LIWA (Lampost): Ratusan warga dari empat kecamatan di wilayah Krui, Kabupaten Pesisir Barat, mendatangi kantor DPRD Lampung Barat, Selasa (10-9), untuk menyampaikan surat keputusan Mahkamah Konstitusi terkait keberadaan hutan adat di wilayah masyarakat hukum adat.
Warga meminta DPRD dan Pemkab Lambar menerbitkan peraturan daerah (perda) hutan adat terkait penegasan keputusan MK itu. Koordinator aksi, Nazrul, dalam orasinya menyatakan kedatangan ratusan warga Krui?dari Kecamatan Bengkunatbelimbing, Bengkunat, Ngambur, dan Pesisir Selatan?ke kantor DPRD Lambar itu untuk membacakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan surat edaran menteri kehutanan terkait hutan adat yang berada di wilayah hukum adat. Tujuannya, mendesak Pemkab dan DPRD Lampung Barat membuat peraturan daerah untuk mempertegas keputusan tersebut.
"Kami masyarakat yang berada di wilayah tanah hutan produksi terbatas dan hutan lindung, khususnya di wilayah Pesisir Barat, meminta Pemerintah Daerah segera menetapkan perda secepatnya terkait putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 dan SE Menhut RI Nomor SE.1/Menhut.11/2013 yang ditetapkan di Jakarta 16 Juli 2013 oleh menhut," ujar Nazrul.
Dia kemudian menyerahkan berkas keputusan MK dan SE menhut kepada Ketua DPRD Dadang Sumpena, Wakil Bupati Lambar Makmur Azhari, dan Kadis Kehutanan Amirian.
Kepada Lampung Post, Nazrul mengatakan dalam keputusan MK menyatakan Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga rumusan Pasal 1 angka 6 diubah menjadi, "Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat".
Atas dasar itu, massa meminta hak kepemilikan tanah adat dikembalikan kepada masyarakat adat. "Kami meminta Pemkab segera menerapkan aturan tersebut melalui peraturan daerah," kata Nazrul.
Sementara itu, Wakil Bupati Makmur Azhari mengatakan pihaknya akan mempelajari lebih dahulu keputusan MK sebelum memproses lebih lanjut, mengingat yang berwewenang mengeksekusi keputusan itu adalah Kementerian Kehutanan.
"Yang punya wewenang mengeksekusi keputusan itu Kementerian Kehutanan, seperti halnya keputusan MK terkait akta kelahiran, baru bisa diterapkan di daerah ketika sudah ada keputusan Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat Amirian mengaku bingung terkait keberadaan hutan adat yang dipertanyakan masyarakat pesisir. "Memang ada keputusan MK terkait hutan adat, tapi saya juga bingung yang dimaksud hutan adat itu yang mana dan di wilayah mana, karena itu kita akan pelajari lebih dahulu," kata Amirian.
Sementara terkait keberadaan hutan produksi terbatas (HPT) seluas sekitar 33.358 hektare yang ada di wilayah pesisir, menurut Amirian, jika mengacu pada versi Kementerian Kehutanan, hutan itu merupakan hutan negara. "Kalau kami justru senang jika memang HPT itu yang dimaksud hutan adat, sebab itu kami akan mempelajari lebih dahulu," ujarnya.
Sebelum mendatangi kantor DPRD Lambar, massa yang menggunakan 11 truk dan 3 pikap sempat mendatangi kantor bupati Pesisir Barat guna meminta izin kepada Pemkab setempat untuk menyampaikan aspirasi ke gedung Dewan kabupaten induk.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pesisir Barat Syamsu Hilal, usai menemui korlap aksi, mengatakan massa hanya meminta izin kepada Pemkab Pesisir Barat sebagai wilayah tempat para warga tersebut tinggal. "Tadi mereka hanya meminta izin dan doa restu untuk memperjuangkan dan menuntut hak mereka ke DPRD Lambar di Liwa," kata dia.
Terkait aksi warga Kabupaten Pesisir Barat, Penjabat Bupati Kabupaten Pesisir Barat Kherlani mengatakan merupakan hak seseorang untuk menyalurkan aspirasi dan mengeluarkan pendapat.
"Aspirasi boleh-boleh saja disalurkan, hak orang untuk mengeluarkan pendapat, bisa saja dilakukan tanpa harus demo seperti dengan mengirim perwakilan warga. Sebab, dikhawatirkan dalam aksi yang melibatkan massa dalam jumlah besar bisa saja dimanfaatkan segelintir orang yang memang mencari keuntungan," ujar Kherlani, di ruang kerjanya, kemarin. (CK1/CK3/D3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 11 September 2013
Warga meminta DPRD dan Pemkab Lambar menerbitkan peraturan daerah (perda) hutan adat terkait penegasan keputusan MK itu. Koordinator aksi, Nazrul, dalam orasinya menyatakan kedatangan ratusan warga Krui?dari Kecamatan Bengkunatbelimbing, Bengkunat, Ngambur, dan Pesisir Selatan?ke kantor DPRD Lambar itu untuk membacakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan surat edaran menteri kehutanan terkait hutan adat yang berada di wilayah hukum adat. Tujuannya, mendesak Pemkab dan DPRD Lampung Barat membuat peraturan daerah untuk mempertegas keputusan tersebut.
"Kami masyarakat yang berada di wilayah tanah hutan produksi terbatas dan hutan lindung, khususnya di wilayah Pesisir Barat, meminta Pemerintah Daerah segera menetapkan perda secepatnya terkait putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 dan SE Menhut RI Nomor SE.1/Menhut.11/2013 yang ditetapkan di Jakarta 16 Juli 2013 oleh menhut," ujar Nazrul.
Dia kemudian menyerahkan berkas keputusan MK dan SE menhut kepada Ketua DPRD Dadang Sumpena, Wakil Bupati Lambar Makmur Azhari, dan Kadis Kehutanan Amirian.
Kepada Lampung Post, Nazrul mengatakan dalam keputusan MK menyatakan Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga rumusan Pasal 1 angka 6 diubah menjadi, "Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat".
Atas dasar itu, massa meminta hak kepemilikan tanah adat dikembalikan kepada masyarakat adat. "Kami meminta Pemkab segera menerapkan aturan tersebut melalui peraturan daerah," kata Nazrul.
Sementara itu, Wakil Bupati Makmur Azhari mengatakan pihaknya akan mempelajari lebih dahulu keputusan MK sebelum memproses lebih lanjut, mengingat yang berwewenang mengeksekusi keputusan itu adalah Kementerian Kehutanan.
"Yang punya wewenang mengeksekusi keputusan itu Kementerian Kehutanan, seperti halnya keputusan MK terkait akta kelahiran, baru bisa diterapkan di daerah ketika sudah ada keputusan Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat Amirian mengaku bingung terkait keberadaan hutan adat yang dipertanyakan masyarakat pesisir. "Memang ada keputusan MK terkait hutan adat, tapi saya juga bingung yang dimaksud hutan adat itu yang mana dan di wilayah mana, karena itu kita akan pelajari lebih dahulu," kata Amirian.
Sementara terkait keberadaan hutan produksi terbatas (HPT) seluas sekitar 33.358 hektare yang ada di wilayah pesisir, menurut Amirian, jika mengacu pada versi Kementerian Kehutanan, hutan itu merupakan hutan negara. "Kalau kami justru senang jika memang HPT itu yang dimaksud hutan adat, sebab itu kami akan mempelajari lebih dahulu," ujarnya.
Sebelum mendatangi kantor DPRD Lambar, massa yang menggunakan 11 truk dan 3 pikap sempat mendatangi kantor bupati Pesisir Barat guna meminta izin kepada Pemkab setempat untuk menyampaikan aspirasi ke gedung Dewan kabupaten induk.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pesisir Barat Syamsu Hilal, usai menemui korlap aksi, mengatakan massa hanya meminta izin kepada Pemkab Pesisir Barat sebagai wilayah tempat para warga tersebut tinggal. "Tadi mereka hanya meminta izin dan doa restu untuk memperjuangkan dan menuntut hak mereka ke DPRD Lambar di Liwa," kata dia.
Terkait aksi warga Kabupaten Pesisir Barat, Penjabat Bupati Kabupaten Pesisir Barat Kherlani mengatakan merupakan hak seseorang untuk menyalurkan aspirasi dan mengeluarkan pendapat.
"Aspirasi boleh-boleh saja disalurkan, hak orang untuk mengeluarkan pendapat, bisa saja dilakukan tanpa harus demo seperti dengan mengirim perwakilan warga. Sebab, dikhawatirkan dalam aksi yang melibatkan massa dalam jumlah besar bisa saja dimanfaatkan segelintir orang yang memang mencari keuntungan," ujar Kherlani, di ruang kerjanya, kemarin. (CK1/CK3/D3)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 11 September 2013
No comments:
Post a Comment