PILIHANNYA bergelut dalam dunia seni tak sia-sia, malah membuahkan hasil gemilang. Muda dan berkarya, begitulah yang ada di benak Ugoran Prasad, pekerja sastra kelahiran Lampung yang memilih menetap di Yogyakarta.
Lama bergelut di dunia sastra, banyak karya yang telah ditelurkan dan membuahkan apresiasi, penghargaan untuk karya cerita pendek terbaik untuk Cerpen Pilihan 2005--2006, di salah satu harian nasional ternama tahun 2007, dan karya fiksi peserta Utan Kayu Literary Bienalle 2007, Komunitas Teater Utan Kayu 2007.
Bolak-balik Lampung--Jogja, kerap dilakukan Ugoran. Maklum saja, meskipun memilih Kota Gudeg untuk berkarya, toh keluarga besarnya masih di Tanah Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, usai menerima penghargaan dari Kompas, ia mampir ke Kota Tapis untuk sekadar melepas kangen di kota kelahirannya. Ugoran pun berbagi pengalaman dengan wartawan Lampung Post Mustaan seputar seni dan karya sastra.
Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan dunia seni sastra di Indonesia?
Sastra adalah medan kesenian yang paling bisa bertahan dalam keadaan paling darurat. Penyair bisa bekerja dengan pulpen dan selembar kertas tisu. Jadi asumsinya, sastra bisa hidup dalam keadaan apapun. Saya bekerja di kelompok teater yang saya rasa lebih besar tuntutannya.
Sebagai karya, teater berlangsung seketika yang peristiwanya diciptakan bersama penonton. Sastra juga membutuhkan pembaca, tapi tidak di saat yang sama.
Begitu karya sastra selesai, ia menjadi dokumen, milik sejarah, bahkan bagi pengarangnya. Dokumen, selama tersedia, selalu bisa dikunjungi kapan saja. Mpu Prapanca, karyanya baru dibaca 400 tahun setelah kematiannya. Kini, ahli sejarah Asia mana yang belum baca Negarakertagama?
Nah, soal perkembangan, ini lain lagi. Pertanyaan ini memaksa saya balik bertanya: kita mau membicarakan perkembangan yang bagaimana? Atau, apa yang sebenarnya disebut sebagai perkembangan sastra? Parameternya apa? Ini soal yang rumit, saya pikir. Menilik bahwa penyair-penyair terus dilahirkan, penulis muda dapat ruang, pembaca masih berminat membaca, untuk mudahnya, ya baiklah, sastra Indonesia masih menciptakan ruang perkembangan. Ini tidak memuaskan, tapi cukup.
Tentang perkembangannya di Lampung?
Saya melihat sastra di Lampung dari kejauhan. Sejak 1996, saya kuliah di Jogja. Jadi sama sekali tidak sempat kontak langsung dengan pengarang-pengarang Lampung. Saya malah ketemu bang Is (Iswadi Pratama, red) di Jogja, lewat kontak Teater Satu dengan Teater Garasi. Dina Oktaviani juga, ketemu di Jogja. Waktu SMA saya dengar nama-nama penulis atau penyair Lampung, ada Iwan Nurdaya-Djafar atau Isbedy Setiawan Z.S. Tapi saat itu, karya tulis orang dari Lampung yang benar-benar saya baca cuma Bubin Lantang.
Akhir 90-an baru saya dengar perkembangan menarik forum-forum sastra di Lampung. Sekarang ada banyak nama-nama seumuran saya yang cukup perlu untuk dibaca. Ada Ari Pahala, Jimmy Maruli, untuk menyebut beberapa nama.
Perlu tidak karya sastra sebagai wujud berkesenian mulai diajari sejak usia dini. Apa gunya juga berkesenian itu?
Saya pikir sastra, bahkan kesenian secara luas, sangat penting nilainya, terutama sekarang ini. Dunia bekerja sangat cepat, orang cenderung dipaksa beradu cepat, berebut hal-hal penting. Pasar ada di mana-mana, politik, ekonomi, semuanya pasar.
Dan sastra nggak terlalu berguna sebenarnya. Nggak bakal mati kalo nggak ada sastra. Justru di situ pentingnya. Seni memberi ruang redam. Suatu ruang selainnya kenyataan sehari-hari namun sekaligus anak kandung dari kenyataan itu sendiri. Ini paling kelihatan dalam prosesi orang masuk gedung bioskop atau teater. Antre, masuk ke ruang lain, gelap, mengambil tempat duduk, selama dua jam mengonsumsi bukan kenyataan yang terberi oleh kenyataan. Struktur ini sama juga dengan sastra, hanya batas spasialitasnya lebih kabur.
Anda ahli membuat karya cerpen hingga menjadi cerpenis terbaik versi salah satu surat kabar nasional?
Soal ahli-ahlian ini, saya bukan ahli. Ini bukan soal rendah hati atau bukan. Buat saya, tidak penting seorang pengarang itu ahli atau bukan. Saya pikir pengarang yang baik adalah pengarang yang selalu mengenyahkan pikiran tentang "ahli-ahlian" ini. Oya, (penghargaan) itu juga bukan untuk cerpenis terbaik. Cerpenis terbaiknya buat saya jelas. Ada Danarto, Seno Gumira, Adek Alwi, Gus Tf., mereka sungai, saya empang. Cerpen terbaik, ini lain. Karya itu, dari skema ruang dan waktu yang terbatas, dianggap baik mata dua orang juri, dua orang pembaca. Penilaian ini belum tentu disepakati pembaca yang lain. Ruang yang tercipta dari berbagai pandangan dan aras penilaian--suatu diskursus--itulah yang menumbuhkan.
Dari mana asalnya saya bisa bikin cerita, itu bisa saya jawab. Saya belajar membaca dan menulis. Belajar membaca sebagai pembaca dan belajar membaca sebagai penulis. Juga, belajar menulis sebagai pembaca. Pelajaran saya sendiri belum selesai. Jadi, saya nggak bisa sok tahu. Saya bisa bagi metode saya tapi metode itu bisa salah.
Bagaimana posisi sastrawan asal Lampung di kancah sastra di Indonesia, apakah sudah mulai diperhitungkan? Apakah cerpenisnya juga sudah mulai tumbuh di Lampung?
Saya pikir iya. Terakhir saya dengar Iswadi Pratama, bersama penyair dari empat kota lain (Gunawan Maryanto, Nur Zen, Sindu Putra dan S. Yoga), disebut sebagai penyair di bawah usia 40 yang paling pantas diperhitungkan di Indonesia. Kalau tidak salah, judul antologinya Lima Pusaran. Saya pikir komentar Nirwan Dewanto tentang perkembangan penyair-penyair terkini, termasuk di Lampung, lumayan keras. Harusnya bisa jadi perdebatan yang menarik. Siapa tahu Nirwan salah lagi.
Cerpennya memang cuma saya baca beberapa. Tidak sekaya hasil ciptaan puisi, entah kenapa. Mungkin belum.
Menulis cerpen itu bagian dari kerja jurnalistik. Pada kondisi bangsa yang memang masih mencari jatidirinya, apakah sangat layak untuk dibuat karya cerpen atau cerita lainnya?
Dalam kondisi apapun cerita layak dibuat, dituliskan. Dari dulu tukang cerita, para pendongeng, mengikatkan diri pada kondisi, bertolak dari kondisi, untuk bisa memamah kondisi. Sekalipun gak paham-paham, proses memamah ini penting. Bahwa banyak pengarang mengambil inspirasi dari kerja jurnalistik, ini benar. Tapi menyebut kerja penulisan fiksi sebagai bagian dari kerja jurnalis, sepertinya terlalu menekan. Jurnalisme diharuskan bekerja sebagai penyampai kebenaran. Ini ontologi sekaligus sumber soal terbesar jurnalisme, kan? Fiksi lebih ringan hati. Suatu fiksi yang baik, berusaha merekam dan merepresentasikan konteks tertentu dengan logika tertentu pula, artinya ia perlu melengkapi diri dengan data yang baik, mematuhi aturan sebab akibat tertentu. Saya bilang tertentu, sebab realisme dan fantasi, misalnya, ukuran-ukuran intrinsiknya berbeda. Begitupun ukuran itu harus ada. Nah, sepatuh apapun, selengkap apapun, fiksi bukanlah kebenaran. Mungkin ada pretensinya, tapi ia tetap bukan kebenaran. Ia bisa mirip, terasa seperti, tapi bukan. Batasannya jelas.
Seorang cerpenis biasanya identik dengan perayu, ahli diplomasi, ahli pidato dan bahkan ahli dalam dokumentasi. Apakah itu memang karakter seniman pada umumnya?
Saya bisa merayu ibu saya. Merayu teman perempuan saya juga bisa, tapi jarang yang percaya. Diplomasi, saya tidak bagus. Sering berujung pada ribut keras yang nggak produktif. Saya tidak terlalu suka karakter diskusi verbal. Saya sangat jarang bisa mendapatkan kedalaman pembahasan kecuali dalam diskusi kecil yang terbatas, 5--8 orang. Lebih dari itu, pasar. Kadang-kadang pasar bagus juga, kadang bikin capek. Dokumentasi, saya pikir penting. Saya sangat terinspirasi dengan modus-modus dokumentasi pengarang-pengarang dari disiplin angkatan 40 sampai 60-an. Rajin, teliti, mungkin karena zaman itu belum ada TV. Karakter seniman pada umumnya, saya pikir lebih banyak yang mengira dirinya seniman daripada yang benar-benar berkesenian. Begitu seniman mengira dia harus mengutamakan ciri-ciri tertentu agar tampak seperti seniman, sebenarnya dia lebih cocok jadi tentara.
Biasanya seniman termasuk cerpenis atau penyair, dimulai saat orang kuliah. Dengan indekos dia mencari tambahan uang saku, kuliah, makan atau indekos. Pengalaman Anda?
Ya, seperti itulah, biasanya. Saya agak lebih ringan, karena bisa cari duit dengan cara lain. Menerjemahkan buku, menulis liputan, dokumentasi proses, semacam itu. Di waktu awal, saya tidak mau membebani kerja penulisan fiksi saya dengan proses cari duit, jadi bisa lebih rileks. Satu cerpen bisa saya kerjakan berbulan-bulan, satu novel bertahun-tahun. Tapi ada efek lain, saya jadi tidak prolifik. Lagian, sebenarnya tidak harus satuan waktu berbanding lurus dengan pencapaian karya. Tidak harus berlama-lama. Ada yang bisa bikin cerita dari satu peristiwa terantuk batu. Itu saya tidak bisa. n M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007
No comments:
Post a Comment