Oleh Novellia Yulistin
FESTIVAL Krakatau sebagai suatu ajang promosi kepariwisataan Provinsi Lampung, seharusnya, menunjukkan peningkatan serta profesonalisme yang baik dari segi penyelengaraan maupun materi kegiatan, sehingga menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara.
Namun dari kenyataan yang ada, Festival Krakatau yang telah berumur 20 tahun sama sekali tidak menunjukkan peningkatan promosi yang profesional sebagaimana tujuan di atas.
Kebingungan ini memang dimaklumi. Sebab, kepanitiaan tidak memiliki standar pijakan tentang apa yang akan dijual dari pemilihan ikon Krakatau tersebut. Sehingga yang terjadi dari dulu sampai sekarang adalah ajang perlombaan ini dan itu yang diisi sedikit dengan budaya tradisi serta tur ke Gunung Krakatau. Kemudian selesai sudah gebyar Festival Krakatau.
Selanjutnya, kita menunggu kembali even itu tahun depan. Sedangkan kata kunci dari minat seseorang untuk hadir ke Lampung karena keunikan dan kepentingan.
Dari sudut teknis penyelenggaraan dan penyajian perlombaan sesungguhnya saya sebagai asli suku Lampung sangat miris. Seolah-olah Fesitival Krakatau merupakan ajang unjuk gigi para seniman yang tidak sehat dan kadang-kadang melupakan kaedah-kaedah serta norma-norma. Lalu, sama sekali melupakan substansi dari Festival Krakatau yang mengandung nilai-nilai promosi dan seharusnya menyajikan apa yang memberi kekhasan Lampung.
Dengan kata lain, penyajian perlombaan ini merupakan salah satu penggembira untuk para wisatawan, bukan substansi Festival Krakatau itu sendiri. Sayangnya, jangankan wisatawan, masyarakat Lampung sendiri tidak ada yang hadir kecuali panitia dan peserta lomba serta para seniman yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Demikian pula profesionalisme panitia yang harus dikritisi. Sebagai contoh, kebetulan saya hadir pada perlombaan tari kreasi. Di tengah-tengah pegelaran berlangsung, tiba-tiba lampu padam. Sedangkan, lampu belakang ruangan menyala. Namun, tidak ada usaha dari panitia untuk menyalakan lampu tersebut. Banyak alasan disampaikan panitia.
Pertanyaannya, sebelum perlombaan dilaksanakan telah terjadi hal yang sama pada waktu geladiresik. Namun, apakah hal itu tidak diantisipasi baik terhadap kerusakannya maupun alternatif lain seandainya terjadi hal yang di luar kekuasaan manusia. Misalnya mempersiapkan penerangan manual?
Kedua, beberapa panitia mengatakan masalah itu adalah human error karena teknisinya bukan yang biasa menangani. Padahal, justru inilah yang sangat naïf yaitu mengambinghitamkan orang lain, mengapa kita menyerahkan kepada orang yang bukan ahlinya?
Selanjutnya, apakah perlombaan tersebut sebagai kompetisi yang kurang sehat dari para seniman-seniman yang terlibat? Karena setiap tahun selalu ada masalah di antara peserta lomba.
Dari beberapa masalah, yang perlu dikritisi antara lain, sebagai ajang kompetisi yang menghabiskan dana tidak sedikit itu, mengapa penyelenggara melupakan semua substansi dari Festival Krakatau yaitu untuk meningkatkan pariwisata Lampung. Apakah para seniman yang terlibat mempergunakan dana Festival Krakatau sebagai satu-satunya tempat untuk berkreasi? Lantas mau dibawa kemana Festival Krakatau?
* Novellia Yulistin, Ketua KPSBR-Lampung dan Wanhat UKMBS UBL
Sumber: Radar Lampung, Selasa, 6 Juli 2010
No comments:
Post a Comment