Oleh Udo Z. Karzi
UPAYA pemerintah untuk membuat pendidikan murah -- kalau tidak gratis -- tidak kurang-kurangnya. Betapa banyak bantuan pemerintah di bidang pendidikan, seperti biaya operasional sekolah (BOS), dana alokasi khusus (DAK), beasiswa, dan block grant. Tapi, betapa biaya pendidikan, tidak terkecuali sekolah negeri sekalipun, tidak pernah menjadi ringan.
Kisah sedih pendidikan ini terjadi awal Juni lalu. Tiga siswa SMP Negeri 6 Banjaragung, Tulangbawang, justru tidak dapat mengikuti ujian semester karena belum melunasi pembayaran bangku sekolah. Kondisi ini jelas menyesakkan dada orang tua mereka.
Seorang wali murid sekolah itu, Sap (35), warga Kampung Tunggalwarga, Kecamatan Banjaragung, menyesalkan sikap pihak sekolah yang tidak membolehkan ketiga siswa itu mengikuti ujian semester.
Menurut Sap, berdasarkan program Pemerintah Pusat dan Daerah, pendidikan mulai dari SD sampai SMP di sekolah negeri tidak dipungut biaya sedikit pun, atau dengan kata lain pendidikan gratis selama sembilan tahun.
"Anak saya tidak boleh ikut ujian semester gara-gara belum melunasi pembayaran uang sekolah Rp100 ribu. Secara pribadi saya sangat menyayangkan kebijakan sekolah atas persoalan itu," kata Sap di Banjaragung, Kamis (10-6) lalu.
Saat masuk ke SMP Negeri 6 Banjaragung, setiap wali murid dipungut biaya Rp257 ribu. Biaya tersebut digunakan untuk berbagai keperluan dan perlengkapan siswa.
Tanggapan pihak sekolah lebih lucu lagi. Bendahara SMPN 6 Banjaragung Prawoto mengatakan biaya sebesar itu merupakan program dan usulan dari komite sekolah yang sudah dimusyawarahkan bersama dengan seluruh wali murid. Pengelolaan langsung ditangani komite sekolah.
"Semua biaya ditangani oleh komite. Pihak sekolah sifatnya hanya mengetahui. Tentunya, maju dan berkembangnya sekolah adalah tanggung jawab bersama antara wali murid, komite, dan sekolah," kata Prawoto.
Dia memerinci uang tersebut untuk pembayaran kartu siswa Rp5.000, baju batik Rp50 ribu, pakaian olahraga Rp67 ribu, topi-dasi dan atribut Rp35 ribu serta pembuatan mebel atau bangku sekolah Rp100 ribu. Total biaya yang harus dikeluarkan setiap wali murid Rp257 ribu.
Regulasi Tidak Jelas
Usut punya usut, ternyata arah kebijakan pendidikan Indonesia tidak jelas, mulai dari Undang-Undang Bakum Perguruan Tinggi (UU BHP) untuk perguruan tinggi. Persoalan dalam dunia pendidikan ini berlanjut hingga ke UU Sisdiknas.
"Keseluruhan aturan perundang-undangan tersebut seluruhnya menuju pada adanya kapitalisasi, kastanisasi (penggolongan), dan liberalisasi pendidikan," ujar pengamat pendidikan Darmaningtyas.
Dalam dunia pendidikan tinggi, penggolongan ini dibuktikan dengan adanya perbedaan status perguruan tinggi negeri (PTN), yakni ada yang berstatus BHP (Badan Hukum Pendidikan), BLU (Badan Layanan Umum), dan sebagainya.
"Status ini secara tidak langsung menunjukkan adanya penggolongan, di mana PT berstatus BHP hanya untuk mahasiswa dari keluarga kaya karena biaya pendidikannya mahal, dan yang berstatus BLU merupakan perguruan tinggi bagi mahasiswa dari keluarga menengah," kata Darmaningtyas.
Adanya penggolongan ini juga terjadi pada lembaga pendidikan dasar dan menengah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sekolah berstatus SBI (sekolah berstandar internasional), RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional), SBN (sekolah berstandar nasional), RSBN (rintisan sekolah berstandar nasional), dan sebagainya.
Yang memprihatinkan, kata Darmaningtyas, adanya penggolongan ini juga telah menimbulkan dampak kapitalisasi dalam dunia pendidikan. "Semuanya sekarang diukur dengan kapitalisasi. Sekolah saling berlomba untuk menjadi sekolah RSBI agar bisa menghimpun dana sebesar-besarnya dari masyarakat," ujarnya.
Dalam penilaian Darmaningtyas, dunia pendidikan di Tanah Air sudah buruk. Bahkan, dia menyebutkan kondisi dunia pendidikan pada zaman Orde Baru justru jauh lebih baik daripada setelah era reformasi sekarang ini.
"Pada zaman Orde Baru di dunia pendidikan tidak ada kapitalisasi, penggolongan, dan liberalisasi. Tapi setelah era reformasi ini, ketiga hal yang mestinya diajarkan dalam materi pendidikan untuk dihindari, justru sudah merasuk sedemikian rupa," kata dia saat hadir sebagai pembicara diskusi bertema Masalah pendidikan di kantor LSM LPPSLH (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup) Purwokerto, Kamis (1-7).
Dia menyebutkan pada zaman Orde Baru seluruh warga negara relatif mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas, bahkan hingga pendidikan tinggi. Pada masa itu asalkan pandai dan diterima di perguruan tinggi negeri, keluarga dengan latar belakang ekonomi kecil dan menengah relatif bisa mengenyam dunia pendidikan tinggi.
"Namun sekarang, anak dari keluarga miskin sudah tidak mungkin lagi mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan, anak dari keluarga menengah pun untuk menguliahkan anaknya ke program studi favorit, seperti kedokteran, harus berpikir dua kali," kata dia.
SD Pakai Tes
Fenomena lain lagi, betapa telah terjadi kekacauan pola pikir di tingkat praksis dunia pendidikan, yakni tentang bagaimana beberapa sekolah dasar telah melaksanakan tes kepada calon siswanya. Padahal, semua pihak harusnya mafhum bahwa wajib belajar sembilan tahun telah menempatkan sekolah dasar dan SLTP sebagai hak bagi siapa pun untuk menikmatinya.
Mungkin karena gerah dengan berbagai informasi tentang tes masuk SD ini, Menko Kesra Agung Laksono melarang tes bagi siswa yang akan masuk SD. Sebab, persyaratan memakai tes bertentangan dengan program wajib belajar.
"Jika masih ada penyelenggara pendidikan dasar melakukan seleksi masuk berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, jelas mengabaikan larangan pemerintah. Untuk itu, harus segera dihentikan. Dinas atau instansi terkait diharapkan dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat," kata Agung dalam siaran pers, Selasa (29-6).
Larangan SD mengadakan tes seleksi masuk bagi para calon peserta didik berdasarkan pada konsistensi pemerintah melaksanakan wajib belajar sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah umum tingkat pertama (SMP).
"Dengan adanya larangan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Nasional ini, diharapkan para orang tua calon peserta didik tidak mengalami hambatan dalam menyekolahkan anak-anak mereka," kata dia.
Agung meminta penyelenggara pendidikan tingkat dasar, baik negeri maupun swasta, tidak perlu mengadakan tes seleksi masuk, kecuali menetapkan persyaratan bahwa anak usia 7--12 tahun bisa mengikuti proses belajar di SD.
Pengamat pendidikan Arief Rahman setuju dengan pelarangan tes masuk bagi siswa yang akan masuk SD. Tes bisa dilaksanakan hanya untuk pemetaan kecerdasan siswa. Dia menjelaskan yang menjadi persoalan mungkin bagi SD favorit. Misalnya, mereka hanya memiliki 60 kursi, sedangkan yang melamar 200 orang.
"Untuk itu, bisa dipakai dengan cara siapa yang mendaftar lebih dahulu. Itu lebih objektif. Sekolah favorit itu tentu ingin dapat siswa yang unggul, tapi itu bertentangan dengan prinsip education for all. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang baik," kata dia.
Gagal Masuk Negeri
Dalam tahun ajaran 2010--2011 ini setidaknya 5.207 calon siswa SMA di Bandar Lampung harus mencari sekolah swasta. Pasalnya, dari total pendaftar 8.549 siswa, hanya 3.342 siswa yang diterima di 15 SMAN di Bandar Lampung. Sementara itu, sebanyak 7.800 lulusan SD di Bandar Lampung gagal masuk SMP negeri karena dari 14.823 lulusan, hanya 7.023 yang diterima.
Koordinator Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 15 SMPN se-Bandar Lampung Hariyanto mengatakan 14.823 siswa lulusan SD di Bandar Lampung mengikuti tes penerimaan siswa baru (PSB) di 29 SMP negeri di Bandar Lampung.
Dari 29 sekolah negeri itu, hanya 7.023 peserta didik baru yang tertampung sehingga 7.800 lulusan SD di Bandar Lampung harus memilih sekolah bukan negeri.
Namun, Hariyanto mengatakan tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anak mereka karena keterbatasan daya tampung. Saat ini di Bandar Lampung terdapat 77 SMP swasta yang memiliki daya tampung sekitar 7.500 siswa baru.
Sejuta Anak Putus Sekolah
Puncak dari kegagalan "pendidikan untuk semua" alias wajib belajar sembilan tahun adalah adanya fakta yang menyatakan bahwa terdapat 1 juta lebih anak usia 7--15 tahun (SD dan SMP) setiap tahun putus sekolah, terutama mereka yang tinggal di pelosok daerah terpencil.
Ada berbagai faktor yang membuat mereka putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orang tua.
Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktek diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.
Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi. "Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas," kata Arevi Yestia, siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8-7).
Menurut Arevi, orang tua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil.
Fasli Jalal sendiri mengakui sekitar 3--4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sedangkan kemampuan pemerintah terbatas.
Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi, 4 juta anak lahir setiap tahunnya.
Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD, sudah masuk; atau terlambat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah-daerah memang jauh dari permukiman masyarakat. Lalu, dari segi jumlah masih perlu penambahan.
Sebuah apologi saja, mengingat bagaimana pemerintah begitu memanjakan sekolah tertentu yang bermerek internasional atau unggulan dengan bantuan ratusan juta per sekolah -- dan mengabaikan sekolah-sekolah pinggiran di banyak pelosok Tanah Air -- tidak aneh bila terdengar berita gedung sekolah di suatu tempat tidak terawat, bahkan ada yang roboh.
Begitu.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Juli 2010
No comments:
Post a Comment