LAMPUNG Tengah menggelar budaya Begawi Adat Mewaghi atau upacara mengangkat saudara. Bertempat di Sesat Agung Nowo Balak Gunungsugih, Senin (28-6). Marga-marga dari Saibatin dan Pepadun bertemu pertama kali dalam begawi adat tersebut sebagai upaya pelestarian tradisi dan budaya asli daerah.
Marga-marga tersebut antara lain Anak Tuha, Beijuk, Selagai, Subing, Unyi, Nuban, Nunyai, Mego Pak Tulangbawang, Pak, Pubian Telusuku, Way Kanan, Saibatin Paksi Pak Sekala Beghak, Nyirupa, Bungamayang, dan Abung Siwo Mego.
Ini pertama kali marga-marga di Lampung tersebut bertemu. Sebuah gagasan yang dilontarkan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Seni Budaya Lampung Tengah M. Hidayatulah. Mereka menanggapi pertemuan itu sebagai sesuatu yang positif.
Menurut Penyimbang Adat dari marga Unyi M. Gaus gelar Suttan Ningrat Gunungsugih Unyi, berkumpulnya marga-marga tersebut, selain memancing dunia pariwisata, bagi mereka, lebih pada eksistensi marga-marga suku Lampung yang kembali diakui, "Kami bersyukur tiap marga bisa bertemu,” kata M. Gaus.
Selain itu, kata M. Gaus, dengan Begawi Adat Mewaghi tersebut diharapkan pertemuan marga-marga—Saibatin dan Pepadun—akan berlanjut sehingga menyatukan Lampung dari kebudayaan dan tradisi suku di Lampung. "Dulu memang ada prosesi serupa, tapi masih hanya dari tiap marga secara terpisah," kata dia.
Adat Pepadun dipakai masyarakat adat Abung Siwo Mego, Pubian Telusuku, Buay Lima Way Kanan, Mego Pak Tulangbawang, dan Sungkai Bungamayang. Adat yang Pepadun sesungguhnya telah ada sejak abad ke-16. Sedangkan adat Saibatin dipakai masyarakat adat mulai dari pesisir Teluk Lampung, Labuhanmaringgai (Lampung Timur).
Angkat Saudara
Begawi Adat Mewaghi adalah upacara mengangkat saudara dalam adat Lampung. Pada Begawi Adat Mewaghi tersebut M. Hidayatullah gelar Suttan Kanjeng Penyimbang Sakti mengangkat Sapta Nirwandar dan Mudiyanto Thoyib sebagai saudara.
Pada gelar budaya itu pun dilakukan pemberian gelar Suttan Jaya Negara Mega Sakti kepada Dirjen Promosi dan Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar dan gelar Suttan Pengiran Abdi Negara Mega Sakti kepada Bupati Lampung Tengah Mudiyanto.
Sebelumnya, ketika tiba di Gedung Sesat Agung Nuwo Balak, rombongan Sapta Nirwandar dan Mudiyanto Thoyib disambut dengan arak-arakan yang terdiri dari baloi-balo, jejalan (kain putih yang ditarik), awan telapah, payung sebanyak dua buah, tualoanow, kandang rarang (kain penyekat), muli-mekhanai, dan dua mobil hias rato burung garuda.
Selanjutnya, rombongan menuju tenda yang telah dipersiapkan. Di sana, rombongan disuguhkan tiga tarian dari daerah yang berbeda. Yakni tarian dari daerah Bali, Jawa, dan tarian daerah Lampung. Setelah upacara adat pemberian gelar, rombongan menyantap makanan khas Lampung, yakni seruit.
Acara selanjutnya adalah turun mandi dan mepadun. Adat turun mandi adalah upacara pembersihan diri dari hal-hal negatif. Turun mandi ini biasa ditemui dalam prosesi pernikahan dalam adat Lampung. Sedangkan mepadun berarti naik takhta atau singgasana. "Tidak sah mepadun apabila sebelumnya tidak turun mandi," kata Herman Indrapati gelar Pangeran Gede Margo, salah seorang Perwatin yang hadir dalam gelar budaya tersebut.
Sebelum turun mandi, secara bergantian Sapta Nirwandar dan Mudiyanto Thoyib diarak dengan jepano (tandu) yang diusung empat pemuda berpakaian adat warna putih menuju tempat para Penyimbang Adat menunggu dalam posisi lingkaran. Di depan arak-arakan tandu, berjalan memimpin mobil hias rato burung garuda yang ditumpangi istri dan kerabat dekat. "Jepano itu simbolisasi dari kebesaran Penyimbang. Karena mereka akan menjadi Penyimbang setelah selesai mepadun," kata Herman.
Penyimbang adalah pengimbang putusan adat sehingga posisi penyimbang memegang peranan penting. Sebuah status sosial yang penting di tengah masyarakat adat Lampung.
Sesampai di tempat para Penyimbang Adat berkumpul, masih secara bergantian, Sapta dan Mudiyanto masuk ke dalam lingkaran. Kemudian oleh para Penyimbang Adat diberikan wejangan-wejangan dan restu dalam bahasa Lampung. Tiap kali wejangan diberikan, tangan para Penyimbang terangkat, dan berputar dalam lingkaran, seperti menari, tapi hanya tangan yang bergerak. Dan tiap kali para Penyimbang menari, tangan Sapta dan Mudiyanto, secara berurutan mengusung senjata ke atas kepala. "Ngigel, menari," kata Herman. Menurut seorang warga, konon semakin tinggi tangan yang terangkat, maka semakin tinggi pula kedudukannya di masyarakat adat.
Ngigel tersebut, menurut Herman, bertahap. Yakni, tangan kosong, kemudian mengusung keris, pedang, dan tombak. Senjata-senjata tersebut, ujar Herman, adalah sebuah perlambangan masa muda dari orang yang diberikan gelar atau diangkat sebagai Penyimbang. "Filosofinya, tarian itu juga sebagai perlambang berakhirnya masa muda mereka menuju kedewasaan," kata Herman.
Kemudian mereka menari sekali lagi. Sebuah tarian terakhir sebelum menuju singgasana. Tari tuho, kata Herman. Setelah tari tuho, orang yang baru saja direstui oleh para Penyimbang menuju lunjuk kayu aroh, di mana istrinya duduk menunggu dijemput. Lunjuk kayu aroh adalah sebuah bangunan panggung segi empat yang setiap sudutnya berdiri batang-batang pohon yang dipucuknya bergelantungan perabot rumah tangga. Sebelumnya, penjemput menginjak kepala kerbau terlebih dahulu.
Prosesi menjemput istri tersebut, kata Herman, berakar dari budaya Hindu sebelum Islam masuk. Lunjuk kayu aroh dahulu dipakai sebagai tempat berlangsungnya pernikahan. "Namun, kini hanya dipakai sebagai bagian dari adat saja," kata Herman.
Setelah prosesi turun mandi rampung, baru diperbolehkan duduk di singgasana. Prosesi naik singgasana atau mepadun tersebut, menurut Herman, adalah sebagai simbolisasi bahwa Penyimbang memiliki tanggung jawab untuk memimpin marganya, oleh karena itu haruslah bijaksana.
FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/M. REZA
Menurut Herman, upacara pemberian gelar, turun mandi, serta mepadun tersebut biasanya berlangsung selama satu minggu penuh. Namun, pada gelar budaya tersebut, hanya dilaksanakan dalam satu hari dikarenakan keterbatasan waktu.
Wisata Budaya
Seusai acara, Mudiyanto mengaku merasa bangga karena dapat mengikuti secara langsung prosesi pemberian gelar tersebut. Menurut Mudiyanto, rangkaian Begawi Adat Mewaghi tersebut bukan semata-mata untuk untuk menyatukan keluarga M. Hidayatullah, keluarga Sapta Nirwandar, dan keluarga Mudiyanto Thoyib saja.
"Acara seperti ini tidak hanya dapat dijadikan ritual saja. Tapi kalau dikemas sempurna dapat dijual kepada wisatawan yang datang ke Lamteng, baik lokal dan wisatawan luar negeri," kata dia.
Sementara itu, Sapta mengatakan kegiatan Begawi Adat Mewaghi bertujuan selain untuk mempererat tali persaudaraan, juga mencerminkan ke-bhineka tunggal ika-an dengan tampilan tari-tarian dari tiga daerah berbeda. "Budaya Lampung cukup banyak dan tetap eksis. Salah satunya adalah Begawi yang diharapkan dapat diangkat pada event nasional," kata dia.
"Jak ujung Danau Ranau. Teliuk mid Waykanan. Sampai pantai laut jawoh. Pesisir ghik pepadun. Jadi sai dulom lambang. Lampung sai kayo rayo..."
Penggalan lagu berbahasa Lampung yang populer tersebut sedikit banyak menggambarkan betapa kayanya Lampung, baik itu budaya maupun kondisi alamnya yang indah. Begitu banyak potensi wisata di Bumi Sai Ruwa Jurai tercinta ini. Sayang kalau hanya dijadikan sebuah seremonial saja. n TRI PURNA JAYA.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Juli 2010
No comments:
Post a Comment