STUDI di perguruan tinggi kerap dinilai elitis dan berada di ranah pemikiran. Maka, kuliah kerja nyata (KKN) adalah laboratorium hidup peserta didik yang membumikan.
Pekon Negeriratu, Kecamatan Ngambur, Pesisir Barat, Lampung, pertengahan Ramadan 1434 H. Pagi itu, mendung menggantung. Pantai yang menghadap Samudera Indonesia itu terus digempur ombak yang bergulung-gulung setinggi 3 meter.
Beberapa mahasiswa Unila yang sedang KKN di desa itu asyik menikmati suasana. Mereka berbaur dengan warga, anak-anak dan muda-mudi desa.
Matahari mulai mencorong. Pemandangan di tengah laut mulai jelas. Satu titik hitam di tengah samudera terpantau warga. Yakni, satu unit kapal besar yang lepas jangkar.
Ditunggu hingga lama, kapal tak bergeser. Warga mulai berspeklulasi. Kesimpulan sementara orang; itu kapal nelayan luar negeri yang menangkap ikan dengan alat canggih.
Perbincangan antarwarga memunculkan prakarsa. Yakni, mendatangi kapal itu. Tujuannya, jika bisa halau, ya diusir. ?Kalau tidak mungkin, setidaknya kita bisa minta bagi ikan dari mereka untuk dibagi kepada warga. Sebab, mereka maling ikan kita,? kata Burhan, salah satu mahasiswa.
Rencana langkah bulat. Seorang warga menyiapkan perahu kayu bermotor dengan pengaman katir yang bisa muat delapan orang. Namun, saat hendak melancung, seorang warga membuat pertanyaan. ?Nanti kalau orangnya enggak bisa ngomong Indonesia, gimana??
Maka, tiga mahasiswa menyatakan siap ikut. Burhan, Gideon, dan Budi. Mereka adalah mahasiswa FKIP Unila yang sedang KKN di desa itu. Gideon adalah salah satu yang bahasa Inggrisnya amat fasih menjadi andalan.
Perahu melaju. Ombak yang sedang angin barat mengombang-ambingkan jukung. Perjalanan yang sekira 10 mil menguras isi perut tiga mahasiswa itu karena mabuk.
Saat dekat, ternyata itu bukan kapal ikan. Kapal besar asal Jakarta bermuatan bahan baku semen itu sedang buang sauh karena rusak. Akhirnya, mereka kembali.
Kisah itu menjadi pengalaman paling mengesankan bagi tiga mahasiswa itu. Mereka merasakan bersampan ria di tengah gelombang samudera ganas. ?Enggak lagi-lagi. Rasanya seperti antara hidup dan mati. Selain mabuk berat, kami seperti ditelan ombak lalu dimuntahkan lagi. Begitu terus,? kata Burhan.
Laboratorium Hidup
Hidup di tengah masyarakat dan berinteraksi, bagi mahasiswa kadang menjadi hal baru. Aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi oleh kampus selama ini seolah hanya kurikulum dalam dua atau empat SKS yang didapat dari program KKN. Padahal, keilmuan mahasiswa seharusnya bisa terintegrasi dengan kehidupan nyata.
Saat meninjau pelaksanaan KKN mahasiswanya di Lampung Barat dan Pesisir Barat, pekan lalu, Dekan FKIP Unila Bujang Rahman mengaktualisasikan pentingnya KKN bagi mahasiswa.
Program yang sempat dihentikan saat euforia reformasi, katanya, terbukti sangat dibutuhkan oleh masyarakat, juga mahasiswa.
?KKN ini sangat penting bagi mahasiswa. Apalagi untuk calon guru seperti pada FKIP. Sebab, mahasiswa FKIP pada akhirnya harus berhadapan dan berinteraksi dengan masyarakat. Dan fakta menunjukkan masyarakat sangat membutuhkan kehadiran para intelektual muda itu. Mahasiswa harus menjadi bagian dari solusi,? kata Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Lampung itu.
Model KKN yang dikembangkan FKIP Unila saat ini lebih menyentuh masyarakat. Dengan tajuk KKN Kependidikan Terintegrasi, FKIP mengembangkan pola hubungan mahasiswa dengan masyarakat lebih intim. ?Model ini dikembangkan agar mahasiswa menjadi bagian dari masyarakat itu, untuk kemudian berprakarsa mengembangkan diri dan lingkungannya dalam memecahkan persoalan lokal. Mereka tidak boleh lagi hanya membuat plang nama jalan, buat tugu, atau model fisik pasif. Model-modelnya edukatif,? kata dia. (SDM/M2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
Pekon Negeriratu, Kecamatan Ngambur, Pesisir Barat, Lampung, pertengahan Ramadan 1434 H. Pagi itu, mendung menggantung. Pantai yang menghadap Samudera Indonesia itu terus digempur ombak yang bergulung-gulung setinggi 3 meter.
Beberapa mahasiswa Unila yang sedang KKN di desa itu asyik menikmati suasana. Mereka berbaur dengan warga, anak-anak dan muda-mudi desa.
Matahari mulai mencorong. Pemandangan di tengah laut mulai jelas. Satu titik hitam di tengah samudera terpantau warga. Yakni, satu unit kapal besar yang lepas jangkar.
Ditunggu hingga lama, kapal tak bergeser. Warga mulai berspeklulasi. Kesimpulan sementara orang; itu kapal nelayan luar negeri yang menangkap ikan dengan alat canggih.
Perbincangan antarwarga memunculkan prakarsa. Yakni, mendatangi kapal itu. Tujuannya, jika bisa halau, ya diusir. ?Kalau tidak mungkin, setidaknya kita bisa minta bagi ikan dari mereka untuk dibagi kepada warga. Sebab, mereka maling ikan kita,? kata Burhan, salah satu mahasiswa.
Rencana langkah bulat. Seorang warga menyiapkan perahu kayu bermotor dengan pengaman katir yang bisa muat delapan orang. Namun, saat hendak melancung, seorang warga membuat pertanyaan. ?Nanti kalau orangnya enggak bisa ngomong Indonesia, gimana??
Maka, tiga mahasiswa menyatakan siap ikut. Burhan, Gideon, dan Budi. Mereka adalah mahasiswa FKIP Unila yang sedang KKN di desa itu. Gideon adalah salah satu yang bahasa Inggrisnya amat fasih menjadi andalan.
Perahu melaju. Ombak yang sedang angin barat mengombang-ambingkan jukung. Perjalanan yang sekira 10 mil menguras isi perut tiga mahasiswa itu karena mabuk.
Saat dekat, ternyata itu bukan kapal ikan. Kapal besar asal Jakarta bermuatan bahan baku semen itu sedang buang sauh karena rusak. Akhirnya, mereka kembali.
Kisah itu menjadi pengalaman paling mengesankan bagi tiga mahasiswa itu. Mereka merasakan bersampan ria di tengah gelombang samudera ganas. ?Enggak lagi-lagi. Rasanya seperti antara hidup dan mati. Selain mabuk berat, kami seperti ditelan ombak lalu dimuntahkan lagi. Begitu terus,? kata Burhan.
Laboratorium Hidup
Hidup di tengah masyarakat dan berinteraksi, bagi mahasiswa kadang menjadi hal baru. Aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi oleh kampus selama ini seolah hanya kurikulum dalam dua atau empat SKS yang didapat dari program KKN. Padahal, keilmuan mahasiswa seharusnya bisa terintegrasi dengan kehidupan nyata.
Saat meninjau pelaksanaan KKN mahasiswanya di Lampung Barat dan Pesisir Barat, pekan lalu, Dekan FKIP Unila Bujang Rahman mengaktualisasikan pentingnya KKN bagi mahasiswa.
Program yang sempat dihentikan saat euforia reformasi, katanya, terbukti sangat dibutuhkan oleh masyarakat, juga mahasiswa.
?KKN ini sangat penting bagi mahasiswa. Apalagi untuk calon guru seperti pada FKIP. Sebab, mahasiswa FKIP pada akhirnya harus berhadapan dan berinteraksi dengan masyarakat. Dan fakta menunjukkan masyarakat sangat membutuhkan kehadiran para intelektual muda itu. Mahasiswa harus menjadi bagian dari solusi,? kata Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Lampung itu.
Model KKN yang dikembangkan FKIP Unila saat ini lebih menyentuh masyarakat. Dengan tajuk KKN Kependidikan Terintegrasi, FKIP mengembangkan pola hubungan mahasiswa dengan masyarakat lebih intim. ?Model ini dikembangkan agar mahasiswa menjadi bagian dari masyarakat itu, untuk kemudian berprakarsa mengembangkan diri dan lingkungannya dalam memecahkan persoalan lokal. Mereka tidak boleh lagi hanya membuat plang nama jalan, buat tugu, atau model fisik pasif. Model-modelnya edukatif,? kata dia. (SDM/M2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment