Oleh Isbedy Stiawan Z.S.
DENGAN semangat ’’pembaruan’’, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Lampung Gatot Hudi Utomo mengeluarkan statemen bahwa Festival Krakatau (FK) 2010 tampil beda: lebih meriah... dan seterusnya. Pernyataan itu pernah saya baca di sebuah koran lokal, sebelum FK XX ditahbiskan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Sabtu (24/7).
INDAH nian statemen itu terdengar. Sayangnya, hal itu tak disertai bukti. Betapa pun Gubernur Sjachroedin Z.P. ketika peresmian FK di GOR Saburai Sabtu sore lalu menegaskan, FK XX tahun ini lebih baik dibandingkan kegiatan serupa di tahun sebelumnya.
Indikasinya, beragam atraksi yang ditampilkan pada pembukaan FK XX, seperti lagu daerah, tarian tradisional, dan pawai budaya, cukup memukau beberapa duta besar yang hadir. Yakni dari Belgia, Filipina, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan Argentina. Bahkan, gubernur menunjuk bahwa tahun lalu sepertinya terlalu membosankan karena atraksi budayanya itu-itu saja. Kalau sekarang lebih beragam dan cukup menarik. Penilaian gubernur ini dirilis sebuah koran lokal.
Pertanyaan kemudian yang muncul, apakah keberagaman atraksi yang ditampilkan mengindikasikan lebih baik (artinya: berhasil?). Bahkan, tampilnya lagu daerah, tarian tradisional, dan pawai budaya pada saat peresmian FK XX juga dapat dikatakan bahwa tahun ini lebih baik?
Termasuk kehadiran para duta besar, yang konon, sebagai tamu kehormatan maka segala sesuatunya disiapkan? Kalau benar para dubes itu datang, duduk rapi, lalu kembali (ke Jakarta) disangui tanpa ada kelanjutan, alamat FK yang digelar tiap tahunnya tak pernah bebuah devisa.
Terlalu sering kita dicekoki pernyataan, FK digelar sebagai ajang promosi budaya dan pariwisata daerah ini. Padahal ini kali, sudah angka 20, berarti sudah lebih 20 tahun karena ada tahun yang absen. Lalu, apakah 20 tahun penyelenggaraan FK masih selalu dari bagian promosi? Berapa besar anggaran –uang rakyat– yang ditumpahkan ke hanya satu penyelenggaraan tersebut, jika baru taraf promosi?
Sebagai provinsi ujung selatan pulau Sumatera dan berdekatan Banten–DKI Jakarta, Lampung bagai kota ’’antara’’ yang amat dilematis. Jangankan dari Provinsi Nagroe Aceh Darussalam (NAD) atau Sumatera Utara, warga Sumsel saja sulit menginginkan singgah di Lampung. Pasalnya, lebih cepat dan sedikit murah langsung ke Cengkareng. Bahkan, orang Medan jika ingin berwisata akan memilih kota-kota di Jawa dan Bali. Sebab, bandaranya memungkinkan untuk ke sana.
Begitu pula wisatawan yang singgah di Jakarta, tentu setibanya di Cengkareng akan lebih nyaman terbang ke Bali dan kota-kota lain di luar Lampung. Itu jika wisatawan memilih penerbangan, bagaimana jika menempuh jalan darat: wisatawan juga enggan ke daerah ini lantaran waktu tempuh yang hampir 10 jam. Ini problem transportasi antarprovinsi.
Transportasi dalam provinsi juga bermasalah. Terlalu banyak jalan yang berlubang, membuat perjalanan tak akan nyaman. Infrastruktur dari dan menuju objek wisata boleh dibilang sangat memrihatinkan. Bisa dibayangkan lelahnya untuk mencapai Menara Siger, misalnya. Apatah lagi ingin menikmati pesona alam Gunung Anak Krakatau (GAK) jika tidak setahun sekali karena bersama-sama dengan kapal roro. Ini soal lagi, belum baiknya dermaga yang ada di Canti, Lampung Selatan. Oleh sebab itu, wisatawan asing tentu lebih memilih dari Banten tinimbang dari Lampung.
Berbagai masalah yang menjadi kendala ini, seharusnya segera dituntaskan. Bukan ngoyo menggelar FK tiap tahun karena sudah diagendakan, sementara item kegiatan layaknya copy paste sehingga wajar jika seorang anggota DPRD Lampung jengah, dan anggaran pun tiap tahun dikurangi.
Bukan karena alam wisata Lampung di bawah standar objek-objek wisata yang ada di provinsi lain. Tetapi disebabkan pengelolaan objek wisata, program promosi seperti festival-festival yang ada kurang heboh, bahkan cenderung seremonial. Padahal, dalam ilmu pasar, yang diperlukan adalah cara mengemas dalam penjualan. Sementara untuk menjual sesuatu, promosi sangat amat diperlukan agar orang tertarik. Nah, cara untuk menarik ini tampaknya yang belum kita miliki.
Menarik di sini, bagaimana infrastruktur yang oke. Objek wisata yang benar-benar memesona pengunjung. Imej atau pencitraan yang terus dijaga dan dibuktikan kepda setiap wisatawan yang berkunjung. Jangan sekali pengunjung datang lalu kecewa, misalnya infrastruktur yang buruk atau keamanan dan kenyamanan yang tak diperolehnya, selanjutnya mereka akan bilang: ’’Good bye Lampung!”
Saya memiliki cerita menarik di Bandara Seribegawan Brunei Darussalam, baru-baru ini. Di ruang untuk merokok, saya jumpa dengan seorang warganegara Australia. Menurut ceritanya, ia dari Hongkong ingin pulang ke negaranya, dan pesawat transit di Brunei. Ketika saya tanya kenapa tidak singgah dan jalan-jalan di Brunei, ia mengatakan, orang Brunei stupid. Lalu ia menambahkan, ’’Saya lebih suka ke Bali meski banyak warga kami mati di sana!” Lagi-lagi Bali. Lagi-lagi, bukan Lampung.
Seremoni dan Gengsi
FK yang telah digelar (lebih) 20 tahun ini, tampaknya, dianggap banyak warga hanya kegiatan seremoni(al) dan sementara bagi kabupaten/kota ajang ini merupakan ’’taruhan’’ gengsi alias prestise –bukan prestasi!– saat tampil di panggung karena didapuk juara umum.
Festival seni sejatinya tak bisa diukur oleh piala atau matematis. Kesenian itu luhur, tercipta karena hati. Tak mungkin kesenian yang dimiliki Tulangbawang dipertandingkan dengan kesenian yang diluhurkan oleh Lampung Barat, Lampung Utara, maupun Pringsewu, Metro, maupun Pesawaran. Apalagi kalau kita mau merasionalkan, warga Pringsewu dan Metro mayoritas warganya adalah nonetnis Lampung. Ini soal rasionalitas.
Ajang lomba lain yang juga menjadi rebutan, seperti Pemilihan Muli-Mekhanai. Betapa banyak muli dan mekhanai yang ikutserta berdomisili di Bandar Lampung, namun mewakili salah satu kabupaten/kota. Saya banyak dapat informasi dari ajang yang hanya mencari ’’perempuan cantik’’ dan ’’bujang ganteng’’ ini, bahwa beberapa agent menjelang lomba akan memburu muli-mekhanai yang bisa mewakili daerah tertentu. Dan harus menang!
Bagaimana harus? Kabar yang tak sedap dan ini sudah menjadi rahasia umum, kabupaten tertentu siap mengucurkan dana jika pesertanya dimenangkan. Dengan banyak kemenangan, otomatis akan merengkuh juara umum. Ajang lomba yang rentan disusupi ’’dana siluman’’ adalah tari kreasi dan muli-mekhanai.
Bahkan untuk lomba tari kreasi, sepertinya yang harus berjaya setiap tahunnya –ini bergantian memegang juara I– Lampung Utara, Tulangbawang, dan Lampung Barat. Lalu, apakah Metro, Bandarlampung, Tanggamus, selalu tampil di bawah ketiga kabupaten tersebut? Kalau benar, mesti ada yang salah dalam pembinaan. Kalau tidak, benar tengarai bahwa di ajang ini terjadi ’’main siluman’’ dengan pelaksana/juri. Hal sama, bisa saja terjadi, pada pemilihan pemenang saat pawai budaya.
Jadi, FK yang ditaja Pemprov Lampung yang kali ini ke 20, amatan saya masih seperti dulu. Selain mendatangkan kesultanan Cirebon, warga Cikoneng, dan Komering: selebihnya copy paste: dibuka siang hari lalu malamnya di panggung utama di isi hiburan, esok siang tur ke GAK, dan ditutup di menara Siger.
Sementara festival-festival serupa di provinsi lain, gelar dilaksanakan sepekan atau sebulan penuh. Misalnya, Festival Kesenian Jogja (FKJ), Pesta Kesenian Bali (PKB), dan lain-lain, tidak hanya sehari-dua hari. Materi acaranya juga berlimpah: dari tradisi hingga modern, dari tari sampai puisi. Dari hiburan tak lupa seminar. Begitulah seyogyanya.
Ah, saya sudah terlalu sering mengkritisi FK. Tetapi selalu saja tak pernah membanggakan saya sebagai ulun Lampung. Tabik.
* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan
Sumber: Radar Lampung, Rabu, 28 Juli 2010
Ikut prihatin bung...
ReplyDeleteNumpang di share ya... makasi.