Oleh Arman AZ
BEBERAPA tahun lalu, dalam buku lama terbitan Dinas P & K Provinsi Lampung tahun 80-an, saya memergoki nama Atje Padmawiganda (selain Kamaroeddin dan Mas Arga, nama yang lebih dulu familiar dalam sejarah pers di Lampung) dan perannya dalam penerbitan koran di Lampung. Nama itu mengeram dalam memori saya karena nyaris tidak pernah terdengar.
Hingga akhirnya saya bersua lagi dengan nama Atje, kali ini lengkap dengan arsip koran Medan Ra’jat di Perpustaan Leiden, Belanda. Apa yang selama ini saya ketahui tentang masa-masa awal kehidupan pers di Lampung, ternyata belum lengkap dan berbeda (jika tak mau dibilang keliru atawa tidak tepat).
Koran Medan Ra’jat diterbitkan tahun 1916 oleh Lampongsche Snelpersdrukkerij “Tjia Eng Thiam” yang kantor pusatnya beralamat di Kampong Tjina, Telok Betong. Semboyan koran ini: “Damailah Segala Bangsa Pendoedoek Hindia – Sa’ija Sekata Peangkat Derdjat Bangsa”. Seingat saya, di Padang juga pernah ada koran bernama serupa. Setelah memastikan, ternyata koran Medan Ra’jat di Padang terbit tahun 1930-an.
Membaca berita-berita di Medan Ra’jat yang terbit tiga dekade sebelum kemerdekaan, ternyata sudah ada benih-benih wacana dan semangat kebangsaan di dalamnya. Saya juga memergoki kritik atau protes terhadap sejumlah situasi yang belum ideal di Lampung pada era itu, bagaimana pentingnya pendidikan, juga memuat berita dari belahan dunia lain (terutama Eropa), dan sebagainya.
Seiring waktu, Atje mengundurkan diri dari jabatannya sebagai redaktur. Dia menulis ihwal itu di Medan Ra’jat. Posisi Atje digantikan oleh Na Ban Seng. Uniknya, di koran Medan Ra’jat beberapa edisi berikutnya (status Atje masih di MR), Atje merilis berita bahwa dia akan menerbitkan koran Hindia Moeda, dengan Direktur & Administasi dipegang oleh Kiagoes Anang Somad.
Informasi mengenai pengunduran Atje itu menjadi lebih jelas pada edisi terakhir Medan Ra’jat, 28 April 1917. Halaman depan koran itu memuat berita bahwa mulai tanggal 1 Mei 1917, Medan Ra’jat sudah dioper ke pihak lain. Juga disertai berita bahwa sejak awal Mei itu pula, koran Medan Ra’jat berubah namanya menjadi Hindia Moeda.
Di kolom lain, dipergoki informasi Hindia Moeda beralamat di kantor Sarikat Islam. Artinya, terjadi alih kepemilikan sekaligus perubahan nama koran (dari Medan Ra’jat menjadi Hindia Moeda) dan Atje Padmawiganda tetap menjadi “koki” di dapur kedua koran itu.
Bagaimana dengan koran-koran lain yang pernah terbit di Lampung era Hindia Belanda atau pra-kemerdekaan? Antara tahun 1917 hingga awal 1930, ada kekosongan informasi tentang koran di Lampung kala itu. Baru pada tahun 1930-an ada petunjuk mengenai hal itu. Ada koran Soeara Lampung, koran Fadjar Soematera, dan koran Pengharapan Banten.
Koran Soeara Lampung, diterbitkan oleh Oesaha Lampongs, edisi perdananya 9 April 1932, dengan semboyan “Penoendjang Kemadjoean Indonesia”. Redakturnya bernama Toejoeng. Koran ini terbit setiap Selasa, Kamis, Sabtu. Pada edisi kesepuluh, posisi redaktur berganti. Sudjalma menjadi redaktur, sementara Toejoeng menjadi Administratur.
Koran Fadjar Soematera terbit tahun 1930, pimrednya bernama H. Boerhan Kartadiredja. FS diterbitkan oleh N.V. Handel & Exploitatie Maatschaprij ”Oesaha Lampong”. Koran yang terbit setiap Rabu dan Sabtu ini beralamat kantor di Doerianpajoengweg (mungkin daerah Durenpayung sekarang).
Dalam berita di FS edisi kedua, Maret 1930, ada informasi mengenai beberapa koran yang pernah gelar hingga gulung tikar di Lampung. Ternyata, selain Medan Ra’jat dan Hindia Moeda, pernah terbit koran Perobahan, koran Peroekoenan, dan koran Perasaan. Arsip dan informasi lebih jauh mengenai tiga koran tersebut – setakat ini – nihil. Merujuk berita ini, setidaknya ada lima koran yang terbit di Lampung sebelum kemunculan koran-koran di era 1930-an.
FS edisi 11 (3 Mei 1930) tidak lagi memajang nama Boerhan Kartadiredja sebagai Pimred. Di halaman berikutnya ditemukan pemberitahuan langsung dari Boerhan bahwa sejak edisi itu dia tidak lagi menjabat Pimred. Pada FS edisi 20, terpajang nama redaktur anyar, Mhd Zain Sanibar (kemungkinan mantan redaktur koran Perasaan). Beberapa edisi berikutnya bertambah nama redaktur, Mas Arga. Edisi nomor 52, nama Mhd Zain Sanibar sudah tidak terpajang lagi.
Pada FS edisi 75-76, 20-24 Desember 1930 diumumkan bahwa mulai edisi berikutnya, menjelang awal tahun 1931, nama FS akan diubah menjadi Rakata.
Koran Pengharapan Banten, terbit tahun 1923, berbahasa Belanda, kantor pusatnya di Banten. Meski demikian, koran ini memuat berita-berita dari Lampung. Redaksinya W.B. Klaarwater, R.S Prihatin dan Entik, alamat penerbitnya di Rangkasbetoeng (Rangkasbitung).
Arsip keempat koran ini (Medan Ra’jat, Soeara Lampung, Fadjar Soematra, dan Pengharapan Banten) tersimpan di Perpustakaan Leiden. Seluruhnya dalam bentuk mikrofilm.
Saya pernah mendengar, ada buku sejarah pers Lampung yang diterbitkan organisasi wartawan di Lampung, namun belum pernah membacanya.
Saya pikir, ada baiknya buku sejarah pers Lampung diterbitkan ulang, dengan sejumlah perbaikan berdasarkan informasi di atas. Dan Atje Padmawiganda, Medan Ra’jat, nama-nama koran dan individu yang disebut di atas, harus didudukkan di tempat yang tepat dalam sejarah pers Lampung.
Ketiadaan atau minimnya arsip tentang sejumlah hal di Lampung (termasuk pers) – selain keengganan melacak-menggalinya karena (mungkin) dianggap nirguna dan nirlaba – menyebabkan Lampung ibarat rumah megah tak berpondasi. []
M. Arman AZ, cerpenis dan peneliti. Pada Oktober-November 2018 lalu melakukan studi pustaka di Perpustakan Leiden, Belanda, untuk penelitian tentang kamus Bahasa Lampung karya Van Der Tuuk dan sejarah Lampung.
Sumber: Facebook Arman AZ, 22 Desember 2018
BEBERAPA tahun lalu, dalam buku lama terbitan Dinas P & K Provinsi Lampung tahun 80-an, saya memergoki nama Atje Padmawiganda (selain Kamaroeddin dan Mas Arga, nama yang lebih dulu familiar dalam sejarah pers di Lampung) dan perannya dalam penerbitan koran di Lampung. Nama itu mengeram dalam memori saya karena nyaris tidak pernah terdengar.
Koran Medan Ra'jat, Soeara Lampoeng, Fadjar Soematera, dan Pengharapan Banten koleksi perpustakaan Universitas Leiden (Foto: Arman AZ) |
Hingga akhirnya saya bersua lagi dengan nama Atje, kali ini lengkap dengan arsip koran Medan Ra’jat di Perpustaan Leiden, Belanda. Apa yang selama ini saya ketahui tentang masa-masa awal kehidupan pers di Lampung, ternyata belum lengkap dan berbeda (jika tak mau dibilang keliru atawa tidak tepat).
Koran Medan Ra’jat diterbitkan tahun 1916 oleh Lampongsche Snelpersdrukkerij “Tjia Eng Thiam” yang kantor pusatnya beralamat di Kampong Tjina, Telok Betong. Semboyan koran ini: “Damailah Segala Bangsa Pendoedoek Hindia – Sa’ija Sekata Peangkat Derdjat Bangsa”. Seingat saya, di Padang juga pernah ada koran bernama serupa. Setelah memastikan, ternyata koran Medan Ra’jat di Padang terbit tahun 1930-an.
Membaca berita-berita di Medan Ra’jat yang terbit tiga dekade sebelum kemerdekaan, ternyata sudah ada benih-benih wacana dan semangat kebangsaan di dalamnya. Saya juga memergoki kritik atau protes terhadap sejumlah situasi yang belum ideal di Lampung pada era itu, bagaimana pentingnya pendidikan, juga memuat berita dari belahan dunia lain (terutama Eropa), dan sebagainya.
Seiring waktu, Atje mengundurkan diri dari jabatannya sebagai redaktur. Dia menulis ihwal itu di Medan Ra’jat. Posisi Atje digantikan oleh Na Ban Seng. Uniknya, di koran Medan Ra’jat beberapa edisi berikutnya (status Atje masih di MR), Atje merilis berita bahwa dia akan menerbitkan koran Hindia Moeda, dengan Direktur & Administasi dipegang oleh Kiagoes Anang Somad.
Informasi mengenai pengunduran Atje itu menjadi lebih jelas pada edisi terakhir Medan Ra’jat, 28 April 1917. Halaman depan koran itu memuat berita bahwa mulai tanggal 1 Mei 1917, Medan Ra’jat sudah dioper ke pihak lain. Juga disertai berita bahwa sejak awal Mei itu pula, koran Medan Ra’jat berubah namanya menjadi Hindia Moeda.
Di kolom lain, dipergoki informasi Hindia Moeda beralamat di kantor Sarikat Islam. Artinya, terjadi alih kepemilikan sekaligus perubahan nama koran (dari Medan Ra’jat menjadi Hindia Moeda) dan Atje Padmawiganda tetap menjadi “koki” di dapur kedua koran itu.
Bagaimana dengan koran-koran lain yang pernah terbit di Lampung era Hindia Belanda atau pra-kemerdekaan? Antara tahun 1917 hingga awal 1930, ada kekosongan informasi tentang koran di Lampung kala itu. Baru pada tahun 1930-an ada petunjuk mengenai hal itu. Ada koran Soeara Lampung, koran Fadjar Soematera, dan koran Pengharapan Banten.
Koran Soeara Lampung, diterbitkan oleh Oesaha Lampongs, edisi perdananya 9 April 1932, dengan semboyan “Penoendjang Kemadjoean Indonesia”. Redakturnya bernama Toejoeng. Koran ini terbit setiap Selasa, Kamis, Sabtu. Pada edisi kesepuluh, posisi redaktur berganti. Sudjalma menjadi redaktur, sementara Toejoeng menjadi Administratur.
Koran Fadjar Soematera terbit tahun 1930, pimrednya bernama H. Boerhan Kartadiredja. FS diterbitkan oleh N.V. Handel & Exploitatie Maatschaprij ”Oesaha Lampong”. Koran yang terbit setiap Rabu dan Sabtu ini beralamat kantor di Doerianpajoengweg (mungkin daerah Durenpayung sekarang).
Dalam berita di FS edisi kedua, Maret 1930, ada informasi mengenai beberapa koran yang pernah gelar hingga gulung tikar di Lampung. Ternyata, selain Medan Ra’jat dan Hindia Moeda, pernah terbit koran Perobahan, koran Peroekoenan, dan koran Perasaan. Arsip dan informasi lebih jauh mengenai tiga koran tersebut – setakat ini – nihil. Merujuk berita ini, setidaknya ada lima koran yang terbit di Lampung sebelum kemunculan koran-koran di era 1930-an.
FS edisi 11 (3 Mei 1930) tidak lagi memajang nama Boerhan Kartadiredja sebagai Pimred. Di halaman berikutnya ditemukan pemberitahuan langsung dari Boerhan bahwa sejak edisi itu dia tidak lagi menjabat Pimred. Pada FS edisi 20, terpajang nama redaktur anyar, Mhd Zain Sanibar (kemungkinan mantan redaktur koran Perasaan). Beberapa edisi berikutnya bertambah nama redaktur, Mas Arga. Edisi nomor 52, nama Mhd Zain Sanibar sudah tidak terpajang lagi.
Pada FS edisi 75-76, 20-24 Desember 1930 diumumkan bahwa mulai edisi berikutnya, menjelang awal tahun 1931, nama FS akan diubah menjadi Rakata.
Koran Pengharapan Banten, terbit tahun 1923, berbahasa Belanda, kantor pusatnya di Banten. Meski demikian, koran ini memuat berita-berita dari Lampung. Redaksinya W.B. Klaarwater, R.S Prihatin dan Entik, alamat penerbitnya di Rangkasbetoeng (Rangkasbitung).
Arsip keempat koran ini (Medan Ra’jat, Soeara Lampung, Fadjar Soematra, dan Pengharapan Banten) tersimpan di Perpustakaan Leiden. Seluruhnya dalam bentuk mikrofilm.
Saya pernah mendengar, ada buku sejarah pers Lampung yang diterbitkan organisasi wartawan di Lampung, namun belum pernah membacanya.
Saya pikir, ada baiknya buku sejarah pers Lampung diterbitkan ulang, dengan sejumlah perbaikan berdasarkan informasi di atas. Dan Atje Padmawiganda, Medan Ra’jat, nama-nama koran dan individu yang disebut di atas, harus didudukkan di tempat yang tepat dalam sejarah pers Lampung.
Ketiadaan atau minimnya arsip tentang sejumlah hal di Lampung (termasuk pers) – selain keengganan melacak-menggalinya karena (mungkin) dianggap nirguna dan nirlaba – menyebabkan Lampung ibarat rumah megah tak berpondasi. []
M. Arman AZ, cerpenis dan peneliti. Pada Oktober-November 2018 lalu melakukan studi pustaka di Perpustakan Leiden, Belanda, untuk penelitian tentang kamus Bahasa Lampung karya Van Der Tuuk dan sejarah Lampung.
Sumber: Facebook Arman AZ, 22 Desember 2018
No comments:
Post a Comment