Oleh Hardi Hamzah
KEMISKINAN, bagai tragedi yang tidak pernah usai. Sejak munculnya The First Development Decades (Dasawarsa Pembangunan Pertama) diawal tahun 60-an. Suatu pola baru yang ditawarkan bangsa-bangsa maju untuk rakyat dunia ketiga, khususnya Asia, Afrika, dan Amerika Latin, minus Asia Barat.
Masyarakat yang bernaung di bawah program dasawarsa pembangunan pertama bergaya Marshal Plan-nya AS itu, ternyata terus-menerus mengalami kemiskinan dan pemiskinan. Bahkan, hasil yang dapat dibaca pada Annual Report (Laporan Tahunan) Bank Dunia menunjukkan negara di Amerika Latin yang mulai bangkit, seperti Brasil, Peru, dan Uruguay, perekonomiannya cenderung menurun pada kuartal pertama tahun 2010 ini.
Angka-angka yang menunjukkan Brasil pencapaian ekonominya merosot sampai 3,2 persen, Peru, Chile, dan Uruguay yang tidak jauh di bawahnya akan menerangkan atau menjelaskan pada kita apalagi negara-negara seperti Meksiko, Kolumbia, dan beberapa negra Amerika Selatan lainya minus Venezuela. Bagaimana dengan negara-negara Afrika, yang pertama terbanyak di bawah garis kemiskinan dalam konteks pemiskinan adalah Zimbabwe, Etiopia, Ghana, dan beberapa negara seperti Nigeria dan kebanyakan negara di Afrika Utara.
The First Development Decades yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi di atas yang penetrasinya diharapkan mampu menyentuh masyarakat bawah (grass root), kenyataannya tidak realistis, karena konsep trickle down effect (efek rembesan ke bawah) dibarengi dengan teori Big Push, kenyataannya membuat korporasi di kalangan konglomerat, bahkan ada concerned serius, bahwa para konglomerat tidak merembeskan keuntungannya ke bawah, karena mereka memainkan ekonomi makro yang berorientasi pada outward looking, yang pada gilirannya menabrak nabrak sektor riil atau setidaknya sektor riil harus dinafikan.
Di era inilah, yakni pada paruhan kedua tahun 90-an yang notabene hampir tiga puluh tahun konsep itu diterapkan (maksudnya konsep trickle down effect dan bigpass), dus semakin memiskinkan rakyat. Setidaknya teori pertumbuhan sampai kini menyisakan tiga hal yang sangat krusial. Pertama, pertumbuhan ekonomi makro sebagai pelurusan teori TDE, ternyata menuntut sektor riil tertatatitih. Kedua, karena siklus perbankan lebih banyak didominasi korporasi, kebangkrutan negara sampai membuat kebijakan pembodohan, yakni hanya 1 persen anggaran untuk pendidikan. Ketiga, birokrasi yang "dipelihara" oleh korporasi cenderung melakukan korup besar-besaran dan tidak terdeteksi.
Maka, setelah reformasi, setelah kita tidak mampu menyelesaikan kasus BLBI, Century dan yang lainnya, ironi, negeri ini justru didera oleh macam penyakit pemiskinan rakyat secara struktural. Mulai dari penjualan BUMN sampai pada pengemplangan pajak, belum lagi kasus kasus yang juga struktural tercipta oleh isu pemerintah, seperti naiknya sembako, kompor meledak, huru hara politik yang juga belum usai, ternyata membuat angka kemiskinan semakin akut. Kalau BPS mencatat belasan juta saja rakyat miskin, faktanya 42 juta lebih pengangguran tidak kentara, bahkan dalam skala yang paling normal, di mana angka rata-rata pendapatan perkapita orang Indonesia di bawah 300 dolar AS, menunjukkan angka lebih dari 86 persen rakyat Indonesia fakir. Dan, sisanya 5.552 juta miskin.
Penulis tidak habis pikir, data-data BPS yang mengacu pada batas bawah garis kemiskinan yang hanya mencapai 14 juta jiwa berdasarkan apa? Contoh sederhana saja, dalam masyarakat kota, bila ada sepuluh yang sedang duduk-duduk ngobrol, hampir dipastikan enam di antaranya tidak ada kerjaan, ya, maksimal swasta serabutan. Kondisi rakyat kita yang semacam ini, secara struktural dan kultural akan menambah proses pemiskinan dan kemiskinan terus menjadi.
Secara struktural kliptokrasi yang tidak berjalan tanpa korupsi secara sistemik semakin membawa kebocoran sana sini, hal mana dampaknya akan merembes ke masyarakat. Belum lagi secara kultural, bahwa masyarakat kita yang telah terkondisi secara sistemik sedemikian itu, yang muncul di permukaan adalah masyarakat malas, minus inovatif, mau kerja instan, dan tidak pernah mau berorientasi enterpreneur.
Di sinilah kecelakaan terbesar itu akan terjadi. Secara masif kemiskinan struktural akan terjadi sebagai resultante kepala daerah, baik bupati ataupun wali kota mengembalikan modal kampanye. Proses ini melahirkan pemiskinan berjalan, di mana kebocoran APBD yang besar besaran di daerah pasca-pilkada sudah menjadi rahasia umum sehingga masyarakat belum mendapatkan apa-apa, kecuali komunitas tertentu yang dekat dengan suhu kekuasaan.
Sementara itu, secara kultural, masyarakat miskin kota yang terlibat dengan kandidat yang kalah akan terus disorientasi, dan dalam konteks ini pula masyarakat urban cenderung meneruskan budaya malasnya. Malas karena sistem tidak menciptakan lapangan kerja, pun malas karena moralitas instan.
Dalam perspektif ini, kemiskinan telah merambah, merayap, dan menggerogoti seluruh sektor. Masyarakat Indonesia yang terkenal sabar, terus nerimo, keterpaksaan atau tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Masyarakat inilah yang disebut sejarawan Sartono Kartodiredjo (1987) sebagai masyarakat terbelah dua. Satu dalam subordinasi struktural. Artinya, hidup mati mereka bergantung pada policy (kebijakan pemerintah). Yang kedua, suatu corak masyarakat yang hidup segan mati tak mau. Untuk yang pertama, masyarakat Indonesia terjebak pada permainan elite politik. Sementara kondisi kedua, banyak dipengaruhi oleh gelombang yang pertama. Dengan demikian di masa yang akan datang, dapatlah dikatakan kemiskinan Indonesia adalah kemiskinan struktural.
Dalam menghadapi kemiskinan struktural, para pengamat sosiologi politik mengingatkan kepada kita bahwa dalam skala masif masyarakat yang terus-menerus dimiskinkan oleh struktur, terancam fobia, di mana masyarakat takut untuk membangun diri karena ganjalan dan tanpa akses ke pemerintahan di satu pihak. Di pihak lain, masyarakat terus dicekam ketakutan bersama, tetapi bersifat munafik terhadap elite politik sehingga alternatif paling strategis untuk mencari solusi dalam kemiskinan struktural adalah keberanian elite dan pers yang masih idealis.
Elite yang masih idealis, membangun opini publik yang dibantu oleh media massa secara signifikan, dus media massa bukan memprovokasi elite karena "hanya untuk menyenangkan" rakyat, tetapi justru media massa menghimpun pernyataan elite menjadikannya opini bagi kesadaran masyarakat untuk bangkit, barulah kemungkinan struktural dapat teratasi. n
Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 Juli 2010
No comments:
Post a Comment