Oleh Syaiful Irba Tanpaka
DISKUSI Lampung Bangkit II yang ditaja Lampung Post (17-8) dengan tema Membumikan Festival Krakatau (FK) masih menyisakan percikan pemikiran yang profetik. Opini yang diterbitkan Lampung Post menandai hal itu.
Isbedy Stiawan dengan tulisan Menuju FK yang Membumi (19-9) yang merupakan pandangan-pandangannya yang disampaikan saat diskusi. Atau Karina Lin dengan tulisan berjudul Festival Krakatau yang Galau (25-9), yang memandang perlunya revisi bagi penyelenggaraan FK agar membumi dan (membooming-pen). Karena itu, saya menjadi tergelitik untuk ikut memberi iuran pemikiran.
Sejak pertama kali FK dilaksanakan pada 1990 (setelah ditetapkannya Provinsi Lampung sebagai daerah tujuan wisata yang ke-18, 19 Juli 1989) yang dibuka oleh Menparpostel Soesilo Soedarman hingga pelaksanaannya yang ke-24 tahun ini (meskipun?kalau tidak salah?pernah ada satu tahun tidak dilaksanakan), FK lebih banyak menuai kritikan daripada pujian. Mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, publikasi, dan pencapaian hingga kegiatan yang tidak membumi, tidak kreatif atau copy paste. Belum lagi yang bersifat temporal seperti pelayanan terhadap pers dan masyarakat yang ikut dalam tur ke Krakatau. Hal-hal ini saya dapati, baik melalui pemberitaan media maupun omongan lepas orang seorang.
Mencermati FK memang banyak hal yang perlu dibenahi, terutama pada tahap perencanaan dan pendanaan. Tersebab kedua faktor ini memiliki kaitan yang signifikan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung (Disbudpar Lampung) sebagai corong promosi potensi-potensi kepariwisataan daerah Lampung harus mampu membuat teriakan-teriakan kencang dengan kegiatan-kegiatan yang memiliki daya ledak tinggi (big bang), sehingga terdengar ke mancanegara sebagai daya betot bagi para turis untuk berkunjung ke Lampung.
Spirit Krakatau
Krakatau memang pas dijadikan sebagai ikon festival bagi daerah Lampung. Lantaran secara administrasi berada di wilayah Lampung, di samping memiliki historis yang mengharu biru ingatan dunia dengan letusan dasyatnya pada 26?27 Agustus 1883. Daya ledaknya diperkirakan 30 ribu kali bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki pada perang Dunia II. Suara letusannya terdengar sampai Alice Springs, Australia, Pulau Rodrigues dekat Afrika, serta menewaskan 36 ribu jiwa. Hingga Krakatau menjadi bagian sejarah dunia.
Historia Krakatau yang serupa itu mengandung spiritualitas dan daya pukau yang meniscaya sehingga Krakatau layak dijadikan spirit bagi perencanaan FK. Utamanya dalam memilah dan memilih kegiatan-kegiatan yang mendukung promosi kepariwisataan di Lampung, baik dalam bentuk lomba, wisata, pertunjukan, dan seminar dengan masing-masing sasarannya.
Spirit Krakatau hendaknya mampu mewarnai bahkan menjadi roh dalam setiap kegiatan-kegiatan di bawah payung FK. Lalu, untuk menegaskan dan menyatakan kepada masyarakat dunia bahwa Krakatau merupakan bagian dari daulat wilayah Provinsi Lampung, saya mengusulkan moto kepariwisataan Lampung menjadi Lampung Spirit of Krakatau.
Festival Krakatau
FK selama ini masih memanjakan kegiatan seputar lomba, wisata, dan pertunjukkan, tetapi tidak untuk seminar. Padahal, seminar dapat menjadi media yang produktif bagi lahirnya gagasan-gagasan cerdas untuk pengembangan FK atau dalam skala internasional lebih menjanjikan bagi kedatangan turis-turis mancanegara.
Pengalaman saya mengikuti Seminar Antarbangsa Hari Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, beberapa tahun lalu. Para ilmuan mancanegara yang diundang ke forum itu hanya diberi fasilitas akomodasi dan konsumsi selama kegiatan berlangsung. Sementara biaya transportasi didukung oleh pribadi maupun pihak-pihak lain yang mensponsori mereka.
Setelah kegiatan usai di antara mereka ada yang tinggal lebih lama atau kembali datang sebagai turis. Sebagai tokoh perkataan mereka mempunyai pengaruh di masyarakat dan merupakan bagian dari promosi.
Saya kira sudah saatnya FK melaksanakan Seminar International Krakatau yang mengundang para ilmuwan mancanegara. Selain kegiatan ini memiliki daya ledak tinggi, juga prosfektif sebagai mata kail untuk menggaet kehadiran wisatawan asing.
Bisa kita bandingkan dengan menghadirkan undangan para duta besar yang menjadi tradisi dalam FK. Dengan biaya jamuan yang luar biasa besar, dengan kemanjaan fasilitasi dan keamanan, tetapi efeknya sangat kecil bagi gaung FK ke masyarakat dunia dan kehadiran turis mancanegara.
Hal lain yang layak diperhitungkan adalah sasaran dari kegiatan yang dilaksanakan. Apakah diperuntukkan masyarakat umum, masyarakat seniman, atau audiens yang bersifat eksklusif (semisal para pejabat). Dengan demikian materi kegiatan dapat dipilih yang bersesuaian dengan sasaran.
Tentu saja pilihan materi kegiatan harus terus-menerus digagas secara kreatif dan inovatif. Saya kira jika ini terjadi, kegiatan FK akan menyentuh dan dirasakan oleh kalangan masyarakat luas. Itu berarti FK sebagai kegiatan pemda Provinsi Lampung tidak menjadi soal hendak dilaksanakan di kabupaten/kota. Pemda tinggal berkewajiban menyediakan anggaran yang leluasa. Saya yakin DPRD pun akan menyetujuinya. Tok!
Syaiful Irba Tanpaka, Sastrawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 September 2013
DISKUSI Lampung Bangkit II yang ditaja Lampung Post (17-8) dengan tema Membumikan Festival Krakatau (FK) masih menyisakan percikan pemikiran yang profetik. Opini yang diterbitkan Lampung Post menandai hal itu.
Isbedy Stiawan dengan tulisan Menuju FK yang Membumi (19-9) yang merupakan pandangan-pandangannya yang disampaikan saat diskusi. Atau Karina Lin dengan tulisan berjudul Festival Krakatau yang Galau (25-9), yang memandang perlunya revisi bagi penyelenggaraan FK agar membumi dan (membooming-pen). Karena itu, saya menjadi tergelitik untuk ikut memberi iuran pemikiran.
Sejak pertama kali FK dilaksanakan pada 1990 (setelah ditetapkannya Provinsi Lampung sebagai daerah tujuan wisata yang ke-18, 19 Juli 1989) yang dibuka oleh Menparpostel Soesilo Soedarman hingga pelaksanaannya yang ke-24 tahun ini (meskipun?kalau tidak salah?pernah ada satu tahun tidak dilaksanakan), FK lebih banyak menuai kritikan daripada pujian. Mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, publikasi, dan pencapaian hingga kegiatan yang tidak membumi, tidak kreatif atau copy paste. Belum lagi yang bersifat temporal seperti pelayanan terhadap pers dan masyarakat yang ikut dalam tur ke Krakatau. Hal-hal ini saya dapati, baik melalui pemberitaan media maupun omongan lepas orang seorang.
Mencermati FK memang banyak hal yang perlu dibenahi, terutama pada tahap perencanaan dan pendanaan. Tersebab kedua faktor ini memiliki kaitan yang signifikan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung (Disbudpar Lampung) sebagai corong promosi potensi-potensi kepariwisataan daerah Lampung harus mampu membuat teriakan-teriakan kencang dengan kegiatan-kegiatan yang memiliki daya ledak tinggi (big bang), sehingga terdengar ke mancanegara sebagai daya betot bagi para turis untuk berkunjung ke Lampung.
Spirit Krakatau
Krakatau memang pas dijadikan sebagai ikon festival bagi daerah Lampung. Lantaran secara administrasi berada di wilayah Lampung, di samping memiliki historis yang mengharu biru ingatan dunia dengan letusan dasyatnya pada 26?27 Agustus 1883. Daya ledaknya diperkirakan 30 ribu kali bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki pada perang Dunia II. Suara letusannya terdengar sampai Alice Springs, Australia, Pulau Rodrigues dekat Afrika, serta menewaskan 36 ribu jiwa. Hingga Krakatau menjadi bagian sejarah dunia.
Historia Krakatau yang serupa itu mengandung spiritualitas dan daya pukau yang meniscaya sehingga Krakatau layak dijadikan spirit bagi perencanaan FK. Utamanya dalam memilah dan memilih kegiatan-kegiatan yang mendukung promosi kepariwisataan di Lampung, baik dalam bentuk lomba, wisata, pertunjukan, dan seminar dengan masing-masing sasarannya.
Spirit Krakatau hendaknya mampu mewarnai bahkan menjadi roh dalam setiap kegiatan-kegiatan di bawah payung FK. Lalu, untuk menegaskan dan menyatakan kepada masyarakat dunia bahwa Krakatau merupakan bagian dari daulat wilayah Provinsi Lampung, saya mengusulkan moto kepariwisataan Lampung menjadi Lampung Spirit of Krakatau.
Festival Krakatau
FK selama ini masih memanjakan kegiatan seputar lomba, wisata, dan pertunjukkan, tetapi tidak untuk seminar. Padahal, seminar dapat menjadi media yang produktif bagi lahirnya gagasan-gagasan cerdas untuk pengembangan FK atau dalam skala internasional lebih menjanjikan bagi kedatangan turis-turis mancanegara.
Pengalaman saya mengikuti Seminar Antarbangsa Hari Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, beberapa tahun lalu. Para ilmuan mancanegara yang diundang ke forum itu hanya diberi fasilitas akomodasi dan konsumsi selama kegiatan berlangsung. Sementara biaya transportasi didukung oleh pribadi maupun pihak-pihak lain yang mensponsori mereka.
Setelah kegiatan usai di antara mereka ada yang tinggal lebih lama atau kembali datang sebagai turis. Sebagai tokoh perkataan mereka mempunyai pengaruh di masyarakat dan merupakan bagian dari promosi.
Saya kira sudah saatnya FK melaksanakan Seminar International Krakatau yang mengundang para ilmuwan mancanegara. Selain kegiatan ini memiliki daya ledak tinggi, juga prosfektif sebagai mata kail untuk menggaet kehadiran wisatawan asing.
Bisa kita bandingkan dengan menghadirkan undangan para duta besar yang menjadi tradisi dalam FK. Dengan biaya jamuan yang luar biasa besar, dengan kemanjaan fasilitasi dan keamanan, tetapi efeknya sangat kecil bagi gaung FK ke masyarakat dunia dan kehadiran turis mancanegara.
Hal lain yang layak diperhitungkan adalah sasaran dari kegiatan yang dilaksanakan. Apakah diperuntukkan masyarakat umum, masyarakat seniman, atau audiens yang bersifat eksklusif (semisal para pejabat). Dengan demikian materi kegiatan dapat dipilih yang bersesuaian dengan sasaran.
Tentu saja pilihan materi kegiatan harus terus-menerus digagas secara kreatif dan inovatif. Saya kira jika ini terjadi, kegiatan FK akan menyentuh dan dirasakan oleh kalangan masyarakat luas. Itu berarti FK sebagai kegiatan pemda Provinsi Lampung tidak menjadi soal hendak dilaksanakan di kabupaten/kota. Pemda tinggal berkewajiban menyediakan anggaran yang leluasa. Saya yakin DPRD pun akan menyetujuinya. Tok!
Syaiful Irba Tanpaka, Sastrawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 September 2013
No comments:
Post a Comment