Bandar Lampung, Kompas - Departemen Kehutanan memastikan, sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang potensial, sampai sekarang belum ada pengaturan tata niaga perdagangan damar mata kucing (Shorea javanica). Hal itu mengakibatkan petani damar lebih sering menjadi permainan pedagang pengepul hingga eksportir dan tidak pernah merasakan harga bagus.
Kepala Pusat Penerangan Informasi Kehutanan Departemen Kehutanan Masyhud pada acara pertemuan multipihak bertema ”Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Damar Mata Kucing” di Bandar Lampung, Selasa (9/6), mengatakan, damar mata kucing merupakan salah satu HHBK yang potensial sebagai komoditas ekspor. Akan tetapi, damar mata kucing sebagai HHBK unggulan Lampung Barat belum pernah dikelola secara optimal.
Sebagai gambaran, pada 2007 ekspor damar mata kucing asal Krui, Lampung Barat, mencapai 6.550 ton. Pada 2008 volume ekspor turun menjadi 6.350 ton. Getah damar mata kucing tersebut lebih banyak dipasarkan ke India, Taiwan, dan Singapura.
”Penurunan volume ekspor tersebut terjadi sebagai dampak keterbatasan petani damar dan tidak adanya pengaturan tata niaga,” ujar Masyhud.
Dari sisi petani, belum adanya pembinaan, bimbingan, dan penyuluhan kepada petani damar terkait budidaya serta adanya kecenderungan pemilik pohon damar untuk menebang pohon damar meskipun masih produktif karena adanya kebutuhan ekonomi menyebabkan produksi getah damar masih fluktuatif.
Selain itu, di Lampung belum ada industri pengolahan damar yang dapat menampung produksi getah damar dengan volume besar dan berkesinambungan.
Dikuasai pengusaha
Dari sisi pedagang, tata niaga damar masih dikuasai oleh beberapa pengusaha sehingga harga penjualan di tingkat produsen atau petani belum kompetitif.
Masyhud mengatakan, dari kendala-kendala tersebut, ia menyimpulkan, sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang, ada mekanisme yang belum dihubungkan satu sama lain yang menjadikan damar mata kucing kurang tergarap, yaitu mulai dari masyarakat penghasil damar mata kucing, teknologi, hingga pemasaran, termasuk di dalamnya informasi harga dan kualitas damar.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi Fauzi Mazud mengatakan, dengan kendala-kendala itu, petani lebih mudah dipermainkan pedagang pengepul hingga eksportir.
Harga damar kualitas asalan saat ini di tingkat petani dihargai Rp 9.000 per kilogram, sementara kualitas super Rp 16.000 per kilogram. Namun, harga tersebut bisa saja merupakan harga yang sudah dikurangi karena harga sesungguhnya bisa jauh lebih besar daripada harga tersebut. Petani akhirnya tidak merasakan harga bagus.
Fauzi mengatakan, dengan adanya pemetaan kendala-kendala pengembangan damar tersebut, satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan menyusun standar nasional produk damar atau SNI.
Standar tersebut akan membantu petani mengemas damar yang diproduksi sesuai kualitas sehingga mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Akan tetapi, selain SNI, pemerintah juga perlu membentuk forum kerja sama pengelolaan damar antara petani, pedagang, dan pemerintah yang bersama-sama mengatur tata niaga perdagangan damar.
”Tujuannya supaya petani bisa berbudidaya secara optimal dengan hasil maksimal, pedagang tidak seenaknya mempermainkan petani, sementara pemerintah bisa melindungi petani damar,” ujarnya.
Jadi, hakikatnya, pemerintah tetap akan melindungi petani dari ketidakberdayaan terhadap pasar. Selain itu, akan membina para petani untuk meningkatkan kualitas produksinya agar bisa mencapai standar yang dibutuhkan untuk harga tertinggi. (hln)
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Juni 2009
No comments:
Post a Comment