Oleh Meza Swastika
Tak bisa dipungkiri, Gunungsari menjadi denyut nadi utama Bandar Lampung sejak 1950-an. Ia sebagai pusat perekonomian dan daerah transit karena stasiun dan terminal berada di situ.
MANDALAWANGI, bus ukuran tiga perempat itu berhenti di salah satu sudut Pasar Tengah. Serombongan pemuda langsung berlari ke arah penumpang yang turun dari bus engkel itu. Beberapa di antara mereka terlihat menarik barang-barang bawaan milik penumpang.
Calo-calo terminal hilir mudik berbaur dengan pengunjung Pasar Tengah. Sisa hujan yang membekas di jalan-jalan pasar itu membuat semuanya semakin lengkap.
Edi Susilo atau yang dikenal dengan panggilan Edi Bogel mengenang masa remajanya yang besar di pasar dan terminal itu. Ketua RT 07 Kelurahan Gunungsari ini mengaku pernah bersinggungan dengan dunia yang keras itu. "Itu dulu, sekarang sudah insaf," ujarnya.
Edi Susilo menganggap adalah hal yang wajar jika Kelurahan Gunungsari dianggap daerah seram. Itu karena menjadi pusat perdagangan dan pusat transit dua angkutan: stasiun kereta api dan terminal Pasar Tengah. "Memang sudah hukumnya, kayaknya, di mana ada pasar atau terminal, pasti hal-hal seperti itu ada," kata Edi.
Suasana Gunungsari dulu dan kini nyaris tak berubah. Pasar Tengah yang telah disulap menjadi pasar modern, termasuk mal Ramayana.
Terminal angkutan kota pun masih ada di pasar itu. "Cuma pasarnya aja yang berubah. Di lantai bawah Ramayana, sekarang sepi tidak seperti dulu, Pasar Bambu Kuning aja kalah ramainya.”
Namun, daerah ini kini memang sudah jauh lebih ramah terhadap siapa pun. Kesan seram secara perlahan sudah menghilang, tenggelam dengan hiruk pikuk keramaian pasar dan stasiun.
Meski demikian, nama Gunungsari masih dianggap sebagai daerah yang amat disegani. "Alhamdulillah preman-premannya sudah pada insaf," kata Ramelan (75), salah seorang tokoh masyarakat di Gunungsari.
Ramelan menyebut wilayah Gunungsari memiliki beberapa bangunan bersejarah, seperti Gereja Kathedral dan Masjid Taqwa. Selain itu, di sini juga berdiri Balai Pertemuan Rakyat yang kini difungsikan menjadi Gedung Joang, sebagai simbol perlawanan rakyat ketika itu terhadap penjajah.
"Sekarang sudah banyak yang berubah. Tetapi beberapa bangunan, seperti gereja, masih ada yang tetap tak berubah. Kalau Masjid Taqwa sudah banyak direnovasi bentuknya, tidak seperti dulu lagi,” kata dia.
Masjid Taqwa bahkan tak hanya sekadar menjadi tempat ibadah semata, tetapi juga menjadi tempat singgah sekaligus tempat beristirahat bagi penumpang kereta api maupun terminal. "Sembari menunggu kereta atau kalau sampai di Tanjungkarang malam hari, masjid ini jadi tempat persinggahan.”
Ramelan yang ketika itu berprofesi sebagai kuli pasar menyebut meski sebagai pusat perdagangan, jumlah pedagang tak sebanyak seperti sekarang ini. Selain itu, bentuk bangunannya masih amat sederhana. Hanya terdiri dari bangunan papan-papan sederhana yang dicat berwarna seragam.
"Jalan pasar cuma lorong-lorong kecil yang cuma muat dua orang. Kalau hujan jalanannya menjadi becek bercampur dengan sampah dari terminal, stasiun, waktu itu kesannya memang agak kumuh,” ujarnya.
Ramelan tak tahu kapan pastinya, Gunungsari ditempati. Hanya saja ketika pertama kali ia berada di Gunungsari, suasananya memang sudah ramai. "Dulu kepala suku pertama namanya Pak Kemis. Dia yang pertama membuka Gunungsari, semua hormat kepadanya, ada masalah apa-apa mengadunya kepada dia.” (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014
Tak bisa dipungkiri, Gunungsari menjadi denyut nadi utama Bandar Lampung sejak 1950-an. Ia sebagai pusat perekonomian dan daerah transit karena stasiun dan terminal berada di situ.
Permukiman Kelurahan Gunungsari |
Calo-calo terminal hilir mudik berbaur dengan pengunjung Pasar Tengah. Sisa hujan yang membekas di jalan-jalan pasar itu membuat semuanya semakin lengkap.
Edi Susilo atau yang dikenal dengan panggilan Edi Bogel mengenang masa remajanya yang besar di pasar dan terminal itu. Ketua RT 07 Kelurahan Gunungsari ini mengaku pernah bersinggungan dengan dunia yang keras itu. "Itu dulu, sekarang sudah insaf," ujarnya.
Edi Susilo menganggap adalah hal yang wajar jika Kelurahan Gunungsari dianggap daerah seram. Itu karena menjadi pusat perdagangan dan pusat transit dua angkutan: stasiun kereta api dan terminal Pasar Tengah. "Memang sudah hukumnya, kayaknya, di mana ada pasar atau terminal, pasti hal-hal seperti itu ada," kata Edi.
Suasana Gunungsari dulu dan kini nyaris tak berubah. Pasar Tengah yang telah disulap menjadi pasar modern, termasuk mal Ramayana.
Terminal angkutan kota pun masih ada di pasar itu. "Cuma pasarnya aja yang berubah. Di lantai bawah Ramayana, sekarang sepi tidak seperti dulu, Pasar Bambu Kuning aja kalah ramainya.”
Namun, daerah ini kini memang sudah jauh lebih ramah terhadap siapa pun. Kesan seram secara perlahan sudah menghilang, tenggelam dengan hiruk pikuk keramaian pasar dan stasiun.
Meski demikian, nama Gunungsari masih dianggap sebagai daerah yang amat disegani. "Alhamdulillah preman-premannya sudah pada insaf," kata Ramelan (75), salah seorang tokoh masyarakat di Gunungsari.
Ramelan menyebut wilayah Gunungsari memiliki beberapa bangunan bersejarah, seperti Gereja Kathedral dan Masjid Taqwa. Selain itu, di sini juga berdiri Balai Pertemuan Rakyat yang kini difungsikan menjadi Gedung Joang, sebagai simbol perlawanan rakyat ketika itu terhadap penjajah.
"Sekarang sudah banyak yang berubah. Tetapi beberapa bangunan, seperti gereja, masih ada yang tetap tak berubah. Kalau Masjid Taqwa sudah banyak direnovasi bentuknya, tidak seperti dulu lagi,” kata dia.
Masjid Taqwa bahkan tak hanya sekadar menjadi tempat ibadah semata, tetapi juga menjadi tempat singgah sekaligus tempat beristirahat bagi penumpang kereta api maupun terminal. "Sembari menunggu kereta atau kalau sampai di Tanjungkarang malam hari, masjid ini jadi tempat persinggahan.”
Ramelan yang ketika itu berprofesi sebagai kuli pasar menyebut meski sebagai pusat perdagangan, jumlah pedagang tak sebanyak seperti sekarang ini. Selain itu, bentuk bangunannya masih amat sederhana. Hanya terdiri dari bangunan papan-papan sederhana yang dicat berwarna seragam.
"Jalan pasar cuma lorong-lorong kecil yang cuma muat dua orang. Kalau hujan jalanannya menjadi becek bercampur dengan sampah dari terminal, stasiun, waktu itu kesannya memang agak kumuh,” ujarnya.
Ramelan tak tahu kapan pastinya, Gunungsari ditempati. Hanya saja ketika pertama kali ia berada di Gunungsari, suasananya memang sudah ramai. "Dulu kepala suku pertama namanya Pak Kemis. Dia yang pertama membuka Gunungsari, semua hormat kepadanya, ada masalah apa-apa mengadunya kepada dia.” (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014
No comments:
Post a Comment