SUASANA Lebaran masih semarak di Way Jepara, Lampung Timur, tetapi Monik sudah mulai gelisah dengan agenda lain. Mahasiswa semester tujuh FKIP Unila itu memang sedang libur dari kegiatan KKN di Pekon Cahayanegeri, Ngambur, Pesisir Barat. Pikirannya mengacu kepada tugas lepas Lebaran yang dekat dengan peringatan HUT ke-68 Republik Indonesia.
?Ya, karena ada mahasiswa KKN di situ, peratinnya (kepala desanya) meminta kami yang ngurus acara tujuh belasan. Makanya kami harus segera balik ke sana untuk persiapan,? kata gadis berjilbab ini.
Di tangan mahasiswa KKN, suasana peringatan kemerdekaan negeri di desa-desa di Kecamatan Ngambur memang lebih semarak. Berbagai acara digelar dan disambut baik oleh masyarakat. Orang tua, pemuda, dan anak-anak terlibat aneka permainan.
Monik yang didampingi Dewi, mahasiswa asal Metro, mengaku mendapat tantangan saat turun ke masyarakat melakukan KKN. Meskipun di desa tempat tinggalnya juga banyak kegiatan, ia mengaku lebih sering memilih pasif karena waktunya habis untuk sekolah dan belajar.
?Asal saya di Way Jepara, Lampung Timur. Kuliah di Unila indekos tak jauh dari kampus. Tetapi jarang ikut kegiatan di desa, apalagi di tempat indekos. Nah, begitu di sini, di tempat KKN, saya merasakan betul bagaimana berbaur dan harus menjadi pelaksana kegiatan,? kata Monik.
Senada dengan Monik, Dewi Laili juga mendapat banyak pengalaman baru di tempat KKN. Berbaur dan harus menjadi bagian dari suatu kegiatan di desa, kata dia, bukan sesuatu yang mudah. Butuh penyesuaian dan menimbang banyak hal untuk bisa diterima di lingkungan baru.
Mahasiswa Pendidikan Geografi yang berlatar suku Jawa ini juga merasakan suasana berbeda berada di kampung yang dominan orang etnis Lampung. Perbedaan budaya, petatah-petitih, pola makan, dan kebiasaan lain membuat ia merasa harus lebih peka terhadap keadaan lingkungan.
Meskipun demikian, Dewi mengaku tidak mendapat masalah untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Ia yang bersama teman-temannya tinggal di rumah peratin (kepala desa) mendapat permakluman jika melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan orang setempat.
Beberapa pengalaman baru ia dapatkan dari interaksi bersama warga setempat. Saat menjelang puasa, misalnya, orang Lampung di Ngambur melaksanakan riungan di masjid. Tetapi tidak semua warga mengirim atau membawa makanan. Hanya warga sekitar masjid saja yang memasak untuk acara yang mereka sebut pakha.
?Kalau orang Jawa kan menyebutnya punggahan, kalau di sini disebut pakha. Enggak terlalu berbeda sih. Hanya sebutannya yang tidak sama,? kata dia.
Saat Lebaran tiba, kata Monik, warga, terutama yang punya ekonomi mapan, umumnya memasak makanan dalam jumlah banyak. Lauk berupa ayam atau ikan dimasak santan sangat dominan. Jumlahnya yang banyak karena setiap tamu hampir wajib menikmati makanan di rumah tersebut. ?Jadi, semua tamu harus makan. Terus, ada satu kue yang khas di sini. Namanya kue tat. Ya, seperti bolu tetapi telurnya banyak sekali seperti lapis legit. Mungkin namanya kue tat karena bentuknya seperti kue bantat atau tidak mengembang. Tapi enak,? kata Monik.
Pada acara tujuh belasan, Monik dan teman-temannya menggelar beberapa agenda keramaian yang belum pernah ada. Meski dengan properti yang seadanya, mereka menggelar karnaval budaya nusantara, aneka lomba anak-anak dan olahraga, juga permainan yang lucu-lucu.
Dalam kiprahnya di desa KKN, Dewi mengaku mengadakan program-program yang lebih dekat dengan napas pendidikan. ?Kami mengajar di sekolah-sekolah yang ada di sini dengan koordinasi dengan pihak sekolah. Kami juga mengadakan bimbingan belajar, menghidupkan pengajian risma, rutin mengadakan senam, dan melatih anak-anak menari sembah dan tari saman. Kalau kegiatan kampung lainnya kami pasti ikut.? (SDM/M2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
?Ya, karena ada mahasiswa KKN di situ, peratinnya (kepala desanya) meminta kami yang ngurus acara tujuh belasan. Makanya kami harus segera balik ke sana untuk persiapan,? kata gadis berjilbab ini.
Di tangan mahasiswa KKN, suasana peringatan kemerdekaan negeri di desa-desa di Kecamatan Ngambur memang lebih semarak. Berbagai acara digelar dan disambut baik oleh masyarakat. Orang tua, pemuda, dan anak-anak terlibat aneka permainan.
Monik yang didampingi Dewi, mahasiswa asal Metro, mengaku mendapat tantangan saat turun ke masyarakat melakukan KKN. Meskipun di desa tempat tinggalnya juga banyak kegiatan, ia mengaku lebih sering memilih pasif karena waktunya habis untuk sekolah dan belajar.
?Asal saya di Way Jepara, Lampung Timur. Kuliah di Unila indekos tak jauh dari kampus. Tetapi jarang ikut kegiatan di desa, apalagi di tempat indekos. Nah, begitu di sini, di tempat KKN, saya merasakan betul bagaimana berbaur dan harus menjadi pelaksana kegiatan,? kata Monik.
Senada dengan Monik, Dewi Laili juga mendapat banyak pengalaman baru di tempat KKN. Berbaur dan harus menjadi bagian dari suatu kegiatan di desa, kata dia, bukan sesuatu yang mudah. Butuh penyesuaian dan menimbang banyak hal untuk bisa diterima di lingkungan baru.
Mahasiswa Pendidikan Geografi yang berlatar suku Jawa ini juga merasakan suasana berbeda berada di kampung yang dominan orang etnis Lampung. Perbedaan budaya, petatah-petitih, pola makan, dan kebiasaan lain membuat ia merasa harus lebih peka terhadap keadaan lingkungan.
Meskipun demikian, Dewi mengaku tidak mendapat masalah untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Ia yang bersama teman-temannya tinggal di rumah peratin (kepala desa) mendapat permakluman jika melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan orang setempat.
Beberapa pengalaman baru ia dapatkan dari interaksi bersama warga setempat. Saat menjelang puasa, misalnya, orang Lampung di Ngambur melaksanakan riungan di masjid. Tetapi tidak semua warga mengirim atau membawa makanan. Hanya warga sekitar masjid saja yang memasak untuk acara yang mereka sebut pakha.
?Kalau orang Jawa kan menyebutnya punggahan, kalau di sini disebut pakha. Enggak terlalu berbeda sih. Hanya sebutannya yang tidak sama,? kata dia.
Saat Lebaran tiba, kata Monik, warga, terutama yang punya ekonomi mapan, umumnya memasak makanan dalam jumlah banyak. Lauk berupa ayam atau ikan dimasak santan sangat dominan. Jumlahnya yang banyak karena setiap tamu hampir wajib menikmati makanan di rumah tersebut. ?Jadi, semua tamu harus makan. Terus, ada satu kue yang khas di sini. Namanya kue tat. Ya, seperti bolu tetapi telurnya banyak sekali seperti lapis legit. Mungkin namanya kue tat karena bentuknya seperti kue bantat atau tidak mengembang. Tapi enak,? kata Monik.
Pada acara tujuh belasan, Monik dan teman-temannya menggelar beberapa agenda keramaian yang belum pernah ada. Meski dengan properti yang seadanya, mereka menggelar karnaval budaya nusantara, aneka lomba anak-anak dan olahraga, juga permainan yang lucu-lucu.
Dalam kiprahnya di desa KKN, Dewi mengaku mengadakan program-program yang lebih dekat dengan napas pendidikan. ?Kami mengajar di sekolah-sekolah yang ada di sini dengan koordinasi dengan pihak sekolah. Kami juga mengadakan bimbingan belajar, menghidupkan pengajian risma, rutin mengadakan senam, dan melatih anak-anak menari sembah dan tari saman. Kalau kegiatan kampung lainnya kami pasti ikut.? (SDM/M2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment