SEPERTI pemilu dan pilkada di daerah lainnya, pilkada di Lampung--terutama di Bandar Lampung--golongan putih (golput) menjadi pemenangnya.
Inilah sisi lain dari pilkada enam kabupaten/kota di Lampung: rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Ada semacam gejala-gejala kebosanan, bahkan apatisme masyarakat terhadap hajatan politik.
Daerah yang memiliki tingkat partisipasi terendah ini salah satunya adalah Kota Bandar Lampung dengan persentase pemilih hanya 57,52 persen. Perkiraan ini berdasarkan hasil penghitungan cepat yang dilakukan Rakata Institute.
Kondisi ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan Pemilihan Gubernur Lampung 2008. Tingkat partisipasi pilkada di Bandar Lampung waktu itu sedikit lebih baik, yaitu 60 persen. "Saya tidak memilih. Daripada saya ikut menanggung dosa para calon koruptor ya lebih baik golput," kata Yenni Elvita dalam sebuah tanggapannya di Facebook, Jumat (2-7).
Dengan nada bergurau Sri Agustina, menulis dalam Facebook, mengenai mengapa dia tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkada: "Saya pilih Brasil!" Maksudnya lebih kurang, dia hendak mengatakan pertandingan sepak bola dalam Piala Dunia lebih menarik ketimbang pilkada.
Tingkat partisipasi rata-rata pilkada di lima daerah lainnya di Lampung diperkirakan tidak lebih dari 70 persen. Di Lampung Selatan 67,81 persen, Kota Metro 70,99 persen, Way Kanan 69 persen, dan di Lampung Timur 70,43 persen.
Persentase yang lebih baik kemungkinan di Kabupaten Pesawaran, yaitu 70,49 persen. Ini bisa dipahami mengingat daerah ini baru pertama kalinya melangsungkan pemilihan kepala daerahnya secara langsung. Namun, angka ini masih di bawah rata-rata partisipasi nasional, yaitu 73,6 persen, mengacu pada rata-rata pilkada di 240 pilkada kurun 2005--2006.
Pengamat politik FISIP Unila Syarief Makhya mengatakan paling tidak ada dua hal yang menyebabkan rendahnya partisipasi dalam pilkada. Pertama, kelalaian administrasi dalam penyusunan daftar pemilih tetap atau pun syarat memilih. Akibatnya, ada pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Bisa juga sebaliknya terjadi orang yang sebenarnya tidak punya hak pilih justru dicatat, misalnya mereka yang meninggal dunia atau di bawah umur.
Kedua, masyarakat mulai tidak percaya akan pilkada dan institusi politik. Dengan kata lain, masyarakat mulai apatis.
Selain kedua hal tersebut, alasan lain tidak memilih dalam pilkada adalah karena tidak ada calon kepala daerah yang menarik perhatian atau tidak sesuai dengan harapan.
Di Lampung Timur, misalnya, antusiasme warga mengikuti Pilkada 2010 di Kabupaten Lampung Timur menurun. Berbeda pada pilkada sebelumnya, para pemilih menunggu berjam-jam untuk mendapat giliran memasuki bilik suara; pada pilkada baru lalu sejumlah TPS sepi.
"Warga terlihat kurang menggebu untuk memilih, bahkan banyak warga yang masih beraktivitas seperti biasa untuk bekerja maupun bepergian," kata Ketua Panitia Pilkada Kecamatan (PPK) Batanghari, Lamtim, Panuji, Rabu (30-6).
Agak aneh juga manakala Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di enam kabupaten/kota secara umum sukses, terlihat dari tingginya angka partisipasi masyarakat yang berada di atas 70 persen. "Hasil kunjungan saya ke sejumlah daerah yang melaksanakan pilkada, secara umum berlangsung lancar, aman, dan tidak ada masalah. Dan partisipasi masyarakat cukup baik," kata dia, Rabu (30-6).
Memang, fenomena golput bukanlah hal sesuatu yang harus terlalu dirisaukan. Sebab, tidak memilih juga merupakan hak warga. Lagi pula, seberapa besar jumlah golput, tidak akan memengaruhi keabsahan pilkada.
Namun, besarnya angka golput ini seharusnya menjadi semacam peringatan (warning) bagi pelaksana, peserta, dan terutama pemenang pilkada. Jika angkanya besar--apalagi jika diartikan sebagai fenomena kurangnya kepercayaan rakyat terhadap pilkada berikut kontestannya--dia akan menjadi beban psikologis bagi kegiatan politik secara umum.
Jika merunut sejarah golput, fenomena golput polos yang emoh memilih warna kuning Golkar, merah (Partai Demokrasi Indonesia), dan hijau (Partai Persatuan Pembangunan) sebenarnya sudah ada sejak 1971, yang dimotori Arief Budiman, Julius Usman, dan Imam Walujo Sumali. Menurut pandangan kaum muda saat itu, nilai dan prinsip demokrasi tidak ditegakkan dan dicerminkan dalam aturan main Pemilu 1971.
Kekecewaan demikian diwujudkan dengan membuat gambar segi lima atau pentagon bergaris hitam, tapi dasarnya warna putih sebagai identitas politiknya. Simbol inilah yang dikampanyekan intensif di kalangan tertentu warga perkotaan. Meskipun upaya memilih “putih” itu hasilnya tidak signifikan pada Pemilu 1971, gejala "penggolputan" tetap berlangsung pada pemilu selanjutnya.
Bercermin dari hasil pemilu ke pemilu, pilkada ke pilkada, yang gagal melahirkan wakil rakyat, tokoh, atau pemimpin yang berkarakter, membuat sebagian rakyat kecewa. Mereka geram, tapi tak sanggup melakukan apa-apa. Satu-satunya aksi politik yang bisa dilakukan adalah bersikap abstain alias golput ketika pemilu digelar.
Banyak faktor yang dapat menjawab alasan tingginya absensi dalam pilkada itu. Misalnya, isu yang diangkat kontestan umumnya bersifat nasional sehingga kurang menyentuh permasalahan lokal. Lainnya adalah terbatasnya akses informasi mengenai latar belakang calon kepala daerah beserta programnya. Demikian pula soal citra buruk para politisi, membuat sebagian masyarakat kian yakin untuk absen dalam pencoblosan.
Dalam skala yang lebih panjang, minimnya partisipasi politik publik dikhawatirkan berpotensi menimbulkan krisis legitimasi kepada pasangan kepala daerah baru yang pada gilirannya mengganggu kinerja dan produktivitas kepemimpinan di daerah. Semoga tidak! ZULKARNAIN ZUBAIRI/L-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Juli 2010
No comments:
Post a Comment