklah mengherankan bila wacana ini masih terus menjadi wacana (saja) hingga detik ini. Mamun alias maju mundur.
Saya pernah membuat sebuah tulisan mengenai pendirian FIB di Unila. Saya kirimkan ke sebuah media cetak lokal yang sayangnya tidak dimuat. Dalam tulisan tersebut, saya memperbandingkan fakultas kedokteran (FK) di Unila dan FIB di Unila. Cukup logis karena pertimbangan (a) di antara sepuluh fakultas yang ada di Unila, FK-lah yang termuda (berdiri tahun 2002) dan (b) FK dan FIB memiliki kegunaan sederajat. FK (ilmunya) berguna untuk menyelamatkan manusia secara harfiah. FIB (ilmunya) berguna untuk menjadikan kita manusia yang bermartabat dan beradab.
Namun, kenapa Unila mau mewujudkan FK, sementara FIB bagai kasih tak sampai? Faktor niat merupakan salah satunya dan terutama karena ada pihak yang mau mencurahkan waktu, tenaga, pikiran tak terkecuali biaya guna merealisasi FK tersebut. Entah siapa pihak-pihak tersebut, saya tidak tahu. Saya hanya mengingat. Kalau tak salah, mantan ketua DPRD di masa reformasi di provinsi kitalah yang awalnya melemparkan gagasan ini ke masyarakat.
Jadi, kembali ke poin seberapa besar peluang berdirinya FIB di Unila? Saya kira masih fifty-fifty. Ramai dibahas, diberitakan, belum tentu juga bisa terwujudkan. Sebaliknya, sepi dibahas, diberitakan, belum tentu pula tidak bisa diwujudkan.
Namun, lebih daripada itu, peluang menjadi sangat besar, malahan realistis FIB terwujudkan andai kata ada pihak yang mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lain guna “menyatakan” FIB dan setelah FIB itu berdiri.
Di media sosial, saya memang telah membaca link mengenai petisi mendesak pendirian FIB di Unila. Itu hal yang positif untuk memulai proses mewujudkan berdirinya FIB. Namun, sekali lagi kita membutuhkan lebih dari sekadar petisi.
Ya itu tadi, mencurahkan loyalitas kita (waktu, tenaga, pikiran bahkan dana) serta jangan lupakan faktor waktu. Sekalipun kita menggebu-gebu, tetap mustahil mewujudkan inisiatif itu dalam sekejap mata. Belajar dari pendirian FK, gagasan itu diwacanakan sekira akhir tahun 1990-an dan baru terealisasi lebih dari sepuluh tahun kemudian.
Akhirnya, tak ada salahnya mempertanyakan dulu kepada diri kita sendiri: maukah, bisakah kita, komitmen dan konsistenkah kita mendedikasikan itu semua (waktu, tenaga, pikiran, dan biaya) demi FIB? Serta jangan melupakan waktu, dan waktu pulalah yang akan memberi jawabnya. n
Karina Lin, Pengamat sosial-budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 5 April 2014
MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).
Dalam sebulan ini (Maret 2014), saya mencatat telah tiga kali opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini pertama ditulis Hardi Hamzah yang berjudul Urgensi FIB di Unila (Lampung Post, 3 Maret 2014); opini kedua berjudul Memimpikan FIB di PTN Lampung ditulis Dina Amalia Susanto (Lampung Post,15 Maret 2014); dan opini ketiga berjudul FIB Berbasis Empirisme? yang ditulis Destaayu Wulandari (Lampung Post,i 20 Maret 2014).
Adapun gambaran singkat dari masing-masing tulisan tersebut sebagai berikut. Hardi Hamzah dalam artikel opininya mendesak pendirian FIB seraya mengungkapkan argumentasi bila FIB didirikan, kilaunya kelak bisa dirasakan dalam refleksi yang konkret bersama turnannya, semacam Lampungnologi dan beberpa turunannya sampai pada usaha antisipatif terhadap antropologi budaya. Dia mengatakan, lebih jauh lagi, transformasi budaya terus mengalir bersamaan globalisasi dan tentu kita harapkan tidak hanya sebagai filter secara normatif terhadap akulturasi budaya yang muncul.
Selanjutnya, Dina Amalia Susanto lebih menekankan pada sisi kelimuannya. Ia misalnya mencontohkan (justru) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jawa Barat-lah yang memegang informasi situs-situs purbakala di Lampung dari zaman megalitikum (prasejarah) hingga sejarah. Sejarawan luar Lampung di tingkat nasional maupun luar negerilah yang dari masa orientalis hingga masa kini yang (justru) mendokumentasikan sejarah Lampung periode prakolonial hingga Orde Baru.
Sementara Destaayu Wulandari memaparkan pada sisi bagaimana kelak bentuk dari FIB itu nantinya. Apakah akan teoretis, ataukah praktik, dan lain-lain.
Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat ataupun gagasan-gagasan yang diurai oleh para penulis itu. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya (semenjak hari ini).
Hanya saja, ada satu hal lagi yang tak boleh luput (tetapi luput juga) yakni mengenai peluang FIB tersebut sungguh-sungguh berdiri. Bagaimana dan seberapa besar peluang FIB berdiri di Unila? Kira-kira beginilah andai kata dirumuskan dalam sebuah kalimat awam.
Kamus Vdt sebagai Katalisator
Menjawab pertanyaan di atas, saya kira gampang-gampang susah. Namun, tak ada salahnya jika saya coba untuk menganalisisnya. Arman A.Z., seorang peminat sejarah kelampungan yang tinggal di sini, pernah menulis mengenai kamus bahasa Lampung karya Herman Neubronneer Van der Tuuk (Vdt).
Kamus ini, sebagaimana ditulis Arman (dimuat dalam Lampung Post, 19 Februari 2014), merupakan kamus bahasa Lampung pertama (dengan kata lain tertua) untuk ukuran kebahasaan Lampung. Kamus ini selama satu setengah abad tersimpan baik di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan baru pada Februari 2014 lalulah kamus tersebut “dipulangkan.”
Sengapa saja beri tanda petik pada kata dipulangkan. Pasalnya, dipulangkan di sini bukan dalam harfiahnya, melainkan berupa repro-nya saja. Penyerahan repro kamus Vdt sendiri telah dilakukan pada 27 Februari lalu. Dalam acara penyerahan repro kamus tersebut, juga diadakan diskusi kelampungan dengan tema Mengembalikan Harga Diri Orang Lampung. Sayang, saya tidak bisa menghadiri diskusi tersebut karena keterbatasan kuota undangan diskusi.
Namun, sejumlah media cetak lokal yang diundang memberitakan hasil dari diskusi plus penyerahan repro kamus tersebut. Ada empat rekomendasi penting yang dihasilkan dari diskusi: (a) perlu adanya tindak lanjut berupa pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan dan memasyarakatkan bahasa Lampung; (b) perlu dibukanya kembali program studi (prodi) bahasa Lampung atau FIB di Universitas Lampung; (c) mendesak pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mewujudkan budaya Lampung sebagai identitas lokal; (d) perlu penerbitan dan sosialisasi kamus bahasa Lampung karya Vdt dan berbagai manuskrip Lampung kuno yang saat ini tersebar di berbagai tempat (teraslampung.com).
Semenjak keluarnya empat rekomendasi tersebut, wacana mendesak pendirian FIB bergema lagi. Sampai di sini, boleh disebut pengembalian kamus dan hasil diskusi menjadi semacam katalisator yang memicu letupan semangat pendirian FIB di Unila.
Tentu saja ini respons yang sangat positif. Akan tetapi, patut dicatat, wacana mendesak pendirian FIB di Unila telah pernah digemakan jauh sebelum momen pengembalian repro kamus VdT. Kita bisa mengetahui hal ini dari, salah satunya, buku Feodalisme Modern (ditulis Udo Z. Karzi). Ada beberapa subbab dalam buku yang menyinggung-nyinggung wacana pendirian FIB di Unila.
Lalu seorang dosen saya di Prodi Pendidikan Sejarah pernah pula mengajukan gagasan ini. Menurut penuturannya, proposal telah dibuatnya bersama seorang dosen dari prodi kebahasaan dan diajukan kepihak dekanat atau rektorat (saya lupa). Tunggu punya tunggu, tak ada kelanjutannya.
Menyatakan FIB
Sejujurnya, saya sangat menyambut baik bergemanya kembali wacana mendesak pendirian FIB di Unila. Saya kira, tak perlu dipaparkan secara panjang lebar mengenai alasan keperluan ini. Sederhana saja, yakni untuk keberlangsungan peradaban dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Serta satu lagi, yang katakanlah alasan sentimentil diri saya.
Sebagai alumnus Unila dari Prodi Pendidikan Sejarah, saya berharap sekali Unila memiliki prodi yang murni ilmu sejarah. Saya terkenang ketika pada 2002 mengikuti SPMB. Saat itu saya memilih dua prodi yang sama-sama berlatar belakang humaniora, pilihan pertama di Universitas Indonesia dan pilihan kedua di Unila. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan pilihan pertama, sehingga menimba ilmulah saya di prodi pilihan kedua (pendidikan sejarah).
Meski namanya tetap mencantumkan kata sejarah, dalam kurikulumnya terdapat mata kuliah pendidikan (ya, namanya juga Prodi Pendidikan Sejarah), jadi tidaklah murni. Selain itu, menurut penuturan ketua prodinya, komposisi penulisan skripsi jauh lebih banyak yang menjurus ke pendidikan ketimbang ke sejarah.
Alasan lainnya? Tanggapan berbagai pihak yang bagai gayung bersambut. Walaupun demikian, tetap ada rasa skeptis apakah wacana kali ini bisa menjadi sekedar wacana. Kalau dari sisi teknis seperti sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya, menurut saya bisa diusahakan atau diatur. Baru-baru ini saya melakukan perbincangan dengan seorang pensiunan guru besar di UI (beliau berlatar belakang sosiologi). Kebetulan sang guru besar ini kini bekerja di semacam badan yang mengurusi akreditasi PT-PT di Indonesia.
Mengenai pendirian FIB ini, menurutnya, kalau ada perjanjian kerja sama, mungkin bisa resource sharing. Namun, sebaiknya cek dengan Dikti dulu daripada melangkah terlalu jauh tapi salah. Jika Unila serius bikin fakultas baru, bisa penjajakan ke Dikti dan FIB di UI dan UGM. Unila juga harus bikin tim studi kelayakan atau feasibility study.
Bersamaan dengan itu, dia juga mengatakan, “Yang sebenarnya mau bikin fakultas siapa, sih? Yang punya ide harus merintis, menjajaki. Kalau tidak, omong doang. Buang energi saja. Dalam tiap inisiatif selalu harus ada orang yang siap memotori dan menyediakan tenaga dan pikiran penuh waktu untuk mewujudkan ide. Kalau tidak, percuma saja.”
Pernyataan itu menyentak saya. Nah, ini dia! Jika dipikir-pikir, apa yang dinyatakannya itu realistis. Sepengamatan saya, wacana pendirian FIB sudah ada sejak lama. Ide tersebut terus hidup. Hanya saja, faktor siapa atau dalam terminologi yang lebih luas lagi, pihak yang sungguh-sungguh memotori, mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran guna mewujudkan FIB tersebut masih belum ada. Kita masih belum sampai tahap itu sehingga tidaklah mengherankan bila wacana ini masih terus menjadi wacana (saja) hingga detik ini. Mamun alias maju mundur.
Saya pernah membuat sebuah tulisan mengenai pendirian FIB di Unila. Saya kirimkan ke sebuah media cetak lokal yang sayangnya tidak dimuat. Dalam tulisan tersebut, saya memperbandingkan fakultas kedokteran (FK) di Unila dan FIB di Unila. Cukup logis karena pertimbangan (a) di antara sepuluh fakultas yang ada di Unila, FK-lah yang termuda (berdiri tahun 2002) dan (b) FK dan FIB memiliki kegunaan sederajat. FK (ilmunya) berguna untuk menyelamatkan manusia secara harfiah. FIB (ilmunya) berguna untuk menjadikan kita manusia yang bermartabat dan beradab.
Namun, kenapa Unila mau mewujudkan FK, sementara FIB bagai kasih tak sampai? Faktor niat merupakan salah satunya dan terutama karena ada pihak yang mau mencurahkan waktu, tenaga, pikiran tak terkecuali biaya guna merealisasi FK tersebut. Entah siapa pihak-pihak tersebut, saya tidak tahu. Saya hanya mengingat. Kalau tak salah, mantan ketua DPRD di masa reformasi di provinsi kitalah yang awalnya melemparkan gagasan ini ke masyarakat.
Jadi, kembali ke poin seberapa besar peluang berdirinya FIB di Unila? Saya kira masih fifty-fifty. Ramai dibahas, diberitakan, belum tentu juga bisa terwujudkan. Sebaliknya, sepi dibahas, diberitakan, belum tentu pula tidak bisa diwujudkan.
Namun, lebih daripada itu, peluang menjadi sangat besar, malahan realistis FIB terwujudkan andai kata ada pihak yang mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lain guna “menyatakan” FIB dan setelah FIB itu berdiri.
Di media sosial, saya memang telah membaca link mengenai petisi mendesak pendirian FIB di Unila. Itu hal yang positif untuk memulai proses mewujudkan berdirinya FIB. Namun, sekali lagi kita membutuhkan lebih dari sekadar petisi.
Ya itu tadi, mencurahkan loyalitas kita (waktu, tenaga, pikiran bahkan dana) serta jangan lupakan faktor waktu. Sekalipun kita menggebu-gebu, tetap mustahil mewujudkan inisiatif itu dalam sekejap mata. Belajar dari pendirian FK, gagasan itu diwacanakan sekira akhir tahun 1990-an dan baru terealisasi lebih dari sepuluh tahun kemudian.
Akhirnya, tak ada salahnya mempertanyakan dulu kepada diri kita sendiri: maukah, bisakah kita, komitmen dan konsistenkah kita mendedikasikan itu semua (waktu, tenaga, pikiran, dan biaya) demi FIB? Serta jangan melupakan waktu, dan waktu pulalah yang akan memberi jawabnya. n
Karina Lin, Pengamat sosial-budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 5 April 2014
No comments:
Post a Comment