Oleh Tn. Rajou Tehang**
KEPEDULIAN terhadap budaya merupakan keharusan bagi masyarakat adat karena budaya bukan milik sebagian masyarakat berdasarkan status sosial.
Terminologi dari kata adat memiliki dua pengertian dalam masyarakat adat Lampung. Yakni adat dalam pengertian adat istiadat (budaya) yang terbentuk sejak adanya kemunitas di Lampung yang diperkirakan sejak abad V dan VI.
Kemudian adat berdasarkan ketentuan yang telah diatur. Sebagai contoh yang jelas untuk membedakan ini adalah sistem budaya masyarakat, bebawang (bekarang), anyam atau menganyam dan seterusnya beserta peralatannya, bahasa dan seni budayanya yang berbeda apabila pengertian budaya ditarik dalam terminologi mepadun, ngejuk ngakak, dan serak sonat.
Kami sepakat, masyarakat adat Lampung harus peduli bahwa budaya Lampung merupakan aset yang perlu dilestarikan dan merupakan modal dasar untuk kemajuan serta perkembangan bumi yang kita cintai ini. Agar tidak ketinggalan dari provinsi lain dari segala aspek kehidupannya. Memang tidak ada salahnya kita membuka diri dan menghilangkan ego kita masing-masing. Sebab, kita memang sudah terbuka sejak dulu.
Kita memiliki prinsip piil pesenggiri, yakni bejuluk beadek, nengah nyappur, nemui nyimah, dan sakai sambaian yang menunjukkan identitas masyarakat Lampung. Tapi, hendaknya pemahaman prinsip ini jangan diterjemahkan dalam pemahaman yang kaku dan status quo serta ego pribadi sehingga kita melupakan budaya dalam arti yang seluas-luasnya.
Hendaknya pemahaman piil pesenggiri tertanam dalam keseluruhan masyarakat Lampung dari mana saja asal sukunya. Tujuannya menjaga martabat, jati diri, dan harga diri masyarakat dalam wilayah Provinsi Lampung.
Dengan demikian, pemahaman piil pesenggiri akan mengandung arti kesatuan dan kebersamaan untuk membangun Provinsi Lampung dengan semua potensi serta aspek kehidupan masyarakatnya.
Demikian juga tentang pemahaman ruwa jurai, hendaklah kita semua harus mengakui menurut tinjauan budaya, baik dari logat bahasa maupun sistem tata cara prosesi adat memiliki perbedaan tetapi pada dasarnya tetap sama. Ya, itulah Lampung yang memiliki keunikan, identitas, dan jati diri tersendiri yang membedakannya dengan yang lain.
Tidak menjadi permasalahan karena sejarah telah mencatat sejak zaman kolonial Belanda bahwa masyarakat Lampung melalui prinsip nengah nyappur selalu berada di tengah-tengah pergaulan dan perkembangan zaman tidak ada satu pun masalah yang prinsip yang terjadi untuk itu. Itulah yang membuat saya bangga menjadi orang Lampung.
Saya tidak memperdebatkan masalah pengertian ruwa jurai secara skeptis. Mari kita menapak pengertian yang luas dari ruwa jurai sebagai identitas dan jati diri. Inilah yang perlu dipertahankan dan harus dipertahankan, yaitu nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam budaya kita.
Kita tidak perlu selalu dalam keseragaman karena kita telah ditakdirkan di muka bumi ini untuk berkaum-kaum dan bersuku bangsa. Kita tidak memperdebatkan antara Pepadun dan Saibatin atau asli dan pendatang.
Dari nilai-nilai budaya itu, kita menggali kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam kerangka wilayah yang memiliki identitas, dan jati diri budayanya tersendiri. Didorong rasa keperdulian terhadap budaya Lampung dan memiliki bahasa yang mengandung keunikan dan nilai-nilai filsafat yang tinggi, mengetuk hati saya untuk ikut serta terlibat terhadap kepedulian ini, walaupun mungkin termasuk yang terlambat dan memberikan pendapat yang belum tentu benar.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa bahasa Lampung memiliki keunikan dan mengandung nilai-nilai filsafat yang tinggi. Terminologi dari ekam, pusikam, atau sikandua mengandung nilai-nilai penghormatan.
Menulung, kelamou, lebeu, mengiyan, dan mirul menunjukkan statusnya dalam keluarga. Banyak lagi contoh keunikan yang kadang-kadang tidak dapat diartikan dalam bahasa Indonesia. Misalnya tegenjun, tegujuk, tejappar, suah, sonou, sendut, dan pepul.
Mengenai kata sai adalah bilangan yang menunjukkan tunggal, tidak dua, dan tidak tiga. Sedangkan kata sang adalah kata sandang berdasarkan bahasa Lampung Bandar Pak Pesisir Skalabrak yang persamaannya dangan masyarakat Pepadun adalah senge, sangu, dan sanga yang dalam bahasa Indonesia berarti se atau menunjukkan isi. Contohnya, sai gelas digunakan jika kita berbicara mengenai gelasnya
Sang gelas, jika kita membicarakan isi gelas tersebut (Pesisir Skalabrak). Senge gelas, jika kita membicarakan isi gelas (Tulangbawang). Sangu gelas juga bila kita membicarakan isi gelas (Abung).
Demikian pula untuk sanga gelas yang digunakan membicarakan isi gelas (Waykanan dan Sungkai). Bila demikian, makna dari moto Sai Bumi Ruwa Jurai secara harfiah berdasarkan bahasa Lampung dapat diuraikan sebagai berikut.
Sai adalah satu; bumi adalah wilayah, tempat menetap; ruwa adalah dua; serta jurai adalah tangkai tempat tumbuhnya buah yang keluar dari tandan (misalnya buah enau, aren, rumbai, dapat juga diartikan keturunan, aliran dan paham, serta budaya).
Dari terminologi itu, pengertiannya lebih cenderung bahwa kita mengatakan wilayah Lampung ini terbagi dua. Sedangkan sang, sange, sangu, dan sanga bumi ruwa jurai berarti isinya (penduduk, masyarakatnya) terbagi dua. Atau lebih tepatnya bahwa orang yang berada dalam wilayah Provinsi Lampung terdiri atas dua jurai.
Mungkin cara pandang dan keterbatasan saya untuk memahami ini salah atau kurang benar. Tapi, sebagaimana yang saya sebutkan di atas bahwa didorong oleh rasa kepedulian, saya mencoba untuk menelusuri dan mencari tahu atas keterbatasan-keterbatasan saya dari persepektif berbahasa Lampung yang benar.
* Judul ini diubah sedikit dari judul aslinya "Terminologi Sai Bumi Ruwa Jurai". Karena artikel ini cenderung setuju dengan "Sang Bumi Ruwa Jurai".
** Tn. Rajou Tehang, Pemerhati Kebudayaan Lampung
Sumber: Radar Lampung, Rabu, 07 Juli 2010
No comments:
Post a Comment