Oleh Asarpin*
IMELDA, peneliti di LIPI yang kebetulan berasal dari Lampung, merasa prihatin dengan debat soal bahasa Lampung selama ini. Dalam tulisan Standardisasi Bahasa Lampung, Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi (Lampung Post, 24 Mei 2009) Imelda merespons Seminar Standardisasi Bahasa Lampung yang diselenggarakan Unila beberapa waktu lalu yang dianggap tak memuaskan. Debat tentang keinginan melakukan standardisasi bahasa Lampung itu terasa ada yang tak rasional. Dalam pengamatan Imelda dari jauh, ada sebagian orang Lampung mementingkan subetnis dan ego. Bahkan, Imelda mencatat egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.
Kalau saja tudingan Imelda itu benar, kita memang layak prihatin. Tapi bukan itu yang ingin saya sorot di sini karena ada beberapa tema yang diangkat Imelda cukup menarik didiskusikan.
Pertama, Imelda meletakkan masyarakat Lampung sebagai titik-tolak membuat standardisasi bahasa Lampung, terutama generasi muda. Apa pun dialek yang akan disepakati, tak jadi soal asalkan menjawab kebutuhan masyarakat Lampung. Tapi jika tidak, untuk apa semua itu dikerjakan? Hanya untuk menghambur-hamburkan biaya yang besar?
Kedua, membuat bahasa Lampung yang standar tak begitu bermanfaat ketika masyarakat Lampung sendiri tidak menerima dialek yang dikembangkan. "Jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada."
Apa yang jadi kegelisahan Imelda sebenarnya sudah berkali-kali disorot Udo Z. Karzi, terutama tentang persoalan tata penulisan bahasa Lampung yang mesti kita sepakati bersama. Namun, kelebihan Udo Z. Karzi adalah karena itu telah maju selangkah mengenai soal ini.
Sementara itu, kita masih berkutat soal pertanyaan seperti apa dialek yang mau digunakan, bahasa yang bagaimana yang mau distandarkan, dsb.
Tetapi langkah Udo Z. Karzi bukan tanpa keberatan. Ketika saya menggunakan dialek yang tak sesuai dengan dialek yang digunakan masyarakat, respons masyarakat Lampung negatif. Saya dituduh merusak dialek, bahkan dianggap "Lampung cadang": Sebuah cap yang tak sedap didengar.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar di Unila itu, kata Imelda, berakar pada ketidaktahuan akan aksi yang seharusnya diambil ketika identitas kelampungan ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.
Sampai sekarang saya belum tahu akan ke mana arah penulisan bahasa Lampung yang baku di kemudian hari. Haruskah kita ramai-ramai ikut tata penulisan "Lampung cadang" dengan mengganti kh/gh dengan r atau menetapkan dialek A sebagai bahasa standar? Langkah ini tentu tak mudah dan sudah bisa dipastikan banyak yang keberatan.
Jika model penulisan kata digunakan Udo Z. Karzi yang semestinya kita jadikan tata penulisan kosakata Lampung selanjutnya, apalagi distandardisasi, seperti harapan sejumlah orang agar buku Mak Dawah Mak Dibingi dijadikan buku pelajaran sekolah di Lampung, banyak hal yang mesti diperdebatkan secara kritis.
Jika sistem dialek dan tata penulisan bahasa Lampung cuma ikut-ikutan saja, lalu diterapkan di sekolah-sekolah, sama sekali tidak mendidik siswa-siswa untuk fasih bertutur Lampung, tapi malah akan jadi tertawaan teman-temannya yang suku Lampung karena bahasa khacukan yang bukan slank atau mbeling yang dipakai, tapi bahasa "Lampung cadang".
Kalau saya ditanya khadu pikha bingi dija (sudah berapa hari di sini) dan saya menjawab radu telu bingi, jelas bakal dicemooh karena khadu terdengar radu: radu pira minok pekonni ulun bang cak radu kaluk cawa Lampung rano. Bila ada yang menuturkan kata gunjukh menjadi gonjor dan kata puakhi jadi puari, hal ini menunjukkan tata penutur dan penulisan bahasa Lampung sedang guncang.
Antara penulisan kata dan penuturan memang tidak harus sama, seperti kata Anshori dan Karzi. Bisa saja sebuah kata ditulis rabu untuk kata khabu (perut), tapi apa ini tidak keruh? Dalam penggunaan bahasa Indonesia sendiri, Harimurti Kridalaksana dan beberapa ahli bahasa Indonesia justru mulai menganjurkan agar kita menggunakan bahasa lisan sesuai dengan bahasa yang dituliskan.
Misalnya sebuah kata ditulis pasca, maka diucapkan juga pasca, bila ditulis permukiman, dibaca juga permukiman, dst. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa tata nilai bahasa penutur sedang guncang akibat penuturnya telah kehilangan kemampuan menentukan mana yang betul mana yang salah dalam berbahasa.
Eko Endarmoko mungkin akan menyebut gejala itu sebagai bahasa yang sedang sakit parah yang diakibatkan teknologi komunikasi, pergaulan antarbangsa dan suku-suku lain. Nah, kalau kata rabu atau ram yang dipakai dalam penulisan untuk mengganti kata khabu dan kham (kita) sekaligus sama ketika dilafalkan dalam keseharian, betapa tidak akan guncang, bingung, sengkarut, dan ragu-ragu para penutur bahasa Lampung kita?
Apa yang dikerjakan Udo Z. Karzi selama ini sudah semestinya bisa jadi bahan pertimbangan, kalau keinginan membuat standaridsasi bahasa Lampung memang urgen dan mendesak. Tapi saya curiga: Keinginan membuat standardisasi bahasa Lampung itu muncul dari minoritas elite yang keranjingan menampilkan warna lokal daerahnya. Masyarakat Lampung sendiri tampaknya tak terlalu tergiur membuat standardisasi bahasa segala. n
* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Juni 2009
IMELDA, peneliti di LIPI yang kebetulan berasal dari Lampung, merasa prihatin dengan debat soal bahasa Lampung selama ini. Dalam tulisan Standardisasi Bahasa Lampung, Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi (Lampung Post, 24 Mei 2009) Imelda merespons Seminar Standardisasi Bahasa Lampung yang diselenggarakan Unila beberapa waktu lalu yang dianggap tak memuaskan. Debat tentang keinginan melakukan standardisasi bahasa Lampung itu terasa ada yang tak rasional. Dalam pengamatan Imelda dari jauh, ada sebagian orang Lampung mementingkan subetnis dan ego. Bahkan, Imelda mencatat egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.
Kalau saja tudingan Imelda itu benar, kita memang layak prihatin. Tapi bukan itu yang ingin saya sorot di sini karena ada beberapa tema yang diangkat Imelda cukup menarik didiskusikan.
Pertama, Imelda meletakkan masyarakat Lampung sebagai titik-tolak membuat standardisasi bahasa Lampung, terutama generasi muda. Apa pun dialek yang akan disepakati, tak jadi soal asalkan menjawab kebutuhan masyarakat Lampung. Tapi jika tidak, untuk apa semua itu dikerjakan? Hanya untuk menghambur-hamburkan biaya yang besar?
Kedua, membuat bahasa Lampung yang standar tak begitu bermanfaat ketika masyarakat Lampung sendiri tidak menerima dialek yang dikembangkan. "Jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada."
Apa yang jadi kegelisahan Imelda sebenarnya sudah berkali-kali disorot Udo Z. Karzi, terutama tentang persoalan tata penulisan bahasa Lampung yang mesti kita sepakati bersama. Namun, kelebihan Udo Z. Karzi adalah karena itu telah maju selangkah mengenai soal ini.
Sementara itu, kita masih berkutat soal pertanyaan seperti apa dialek yang mau digunakan, bahasa yang bagaimana yang mau distandarkan, dsb.
Tetapi langkah Udo Z. Karzi bukan tanpa keberatan. Ketika saya menggunakan dialek yang tak sesuai dengan dialek yang digunakan masyarakat, respons masyarakat Lampung negatif. Saya dituduh merusak dialek, bahkan dianggap "Lampung cadang": Sebuah cap yang tak sedap didengar.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar di Unila itu, kata Imelda, berakar pada ketidaktahuan akan aksi yang seharusnya diambil ketika identitas kelampungan ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.
Sampai sekarang saya belum tahu akan ke mana arah penulisan bahasa Lampung yang baku di kemudian hari. Haruskah kita ramai-ramai ikut tata penulisan "Lampung cadang" dengan mengganti kh/gh dengan r atau menetapkan dialek A sebagai bahasa standar? Langkah ini tentu tak mudah dan sudah bisa dipastikan banyak yang keberatan.
Jika model penulisan kata digunakan Udo Z. Karzi yang semestinya kita jadikan tata penulisan kosakata Lampung selanjutnya, apalagi distandardisasi, seperti harapan sejumlah orang agar buku Mak Dawah Mak Dibingi dijadikan buku pelajaran sekolah di Lampung, banyak hal yang mesti diperdebatkan secara kritis.
Jika sistem dialek dan tata penulisan bahasa Lampung cuma ikut-ikutan saja, lalu diterapkan di sekolah-sekolah, sama sekali tidak mendidik siswa-siswa untuk fasih bertutur Lampung, tapi malah akan jadi tertawaan teman-temannya yang suku Lampung karena bahasa khacukan yang bukan slank atau mbeling yang dipakai, tapi bahasa "Lampung cadang".
Kalau saya ditanya khadu pikha bingi dija (sudah berapa hari di sini) dan saya menjawab radu telu bingi, jelas bakal dicemooh karena khadu terdengar radu: radu pira minok pekonni ulun bang cak radu kaluk cawa Lampung rano. Bila ada yang menuturkan kata gunjukh menjadi gonjor dan kata puakhi jadi puari, hal ini menunjukkan tata penutur dan penulisan bahasa Lampung sedang guncang.
Antara penulisan kata dan penuturan memang tidak harus sama, seperti kata Anshori dan Karzi. Bisa saja sebuah kata ditulis rabu untuk kata khabu (perut), tapi apa ini tidak keruh? Dalam penggunaan bahasa Indonesia sendiri, Harimurti Kridalaksana dan beberapa ahli bahasa Indonesia justru mulai menganjurkan agar kita menggunakan bahasa lisan sesuai dengan bahasa yang dituliskan.
Misalnya sebuah kata ditulis pasca, maka diucapkan juga pasca, bila ditulis permukiman, dibaca juga permukiman, dst. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa tata nilai bahasa penutur sedang guncang akibat penuturnya telah kehilangan kemampuan menentukan mana yang betul mana yang salah dalam berbahasa.
Eko Endarmoko mungkin akan menyebut gejala itu sebagai bahasa yang sedang sakit parah yang diakibatkan teknologi komunikasi, pergaulan antarbangsa dan suku-suku lain. Nah, kalau kata rabu atau ram yang dipakai dalam penulisan untuk mengganti kata khabu dan kham (kita) sekaligus sama ketika dilafalkan dalam keseharian, betapa tidak akan guncang, bingung, sengkarut, dan ragu-ragu para penutur bahasa Lampung kita?
Apa yang dikerjakan Udo Z. Karzi selama ini sudah semestinya bisa jadi bahan pertimbangan, kalau keinginan membuat standaridsasi bahasa Lampung memang urgen dan mendesak. Tapi saya curiga: Keinginan membuat standardisasi bahasa Lampung itu muncul dari minoritas elite yang keranjingan menampilkan warna lokal daerahnya. Masyarakat Lampung sendiri tampaknya tak terlalu tergiur membuat standardisasi bahasa segala. n
* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Juni 2009
No comments:
Post a Comment