SUKADANA (Lampost): Pembumihangusan rumah-rumah nelayan di Kualakambas, kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Kamis (15-7), mengakibatkan puluhan warga kini hidup terlunta-lunta.
DIBAKAR APARAT. Seorang ibu, warga Kualakambas, Lampung Timur, meratapi rumahnya di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang habis dibakar oleh aparat gabungan, Jumat (16-7).(LAMPUNG POST/AGUS SUSANTO)
Selain kehilangan tempat berteduh dan kedinginan, warga yang di antaranya para lansia dan balita terancam kelaparan. Mereka tidak bisa memasak karena tak ada stok makanan dan kehilangan peralatan dapur. Terlebih sejak Kamis (15-7) malam hujan terus turun dan baru reda sekitar pukul 10.00 kemarin.
Sekitar 20-an warga yang masih tersisa itu tinggal berdesak-desakan di musala kecil berukuran 8 x 5 meter yang atapnya pun bocor. Lainnya berteduh di bawah pohon atau tidur-tiduran beratap perahu yang dibalik.
"Setelah rumah kami dibakar saya tidak bisa tidur, karena tidak ada tempat berteduh. Jika malam, cuaca sangat dingin karena dekat laut," kata Rositah (30), kemarin (16-7), sembari menggendong anaknya yang berusia 6 bulan. Satu orang anaknya lagi berusia 3 tahun.
Di perkampungan itu, sedikitnya ada 30 rumah nelayan. Tetapi, sebanyak 18 di antaranya ditinggalkan penghuninya karena petugas terus meminta agar mereka meninggalkan rumah di tepi pantai yang masuk wilayah TNWK tersebut.
Mereka yang meninggalkan tempat tersebut biasanya karena memiliki tempat tinggal lain di luar Kualakambas. Lainnya memilih bertahan seperti Samin (60). "Saya tidak punya tempat tinggal lain selain di sini," ujar Samin yang tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Kemarin tim gabungan yang terdiri atas polhut dan polisi berencana menggusur rumah-rumah nelayan di Kualasekapuk, yang juga masuk wilayah TNWK. Tetapi, rencana dibatalkan karena gelombang laut sedang tinggi.
"Untuk menuju Kualasekapuk dari Kualakambas harus menumpuh jarak 15 km. Dan itu harus melalui jalan laut," ujar Bambang, salah seorang anggota polhut TNWK, kemarin.
Sementara itu, warga perkampungan Kualasekapuk yang jumlahnya sekitar 450 orang menyatakan siap melawan tim gabungan yang akan membumihanguskan rumah-rumah mereka.
"Hingga titik darah terakhir, kami akan melawan anggota Polri dan Polhut jika mereka tetap akan mengusir kami," ujar Jasrul Tanjung (30), warga Kualasekapuk. Alasan Jasrul, mereka tinggal di Kualasekapuk bukan untuk merusak hutan, melainkan hanya untuk mencari ikan di laut.
Ratusan warga itu kemarin berkumpul membicarakan nasib mereka. Warga yang memiliki rumah di luar tempat itu mulai mengungsikan istri dan anaknya. Sementara yang tidak punya tempat tinggal lain memilih bertahan di tempat itu.
Tidak Manusiawi
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi Lampung, Anang Prihantoro, menyayangkan pengusiran warga dari Kualakambas yang tidak disertai pembinaan untuk masa depan mereka.
Menurut Anang, areal hutan tersebut memang harus dijaga agar tetap lestari dan tidak menjadi perkampungan yang lebih besar. "Memang sebelum diusir, ada sosialisasi. Namun sosialisasi itu untuk menggusur, bukan pembinaan. Warga dipaksa alih profesi dari nelayan tanpa ada pembinaan. Kalau masyarakat jadi telantar itu adalah hal yang ironi sekali. Negara tidak bisa melindungi warganya," kata Anang melalui telepon.
Hari ini (17-7), menurut Anang, anggota DPD Iswandi meninjau Kualakambas dan Kualakapuk. "Kami akan mencari informasi dan data-data yang valid terkait pengusiran tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Aliansi Peduli Nelayan Sekapuk (APNS) yang terdiri atas Serikat Tani Indonesia (Sertani), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menilai tindakan aparat yang mengusir warga dari Kualakambas dan Kualakapuk merupakan tindakan tidak manusiawi.
"Tuduhan pihak TNWK yang mengatakan para nelayan tersebut akan merusak konservasi hutan dan illegal logging tersebut tidak logis. Dari data yang dikumpulkan di lapangan, ada lima poin penting yang menggugurkan tuduhan tersebut," kata Juandi Sinurat (Sertani) yang didampingi oleh Abu Hasan (STN), Suryo Cahyono (Sertani), Adi Supermaret (STI), dan Lamen Hendra (LMND), saat datang ke kantor redaksi Lampung Post kemarin.
Mereka menyampaikan empat fakta ketidakmanusiawian pengusiran itu. Empat poin tersebut, kata Juandi, yakni aktivitas warga adalah nelayan murni dan tidak mengganggu zona konservasi TNWK.
"Mereka adalah nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap tradisional sistem tarik atau payang padang," kata Juandi.
Warga nelayan tersebut bahkan beberapa kali menggagalkan illegal logging dan perburuan liar, "Bahkan para nelayan pernah menangkap pemburu liar dan menyerahkannya ke petugas TNWK," ujar Juandi.
Warga pun turut mendukung konservasi, kata dia, dengan menanam sejumlah pohon di sekitar bibir pantai. "Itu poin yang ketiga," ujarnya.
Sedangkan tuduhan yang mengatakan nelayan mengambil kayu untuk dijadikan gubuk, kata Suryo Cahyono, dapat dibantah dengan poin keempat, yakni dari data di lapangan ditemukan bahwa bahan bangunan untuk gubuk menggunakan bambu-bambu yang hanyut terbawa arus laut. (MG6/KIS/MG13/U-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Juli 2010
No comments:
Post a Comment