BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelestarian sastra berbahasa Lampung hendaknya tidak hanya berjalan dalam wacana saja. Action, adalah yang terpenting untuk dilakukan agar sastra berbahasa Lampung tetap lestari.
Bahasa adalah ornamen terpenting dari setiap karya sastra. Tanpa bahasa, maka sastra pun akan mati. Begitupun dengan sastra berbahasa daerah. Apabila bahasa daerahnya punah atau hampir punah, seperti bahasa Lampung, maka tinggal ditunggu saja kematian dari sastra daerah tersebut.
Penyair Oyos Saroso HN mengatakan bahwa bukan hanya bahasa Lampung saja yang hampir punah, tetapi juga bahasa-bahasa daerah yang lain pun sama. Lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia yang hampir punah. "Penyebab utamanya ialah tidak dipakainya bahasa-bahasa daerah tersebut dalam kehidupan sehari-hari," ungkapnya, Rabu (17-6).
Menurutnya diperlukan sikap untuk tidak malu dalam menggunakan bahasa daerah pada setiap kesempatan. "Terlebih lagi dalam pertemuan-pertemuan non-formil," katanya.
Oyos mengatakan 'sikap tidak malu' itu tidak berlaku hanya pada orang Lampung sendiri, tetapi juga kepada para pendatang. Bahasa Jawa contohnya.
Mengenai fungsi pendidikan yang seharusnya mempunyai andil lebih dalam melestarikan bahasa dan sastra Lampung, Oyos mengomentari bahwa ia merasa pesimis kalau sistem pendidikan sekarang ini dapat membantu melestarikan. "Muatan lokal sastra bahasa Lampung yang diajarkan di sekolah-sekolah itu tidak cukup karena hanya kurikulum saja," katanya.
"Diperlukan program pelestarian bahasa. Dan, hal tersebut dapat dimulai dari lingkungan terkecil masyarakat, yaitu keluarga," tegasnya.
Menurutnya, hanya dari lingkungan keluargalah kelestarian bahasa Lampung dapat dijaga. "Sebenarnya budaya Lampunglah yang harus lebih dulu diselamatkan, karena dari budayalah bahasa tercipta," lanjutnya. Oyos menambahkan, pemerintah daerah pun harus ikut serta dalam upaya pelestarian, "Di Jawa Barat sudah ada Perda tentang pelestarian budaya dan bahasa. Kalau di Lampung sendiri saya rasa belum ada."
Dalam kesempatan lain, Farida Ariyani, Akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengatakan, "Kalau ingin bahasa serta sastra Lampung tidak punah. Sebaiknya tidak hanya dibahas saja. Lakukan, praktekkan, dan biasakan. Itulah yang utama."
Menurutnya, kiat untuk membangkitkan sastra berbahasa Lampung adalah dengan cara mengajak para penggiat sastra-sastra lisan yang masih ada di kampung-kampung di pelosok daerah Lampung. "Bisa juga dengan mengajarkan pantun-pantun sederhana pada anak-anak sekolah dasar sejak dini. Tidak perlu banyak, yang terpenting kualitasnya," ujarnya.
Berbeda dengan Oyos, Farida, yang ikut mendirikan program studi Bahasa Lampung di FKIP ini berpendapat bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai mata tombak yang lain dalam melestarikan sastra berbahasa Lampung. "Pendidikan dapat mendukung kelestarian sastra berbahasa Lampung. Tetapi kualitas pendidikan dan gurunya harus bagus," katanya.
Dalam pesan singkat yang dikirimkannya, Farida menyarankan sebaiknya pelestarian dimulai dari saat ini agar sastra berbahasa lampung tidak punah, "Anjak ganta betetagun. Ram nepis kepunayan. Sastra bidang waktu diluahkon. Sija gelarne pelestarian," katanya dalam bahasa Lampung. MG13/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Juni 2009
No comments:
Post a Comment