Oleh Eko Sugiarto
Judul buku: Negarabatin, Negeri di Balik Bukit
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Dunia Pustaka Jaya
Cetakan: Pertama, 2022
ISBN: 978-623-221-834-5
ENTAH senang,
entah susah, cerita tentang masa kecil selalu menarik. Peristiwa sehari-hari
yang dijalin dalam cerita model ini terasa apa adanya. Inilah yang dilakukan
Udo Z Karzi.
Cerita dalam
novel ini memang rekaan. Namun, beberapa bagian adalah fakta dari kisah nyata.
Latar cerita di Negarabatin (Liwa, Lampung Barat) pada tahun 1970-1986 adalah
sebagian dari fakta itu.
Salah satu kekuatan novel ini adalah pelukisan suasana cerita. Warna lokal sangat kental. Ingatan pembaca akan dibawa terbang ke sebuah tempat yang asing bagi generasi kekinian, tetapi sangat akrab bagi generasi 70 hingga 80-an. Terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.
Saat ibu tokoh
utama akan melahirkan, misalnya. Gambaran suasana tengah malam begitu mencekam.
Rumah panggung yang hampir roboh, hujan lebat, dan deru angin yang menghantam
dinding bambu yang mulai rapuh, atap seng yang berlubang di beberapa bagian,
ditambah penerangan yang hanya mengandalkan lampu minyak tanah karena listrik
belum masuk (hlm 13) semakin memperkuat suasana mencekam yang coba digambarkan
oleh pengarang.
Pemanfaatan
kosakata dari bahasa daerah yang menghiasi banyak halaman juga cukup menarik.
Bukan hanya memperkuat warna lokal ke-Lampung-an novel in, kosakata dari bahasa
Lampung ini tampaknya juga digunakan dengan alasan yang memang perlu.
Bagian yang
berjudul 'Sapsada Berbunyi Sore' adalah salah satu contohnya. Di bagian ini ada
catatan kaki untuk 'sapsada', yaitu 'nama burung, saya tidak tahu nama
Indonesianya'. Tampaknya si pengarang novel ini memang kesulitan menyebut nama
burung tersebut dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi jenis burung yang dimaksud
adalah satwa endemik yang hanya ada di Lampung Barat sehingga sulit ditemukan
padanannya dalam bahasa Indonesia.
Terdapat 224
catatan kaki dalam novel ini. Jumlah ini bahkan melebihi tebal novel yang hanya
168 halaman. Jika dirata-rata, setiap halaman novel ini mengandung catatan
kaki. Bahkan, lebih dari satu. Bagi pembaca yang tidak paham bahasa Lampung,
catatan kaki ini memang perlu. Bagi pembaca yang mengerti bahasa Lampung,
mungkin ini terasa sedikit mengganggu. []
------------
Eko Sugiarto, dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.
Sumber: Kedaulatan
Rakyat, Selasa Pon, 8 November 2022
No comments:
Post a Comment