Oleh Djadjat Sudradjat
KONFLIK Memisahkan, Pers Menginformasikan, Budaya Menyatukan." Itulah judul makalah yang saya sampaikan pada kuliah umum di depan 500 lebih mahasiswa baru Program Pascasarjana Universitas Lampung, Sabtu (31-8). Selain para mahasiswa baru pascasarjana yang menyimak, Rektor Sugeng P. Harianto, Direktur Pascasarjana Sudjarwo (yang mengundang saya), para pembantu rektor, dekan, para pembantu dekan, beberapa guru besar juga hadir hingga usai. Tak ada kegembiraan tak terhingga bagi seorang pembicara selain didengar.
Sesungguhnya judul di atas terasa simplistis, karena itu perlu didiskusikan dari banyak perspektif. Sebab, konflik tak selamanya memisahkan; pers kerap dinilai menginformasikan dengan tafsir dan subjektivitasnya sendiri, bahkan kadang menghilangkan sebagian fakta; dan (keragaman) budaya justru kerap jadi sumber ketegangan dan konflik.
Tetapi, konflik disertai kekerasan, bisa dipastikan memisahkan, meninggalkan trauma, dan mempersempit cakrawala. Ruang syakwasangka diperluas, ruang kebersamaan dipersempit. Semangat toleransi dibuang dan kehendak menegasi disimpan, bahkan dikobarkan. "Produksi" stigma dan labelisasi kian diperbanyak, sementara produksi apresiasi dihentikan. Di sinilah kebenaran menjadi korban yang pertama.
Dan, pers, betapa pun distortifnya, ia tetap menginformasikan dengan berbasis fakta. Betapa pun pers dinilai kerap menjadi "ruang narsisme" para pemiliknya, ia tetap tak akan lari dari realita sosial. Sebab, di tengah masyarakat yang kian kritis, "pers kuning" akan dibuang ke dalam keranjang sampah.
Kebudayaan, betapa pun keragamannya bisa memicu konflik, jika ia dikelola dengan cerdas bisa menjadi perekat. Kebudayaan sebagai "kata kerja" seperti kata ahli bahasa dan budaya Van Peursen, bahkan sebuah "learning process", proses pelajaran yang terus-menerus. Di dalam proses ini kreativitas dan inventivitas (penciptaan) bukan saja faktor amat penting, melainkan saling mengait. Dan di situ selalu ada pertimbangan etis. Kebudayaan memang sebuah siasat manusia untuk menghadapi hari depannya. Konflik di Lampung sungguhlah mencemaskan. Dan, kerja kebudayaan, haruslah mencari cara penyelesaian terbaik. Terlebih konflik agraria di Register 45 Mesuji karena kesalahan negara sejak awal (terlalu berpihak pada perusahaan dan abai pada rakyat setempat), hingga kini terus saja terjadi.
Tentu saja konflik kekerasan warga Desa Napal versus Kotadalam, dan yang sangat memukul, di Desa Balinuraga (sebagian Sidereno), Way Panji, Lampung Selatan, tahun lalu, soal yang juga tak main-main. Belasan manusia tewas mengerikan, ratusan rumah hancur dibakar. Di sini amarah dibalut dendam seperti menemukan ruangnya yang paling purba. Padahal, kita hidup dalam peradaban modern yang memuliakan manusia.
Kita baru menyadari betapa Lampung yang punya tradisi lebih dari satu abad hidup bersama antara yang lokal dan pendatang, ternyata menyimpan masalah. Ditambah kesalahan negara yang tak kunjung diperbaiki. Seperti kata sosiolog Universitas Lampung, Hartoyo, integrasi masyarakat Lampung sesungguhnya dipaksakan. Karena "kehendak sejarah", yakni migrasi besar-besaran dari Pulau Jawa di awal abad 20 hingga pertengahan, yang tak memikirkan bagaimana pembauran yang "menyatukan".
Habislah energi kita jika terus mengutuki sejarah. Adalah tugas manusia hari ini meluruskannya, juga konflik di Register 45 Mesuji dan Lampung Selatan, di mana pun. Dan ini tugas utama negara. Berbagai pandangan, pikiran, gagasan, sudah banyak dikemukakan oleh banyak pihak, dan negara harus berada di depan, menjadi penyelesai utama berbagai konflik.
Kenapa negara? Pertama, karena konflik sosial, khususnya di Lampung, faktor utamanya ketidakadilan, kesenjangan ekonomi-sosial. Kedua, dalam transisi demokrasi banyak pihak masih sibuk "merumuskan identitas" dirinya. Ketiga, negara memang yang paling banyak punya andil menanam bibit konflik (terutama konflik agraria) karena terlalu berpihak pada pengusaha dan meminggirkan rakyat. Keempat, negara punya segalanya: kewenangan, berbagai institusi yang dibutukan plus aparat terbaiknya, dan dana. Bukankah negara (terutama eksekutif) yang memang diberi tugas konstitusi mengelola masyarakat dan wilayahnya?
Kini saatnya Lampung yang multikultur menjemput masa depannya, membangun modal sosial yang kuat. Yang lokal harus bisa merumuskan identitas kulturalnya sendiri (harus dijauhkan klaim mana yang paling Lampung), yang pendatang jangan asyik dengan dirinya sendiri. Isu "Lampungisasi birokrasi" juga harus dipastikan tak benar. Sebab, ini akan menambah bibit konflik. Para calon pemimpin daerah harus tahu betul karakteristik Lampung, keunggulan, dan kelemahannya, plus bagaimana mengelolanya.
Sekali lagi, "Lampung, terlalu sayang untuk tidak dicintai."
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 September 2013
KONFLIK Memisahkan, Pers Menginformasikan, Budaya Menyatukan." Itulah judul makalah yang saya sampaikan pada kuliah umum di depan 500 lebih mahasiswa baru Program Pascasarjana Universitas Lampung, Sabtu (31-8). Selain para mahasiswa baru pascasarjana yang menyimak, Rektor Sugeng P. Harianto, Direktur Pascasarjana Sudjarwo (yang mengundang saya), para pembantu rektor, dekan, para pembantu dekan, beberapa guru besar juga hadir hingga usai. Tak ada kegembiraan tak terhingga bagi seorang pembicara selain didengar.
Sesungguhnya judul di atas terasa simplistis, karena itu perlu didiskusikan dari banyak perspektif. Sebab, konflik tak selamanya memisahkan; pers kerap dinilai menginformasikan dengan tafsir dan subjektivitasnya sendiri, bahkan kadang menghilangkan sebagian fakta; dan (keragaman) budaya justru kerap jadi sumber ketegangan dan konflik.
Tetapi, konflik disertai kekerasan, bisa dipastikan memisahkan, meninggalkan trauma, dan mempersempit cakrawala. Ruang syakwasangka diperluas, ruang kebersamaan dipersempit. Semangat toleransi dibuang dan kehendak menegasi disimpan, bahkan dikobarkan. "Produksi" stigma dan labelisasi kian diperbanyak, sementara produksi apresiasi dihentikan. Di sinilah kebenaran menjadi korban yang pertama.
Dan, pers, betapa pun distortifnya, ia tetap menginformasikan dengan berbasis fakta. Betapa pun pers dinilai kerap menjadi "ruang narsisme" para pemiliknya, ia tetap tak akan lari dari realita sosial. Sebab, di tengah masyarakat yang kian kritis, "pers kuning" akan dibuang ke dalam keranjang sampah.
Kebudayaan, betapa pun keragamannya bisa memicu konflik, jika ia dikelola dengan cerdas bisa menjadi perekat. Kebudayaan sebagai "kata kerja" seperti kata ahli bahasa dan budaya Van Peursen, bahkan sebuah "learning process", proses pelajaran yang terus-menerus. Di dalam proses ini kreativitas dan inventivitas (penciptaan) bukan saja faktor amat penting, melainkan saling mengait. Dan di situ selalu ada pertimbangan etis. Kebudayaan memang sebuah siasat manusia untuk menghadapi hari depannya. Konflik di Lampung sungguhlah mencemaskan. Dan, kerja kebudayaan, haruslah mencari cara penyelesaian terbaik. Terlebih konflik agraria di Register 45 Mesuji karena kesalahan negara sejak awal (terlalu berpihak pada perusahaan dan abai pada rakyat setempat), hingga kini terus saja terjadi.
Tentu saja konflik kekerasan warga Desa Napal versus Kotadalam, dan yang sangat memukul, di Desa Balinuraga (sebagian Sidereno), Way Panji, Lampung Selatan, tahun lalu, soal yang juga tak main-main. Belasan manusia tewas mengerikan, ratusan rumah hancur dibakar. Di sini amarah dibalut dendam seperti menemukan ruangnya yang paling purba. Padahal, kita hidup dalam peradaban modern yang memuliakan manusia.
Kita baru menyadari betapa Lampung yang punya tradisi lebih dari satu abad hidup bersama antara yang lokal dan pendatang, ternyata menyimpan masalah. Ditambah kesalahan negara yang tak kunjung diperbaiki. Seperti kata sosiolog Universitas Lampung, Hartoyo, integrasi masyarakat Lampung sesungguhnya dipaksakan. Karena "kehendak sejarah", yakni migrasi besar-besaran dari Pulau Jawa di awal abad 20 hingga pertengahan, yang tak memikirkan bagaimana pembauran yang "menyatukan".
Habislah energi kita jika terus mengutuki sejarah. Adalah tugas manusia hari ini meluruskannya, juga konflik di Register 45 Mesuji dan Lampung Selatan, di mana pun. Dan ini tugas utama negara. Berbagai pandangan, pikiran, gagasan, sudah banyak dikemukakan oleh banyak pihak, dan negara harus berada di depan, menjadi penyelesai utama berbagai konflik.
Kenapa negara? Pertama, karena konflik sosial, khususnya di Lampung, faktor utamanya ketidakadilan, kesenjangan ekonomi-sosial. Kedua, dalam transisi demokrasi banyak pihak masih sibuk "merumuskan identitas" dirinya. Ketiga, negara memang yang paling banyak punya andil menanam bibit konflik (terutama konflik agraria) karena terlalu berpihak pada pengusaha dan meminggirkan rakyat. Keempat, negara punya segalanya: kewenangan, berbagai institusi yang dibutukan plus aparat terbaiknya, dan dana. Bukankah negara (terutama eksekutif) yang memang diberi tugas konstitusi mengelola masyarakat dan wilayahnya?
Kini saatnya Lampung yang multikultur menjemput masa depannya, membangun modal sosial yang kuat. Yang lokal harus bisa merumuskan identitas kulturalnya sendiri (harus dijauhkan klaim mana yang paling Lampung), yang pendatang jangan asyik dengan dirinya sendiri. Isu "Lampungisasi birokrasi" juga harus dipastikan tak benar. Sebab, ini akan menambah bibit konflik. Para calon pemimpin daerah harus tahu betul karakteristik Lampung, keunggulan, dan kelemahannya, plus bagaimana mengelolanya.
Sekali lagi, "Lampung, terlalu sayang untuk tidak dicintai."
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 September 2013
No comments:
Post a Comment