Oleh Rahmad Desmi Fajar
MEMBACA Negarabatin: Negeri di Balik Bukit karya Udo Z. Karzi (Pustaka Jaya, 2022) ini menyenangkan. Sebagai penikmat (salah-satunya) genre kenangan masa kecil, memoar dan autobiografi, ada nilaiplus yg mudah dilihat dari karya-karya yang ditulis dengan baik seperti ini. Penuh detil, termasuk kesetiaan menggunakan istilah dan kebiasaan lokal.
Gaya penulisan yang mampu menyampaikan ambience khas daerah tersebut pada masanya. Plot yang menarik, termasuk ketika menggambarkan proses menuju dan di sekitar kaburnya Uyung dari kampung.
Buat saya dengan masa kecil di daerah-daerah lain di
Lampung yang lebih majemuk (Ruwa Jurai beneran), apalagi bagi mereka
yang dibesarkan di luar Lampung, buku ini adalah jendela ke dunia pengalaman
yang berbeda, unik, dan penuh cerita.
Sejak lama, bagi saya pembanding utama karya
kenangan masa kecil adalah Semasa Kecil di Kampung (1974) dari Muhamad
Radjab dan tetralogi "Cerita Kenangan" yaitu Sebuah Lorong di
Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit
dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1988) dari NH Dini.
Karya Radjab menjadi menarik karena dia mampu
memasukkan dinamika sosial yang ada di masyarakat pedesaan Minang tahun 1920-an
ketika menggambarkan proses tumbuh-kembangnya sebagai pribadi. Pembaca mendapat
gambaran dari tangan pertama bagaimana praktek sehari-hari adat matrilineal
berjalan saat itu. Atau penggambarannya tentang bagaimana para tetua adat dan tokoh
agama mengeksploitasi posisi istimewa mereka.
Di sisi lain, membaca tetralogi Nh Dini seolah
membaca buku harian yang lancar menceritakan respons pribadinya terhadap
lingkungan sekitar dan peristiwa-peristiwa yang dialami di Semarang akhir
1930-an sampai era Jepang. Detail dan nuansa yang dihadirkannya dalam tetralogi
ini sedemikian rupa sehingga seseorang pernah mengaku kesukaannya pada sayur
bobor bayam justru muncul pertama kali ketika membaca salah-satu buku di
tetralogi ini.
Buku Negarabatin ini condong ke tipe
tetralogi Nh Dini, karena banyak menggambarkan peristiwa-peristiwa di kehidupan
Uyung. Cukup dengan 168 halaman kita dengan sukses diajak tamasya ke kehidupan
masyarakat Lampung Liwa di era 1970-an.
Akan sangat menarik jika Udo Z. Karzi melanjutkan
karyanya ini dengan cerita-cerita lain yang diangkat dari khazanah pengalaman
seorang Lampung. Masih banyak ruang kosong yang dapat diisi untuk hal ini,
karena sependek pengetahuan saya baru ada 1-2 karya yang bermain di tema ini.
Dulu ada Andy Wasis yang menulis Songket Kenangan (1982), Ketika
Panen Kopi Tiba (1994), Bunga di Balik Bukit (2009, yang
diterjemahkan Udo Z Karzi ke bahasa Lampung, Usim Kembang di Balik Bukik,
2017), berapa judul lain.
Akan menarik jika ada penulis yang bisa
mengeksplorasi pengalaman orang Lampung ketika menghadapi, misalnya, maraknya
kedatangan transmigrasi resmi di era 1950-1970. Atau bagaimana praktek-praktek
adat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Fakta dan data yang bisa jadi kering dan membosankan
ketika ditampilkan di karya akademis pasti bisa dirajut dan memberikan kesan
yang berbeda ketika ditampilkan sebagai sebuah karya fiksi.
Pada saat yang berbarengan, saya sedang berusaha
menyelesaikan baca Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Ini sebuah
memoar yang menakjubkan. Lagi-lagi pembaca dibawa ke suasana Banten akhir abad
ke-19, bagaimana seorang keturunan bangsawan dibesarkan, belajar ilmu dunia dan
agama, tahap-tahap awal dididik menjadi ambtenaar dan meniti karir dari leval
bawah.
Setengah perjalanan membaca, kesan terpenting yang
saya dapat adalah betapa pengalaman menghadapi berbagai keluhan masyarakat di
level paling bawah itu menjadi unsur paling utama yang menunjang keberhasilan
karier Achmad Djajadiningrat sebagai Bupati, yang merupakan level penguasa
daerah tertinggi di era itu (diluar Jogja-Solo). []
--------------
Rahmad Desmi Fajar, pembaca buku
Sumber: LaBRAK.CO, Jumat, 26 Agustus 2022
No comments:
Post a Comment