Oleh Alamsyah
VISIT Lampung Year adalah salah satu program unggulan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mengembangkan sektor pariwisata yang cenderung mati suri. Tapi, program ini terkesan elitis. Hasil polling Lampung Post menunjukkan tak ada perbedaan signifikan antara mereka yang mengetahui (57 persen) dan tidak mengetahui (43 persen) keberadaan program ini (Lampung Post, 19 Januari 2009).
Program ini menargetkan dua juta wisatawan akan berkunjung ke Provinsi Lampung. Target yang bombastis dan terkesan utopis. Faktanya, per Januari 2009, jumlah tamu domestik dan asing yang menginap di hotel hanya 6.149 orang (258 tamu asing dan 5.891 tamu domestik) atau 0,30 persen dari dua juta wisatawan. Mereka menginap juga tak terlalu lama. Tamu domestik tidak pernah dari dua hari, sedangkan tamu asing tak lebih dari tiga hari (Lampung Post, 12 Maret 2009).
Indikator durasi menginap ini bisa diinterpretasikan macam-macam. Pertama, ia menunjukkan bahwa mereka yang menginap di hotel tidak betah tinggal di Provinsi Lampung. Mengapa mereka tidak betah? Jawabnya, tak ada yang eksotis untuk dilihat meskipun budaya dan alam Provinsi Lampung sesungguhnya sangat eksotis.
Kedua, mereka yang menginap di hotel bukanlah wisatawan, tetapi hanya sekelompok orang yang transit di Provinsi Lampung karena ada urusan lain yang tak ada sangkut pautnya dengan aktivitas berwisata ria. Artinya, Provinsi Lampung belum dimaknai sebagai tempat kunjungan wisata.
Apabila kedua interpretasi ini bisa diterima, kita sampai persoalan bagaimana mengemas budaya dan alam Provinsi Lampung sebagai tempat kunjungan wisata. Saya kira, upaya awal yang bisa dilakukan adalah mempertegas sudut pandang dalam memahami sektor pariwisata dan meredefenisi peran pemerintah dalam sektor ini.
Esensi Pariwisata
Industri pariwisata muncul karena setiap orang membutuhkan waktu khusus untuk memanfaatkan waktu luang mereka. Pariwisata identik dengan berlibur baik secara perorangan maupun berkelompok. Tujuannya adalah rileks, melepas lelah, dan mencari kesenangan.
Keindahan panorama alam, keunikan budaya manusia, dan situs-situs bersejarah merupakan tiga faktor utama sebuah lokasi untuk dijadikan tempat wisata yang dikunjungi orang. Faktor lain, misalnya karena alasan pendidikan sebagaimana dikembangkan Aa' Gym dengan wisata ruhani ke Daarut Tauhid atau study tour siswa pelajar/mahasiswa ke Pulau Jawa dan Pulau Bali. Atau, karena alasan life style sebagaimana dikembangkan Malaysia dengan slogan Truly Asia yang dicitrakan sebagai surga belanja.
Saya sendiri lebih suka mendefenisikan pariwisata sebagai serangkaian kegiatan untuk membuat para pelancong betah menetap (bisa di hotel, di rumah saudara, atau di rumah teman) di Provinsi Lampung untuk menghabiskan waktu liburan mereka dengan melakukan perjalanan lokal dan mengeluarkan uang untuk keperluan konsumtif.
Dengan defenisi ini, kesuksesan industri pariwisata tidak hanya diukur dari tingkat hunian kamar hotel tetapi juga dari jumlah orang yang mengunjungi tempat-tempat wisata, pergerakan ekonomi lokal (misalnya, jumlah uang beredar, inflasi, pertumbuhan ekonomi), dan tingkat keuntungan pelaksanaan event-event wisata.
Jadi, pariwisata itu bukan hanya soal mengunjungi (visiting), tetapi soal menetap (staying), melakukan perjalanan (traveling), dan membeli (buying) barang dan jasa. Sudahkah kita mempersiapkan lokasi dan rute kunjungan wisata yang membuat para pelancong akan selalu berkunjung? Sudahkah kita mempersiapkan agar para pelancong betah menetap? Sudahkah kita mempersiapkan barang dan jasa yang akan dibeli para pelancong?
Redefenisi Peran Pemerintah
Dalam program Visit Lampung Year 2009, tampak kesan mendalam yang memosisikan institusi pemerintah sebagai pelaku utama industri pariwisata. Oleh sebab itu, isu utama yang mencuat adalah keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk sektor pariwisata dan budaya. Fakta mengatakan bahwa anggaran untuk sektor ini memang relatif kecil. Menurut data X, pada tahun anggaran 2007 dan 2008 mayoritas kabupaten/kota di Provinsi Lampung hanya mengalokasikan dana dalam hitungan desimal dari total APBD mereka untuk sektor ini. Sebagai contoh adalah dana APBD Provinsi Lampung.
Saya sepakat dengan opini publik yang terbentuk selama pelaksanaan program Visit Lampung Year 2009 yang mengatakan bahwa kesuksesan program ini tidak tergantung dengan dana. Saya juga sepakat bahwa dana untuk sektor pariwisata dan budaya perlu ditingkatkan. Tetapi, masalah utamanya bukan terletak pada besar kecilnya dana, tetapi bagaimana mengelola dana yang ada untuk menstimulasi industri pariwisata lokal.
Sektor pariwisata sesungguhnya memiliki karakter untuk dikelola dengan prinsip-prinsip pasar (ada permintaan, ada penawaran). Dalam konteks ini, pemerintah hanya sebagai regulator. Dalam konteks implementasi fungsi ini, yang paling penting, saya kira, adalah bagaimana mengatur dan mengintegrasikan program-program yang dimiliki setiap dinas yang terkait dengan sektor pariwisata dan budaya, membuat dokumen road map pengembangan sektor pariwisata Provinsi Lampung dalam jangka panjang, dan mendorong masuknya investor swasta ke sektor ini, mengawal agar road map tersebut tidak gonta-ganti seiring dengan gonta-gantinya kepala daerah akibat fluktuasi dinamika politik lokal. Kepastian kebijakan merupakan prasyarat utama datangnya investor dalam pengembangan sektor pariwisata di Provinsi Lampung.
Pemerintah bisa saja menjadi pelaku dalam sektor ini, misalnya mendirikan hotel dan mengelola objek wisata, tetapi kegiatan ini tidak dilakukan melalui dinas yang menangani sektor pariwisata dan budaya, tetapi melalui badan usaha milik daerah agar prinsip-prinsip manajemen bisnis swasta yang profit-oriented bisa diaplikasikan.
Rekomendasi
Saya kira, target Visit Lampung Year 2009 untuk mendatangkan wisatawan sebanyak dua juta orang terlalu berlebihan. Apalagi hal ini dikumandangkan di tengah situasi keterbatasan anggaran, cairnya aktor-aktor yang terlibat dalam sektor ini, minimnya partisipasi masyarakat, dan infrastruktur yang belum siap. Oleh sebab itu, penulis menyarankan sebaiknya program ini direvisi daripada menghambur-hamburkan dana APBD. Revisi difokuskan kepada pembenahan infrastruktur struktur fisik (renovasi objek wisata, perbaikan akses transportasi dan fasilitas umum di lokasi wisata), manajemen pengelolaan potensi wisata melalui kelembagaan BUMD atau pelibatan pihak swasta seluas-luasnya, dan persiapan sosial pada level komunitas yang berdekatan dengan objek wisata. Dalam proses ini, mereka yang terlibat dalam industri pariwisata Lampung dapat memfokuskan diri kepada wisatawan domestik yang potensial tetapi belum digarap optimal.
Terakhir, meskipun sering diremehkan banyak orang, saya kira sangat penting untuk membangun visi industri pariwisata di Provinsi Lampung. Visi ini yang akan menentukan apakah industri pariwisata di Provinsi Lampung akan bertumpu pada potensi panorama alam, sektor budaya, tempat bersejarah, dan sebagainya. Beberapa contoh visi yang cerdas, misalnya, never ending Asia (Yogyakarta), truly Asia (Malaysia).
* Alamsyah, Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009
No comments:
Post a Comment