Oleh Oki Hajiansyah Wahab
TULISAN ini terinspirasi tajuk Lampung Post berjudul Perselingkuhan Profesi, Jumat (20-9), dan artikel Kompas Legasi Intelektual yang ditulis Suwidi Tono, Kamis (19-9). Perdebatan terkait kiprah intelektual dan politik memang bukanlah perdebatan baru, hal ini adalah perdebatan epik dari masa ke massa.
Soetandyo Wignyosobroeto (2010) menjelaskan perdebatan semacam ini mulai lahir pascaera Renaissance, dengan peran universitas semakin eksis seiring tumbuhnya negara-negara nasional di Eropa Barat yang kala itu berlomba meningkatkan kekuatan finansial, industrial, dan militernya.
Implikasi persaingan tersebut, banyak universitas ?dikooptasi dan dihidupi? oleh penguasa negara dan para scholar kian lama kian terkesan hanya siap bekerja untuk kepentingan negara dan terkadang bahkan untuk kepentingan para raja penguasa.
Beberapa waktu lalu, sekelompok akademisi membuat konferensi pers khusus untuk membantah keterlibatan Unila selaku institusi dalam sebuah quick count. Hari berikutnya muncul klarifikasi dari kelompok lainnya yang intinya menjelaskan tidak benar Unila selaku institusi terlibat dalam quick count, yang benar pihak penyelenggara survei bekerja sama dengan salah seorang akademisi yang memiliki kompetensi dalam bidang survei.
Kelompok pertama penulis nilai mengkhawatirkan pemberitaan yang berkembang dengan Unila selaku institusi pendidikan tinggi seakan-akan terlibat dalam quick count dalam suatu pemilukada. Sebuah niat dan inisiatif yang baik tentunnya untuk mengklarifikasi hal ini.
Pertanyaan kritisnya adalah dari sekian banyak dosen di Unila, mengapa hanya lima dosen yang tergerak dan berinisiatif melakukan klarifikasi dan mengapa tidak Unila sendiri selaku institusi yang melakukan klarifikasi tersebut? Terhadap kelompok yang kedua, penulis berpandangan mereka hendak mengklarifikasi tidak benar Unila selaku institusi pendidikan terlibat dalam sebuah quick count, yang benar adalah ada akademisi Unila yang diminta bantuannya terkait pelaksanaan survei.
Apa makna klarifikasi ini? Secara tidak langsung, kelompok ini hendak menyatakan keterlibatan intelektual dalam ranah politik praktis memang lazim terjadi dan bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Dua pernyataan tersebut sebenarnya memiliki substansi pokok persoalan yang sama, yakni keterlibatan intelektual dalam pekerjaan politik. Menurut penulis, kadar pekerjaan politik memiliki dua dimensi pokok yang saling beririsan.
Pertama, dimensi substansi, yakni berupa kontribusi pemikiran yang implikasinya tidak terlibat langsung. Kedua, dimensi teknis yang implikasinya mendorong keterlibatan langsung dalam pekerjaan-pekerjaan politik.
Secara lugas saya hendak memberikan ilustrasi, bagi seorang intelektual menjadi tim ahli kepala daerah maupun menjadi konsultan bagi kandidat pejabat politik keduanya berada dalam ranah kekuasaan yang abu-abu. Keterlibatan dalam posisi semacam ini tentu menjadi ujian bagi seorang intelektual terkait sejauh mana independensi atas ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran.
Keseimbangan antara kebebasan akademik seorang intelektual di tengah keterlibatannya dalam arena politik dan kekuasaan memang menjadi persoalan klasik. Sebagai seorang intelektual tentu saja di lubuk hatinya ingin bebas berpikir dan berkarya sebagai seorang pencari kebenaran yang tak punya majikan dan juga tidak menjadi majikan.
Namun, dilematisnya ketika seorang intelektual kebetulan menjadi bagian dari sistem kekuasaan ia juga dituntut untuk melayani apa yang diminta para penguasa. Melayani dalam konteks ini adalah memberikan legitimasi atas apa yang menjadi pilihan maupun kehendak kekuasaan.
Bahkan, tak jarang para intelektual yang telanjur terninabobokan kekuasaan melakukan tindakan fatalis, membela kekuasan dengan membabi buta, maju tak gentar membela yang bayar. Mereka kehilangan daya kritisnya dan cenderung menjadi pengabdi untuk mempertahankan kekuasaan dan meraih kepentingan. Lebih dari itu, mengutip pendapat Mahfud M.D., tak jarang melakukan tindakan fatalis, yakni berlogika sesuai logistik dan berpendapat sesuai pendapatan.
Kembali ke Habitus
Julien Benda, dalam La Trabision des Clersc atau Pengkhianatan Kaum Intelektual, menyebutkan le clerc loue par des secuiliers est traitre a so function atau orang terpelajar yang disewa penguasa pada hakikatnya adalah pengkhianat pada fungsinya. Hal senada juga diungkapkan Grigori Pomerants, seorang intelektual Rusia, dalam suratnya kepada filosof M. A. Liffsjits, yang juga menyindir pengkhianatan kaum intelektual yang sering membawa bencana.
Kasus yang ditampilkan sesungguhnya hendak memberikan refleksi berharga bagi kita semua. Bagaimanapun perdebatan para intelektual terkait ranah politik dan kekuasaan akan terus terjadi. Penulis berpendapat seorang intelektual akademisi sebaiknya kembali ke habitus awal mereka, yakni kampus dan bertindak selayaknya intelektual amatir.
Intelektual amatir sebagaimana dimaksud Edward Said (1993) adalah intelektual yang berbicara pada khalayak publik, menjelajahi wilayah-wilayah pengembaraan ilmu untuk berbicara tentang kebenaran pada kekuasaan, dan membela kaum yang lemah dalam ranah politik, sosial, dan kebudayaan.
Dengan kata lain, seorang intelektual amatir menolak untuk mengompromikan prinsip-prinsip universalitas kebenaran yang diyakininya. Bagaimanapun universitas magistro-rum et scholarium yang berarti tempat berhimpunnya para magistrorum dan scholarium tentu sangat diharapkan sebagai tempat bertanya.
Sosok intelektual adalah sosok yang sarat dengan nilai dan norma yang diyakininya dan memiliki kadar pencarian kebenaran yang tinggi. Sejatinya, intelelektual adalah orang yang berpijak pada kebenaran walaupun sebenarnya kebenaran itu juga sarat dengan nilai-nilai atau perspektif. Memberikan pencerahan merupakan ikhtiar kaum intelektual untuk memajukan masyarakat.
Oki Hajiansyah Wahab, Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Undip, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 23 September 2013
TULISAN ini terinspirasi tajuk Lampung Post berjudul Perselingkuhan Profesi, Jumat (20-9), dan artikel Kompas Legasi Intelektual yang ditulis Suwidi Tono, Kamis (19-9). Perdebatan terkait kiprah intelektual dan politik memang bukanlah perdebatan baru, hal ini adalah perdebatan epik dari masa ke massa.
Soetandyo Wignyosobroeto (2010) menjelaskan perdebatan semacam ini mulai lahir pascaera Renaissance, dengan peran universitas semakin eksis seiring tumbuhnya negara-negara nasional di Eropa Barat yang kala itu berlomba meningkatkan kekuatan finansial, industrial, dan militernya.
Implikasi persaingan tersebut, banyak universitas ?dikooptasi dan dihidupi? oleh penguasa negara dan para scholar kian lama kian terkesan hanya siap bekerja untuk kepentingan negara dan terkadang bahkan untuk kepentingan para raja penguasa.
Beberapa waktu lalu, sekelompok akademisi membuat konferensi pers khusus untuk membantah keterlibatan Unila selaku institusi dalam sebuah quick count. Hari berikutnya muncul klarifikasi dari kelompok lainnya yang intinya menjelaskan tidak benar Unila selaku institusi terlibat dalam quick count, yang benar pihak penyelenggara survei bekerja sama dengan salah seorang akademisi yang memiliki kompetensi dalam bidang survei.
Kelompok pertama penulis nilai mengkhawatirkan pemberitaan yang berkembang dengan Unila selaku institusi pendidikan tinggi seakan-akan terlibat dalam quick count dalam suatu pemilukada. Sebuah niat dan inisiatif yang baik tentunnya untuk mengklarifikasi hal ini.
Pertanyaan kritisnya adalah dari sekian banyak dosen di Unila, mengapa hanya lima dosen yang tergerak dan berinisiatif melakukan klarifikasi dan mengapa tidak Unila sendiri selaku institusi yang melakukan klarifikasi tersebut? Terhadap kelompok yang kedua, penulis berpandangan mereka hendak mengklarifikasi tidak benar Unila selaku institusi pendidikan terlibat dalam sebuah quick count, yang benar adalah ada akademisi Unila yang diminta bantuannya terkait pelaksanaan survei.
Apa makna klarifikasi ini? Secara tidak langsung, kelompok ini hendak menyatakan keterlibatan intelektual dalam ranah politik praktis memang lazim terjadi dan bukan hal yang harus ditutup-tutupi. Dua pernyataan tersebut sebenarnya memiliki substansi pokok persoalan yang sama, yakni keterlibatan intelektual dalam pekerjaan politik. Menurut penulis, kadar pekerjaan politik memiliki dua dimensi pokok yang saling beririsan.
Pertama, dimensi substansi, yakni berupa kontribusi pemikiran yang implikasinya tidak terlibat langsung. Kedua, dimensi teknis yang implikasinya mendorong keterlibatan langsung dalam pekerjaan-pekerjaan politik.
Secara lugas saya hendak memberikan ilustrasi, bagi seorang intelektual menjadi tim ahli kepala daerah maupun menjadi konsultan bagi kandidat pejabat politik keduanya berada dalam ranah kekuasaan yang abu-abu. Keterlibatan dalam posisi semacam ini tentu menjadi ujian bagi seorang intelektual terkait sejauh mana independensi atas ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran.
Keseimbangan antara kebebasan akademik seorang intelektual di tengah keterlibatannya dalam arena politik dan kekuasaan memang menjadi persoalan klasik. Sebagai seorang intelektual tentu saja di lubuk hatinya ingin bebas berpikir dan berkarya sebagai seorang pencari kebenaran yang tak punya majikan dan juga tidak menjadi majikan.
Namun, dilematisnya ketika seorang intelektual kebetulan menjadi bagian dari sistem kekuasaan ia juga dituntut untuk melayani apa yang diminta para penguasa. Melayani dalam konteks ini adalah memberikan legitimasi atas apa yang menjadi pilihan maupun kehendak kekuasaan.
Bahkan, tak jarang para intelektual yang telanjur terninabobokan kekuasaan melakukan tindakan fatalis, membela kekuasan dengan membabi buta, maju tak gentar membela yang bayar. Mereka kehilangan daya kritisnya dan cenderung menjadi pengabdi untuk mempertahankan kekuasaan dan meraih kepentingan. Lebih dari itu, mengutip pendapat Mahfud M.D., tak jarang melakukan tindakan fatalis, yakni berlogika sesuai logistik dan berpendapat sesuai pendapatan.
Kembali ke Habitus
Julien Benda, dalam La Trabision des Clersc atau Pengkhianatan Kaum Intelektual, menyebutkan le clerc loue par des secuiliers est traitre a so function atau orang terpelajar yang disewa penguasa pada hakikatnya adalah pengkhianat pada fungsinya. Hal senada juga diungkapkan Grigori Pomerants, seorang intelektual Rusia, dalam suratnya kepada filosof M. A. Liffsjits, yang juga menyindir pengkhianatan kaum intelektual yang sering membawa bencana.
Kasus yang ditampilkan sesungguhnya hendak memberikan refleksi berharga bagi kita semua. Bagaimanapun perdebatan para intelektual terkait ranah politik dan kekuasaan akan terus terjadi. Penulis berpendapat seorang intelektual akademisi sebaiknya kembali ke habitus awal mereka, yakni kampus dan bertindak selayaknya intelektual amatir.
Intelektual amatir sebagaimana dimaksud Edward Said (1993) adalah intelektual yang berbicara pada khalayak publik, menjelajahi wilayah-wilayah pengembaraan ilmu untuk berbicara tentang kebenaran pada kekuasaan, dan membela kaum yang lemah dalam ranah politik, sosial, dan kebudayaan.
Dengan kata lain, seorang intelektual amatir menolak untuk mengompromikan prinsip-prinsip universalitas kebenaran yang diyakininya. Bagaimanapun universitas magistro-rum et scholarium yang berarti tempat berhimpunnya para magistrorum dan scholarium tentu sangat diharapkan sebagai tempat bertanya.
Sosok intelektual adalah sosok yang sarat dengan nilai dan norma yang diyakininya dan memiliki kadar pencarian kebenaran yang tinggi. Sejatinya, intelelektual adalah orang yang berpijak pada kebenaran walaupun sebenarnya kebenaran itu juga sarat dengan nilai-nilai atau perspektif. Memberikan pencerahan merupakan ikhtiar kaum intelektual untuk memajukan masyarakat.
Oki Hajiansyah Wahab, Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Undip, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Senin, 23 September 2013
No comments:
Post a Comment