BAGI kaum muda, belajar memahami dan mengerti hingga mencintai adat Lampung adalah bagian dari langkah menjaga dan melestarikan keluhuran adat sai tuha. Akan tetapi, dengan mengenal adat istiadat, ego kreatif dan rasa ingin semua bernuansa baru semoga tidak mengalahkan rasa cinta, bangga, taat, dan hormat pada adat dan sejarah nenek moyang orang Lampung yang memang perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan seiring dengan berkembangnya zaman.
Fenomena adat yang terjadi di Lampung baru-baru ini yakni tentang mudahnya para penyimbang-penyimbang memberi gelar pada seseorang dengan mengatasnamakan seluruh Lampung, padahal kurang menimbang keharmonisan dan nilai ruwa jurai-nya Lampung.
Bagi masyarakat adat Saibatin, pimpinan tertinggi dalam adat hanyalah akan kami taruhkan pada lurus garis keturunan Umpu Saibatin. Gelaran atau adok dalom/suntan, raja, ratu, panggilan seperti pun dan sai batin serta nama lamban gedung (rumah adat/keraton) hanya untuk Saibatin Raja dan keluarganya dan gelar itu dilarang dipakai oleh orang lain.
Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli pangkat adat tertinggi, terutama di dataran Sekala Brak sebagai warisan resmi dari kerajaan Paksi Pak Sekala Brak asal mula peradaban Lampung.
Terhadap maraknya pengangkatan gelar oleh para penyimbang, kita teringat pada kata-kata pengamat Belanda tentang orang Lampung dahulu yang saat ini mungkin ada benarnya "ijdelheid" orang lampung hidupnya sederhana, suka bermegah-megahan, berlomba mencari gelar adat (Hilman Hadikusuma, Masyarakat dan Adat Budaya Lampung, 1989:16).
Namun, harapan besar agar selain tetap menjaga tata aturan dalam pengangkatan gelar (adok) seperti yang disinggung di atas, kita juga hendaknya bisa mencerminkan masyarakat adat Lampung bertata etika yang halus dengan memahami makna terdalam dari setiap luhurnya adat Lampung, bupi'il bupesenggighi (kontrol diri), hiogh sumbay (saling memberi dalam adat), mukuaghian miusimah (ramah), nengah nyampogh (bermusyawarah), dan sikap senantiasa pandai di jong ni dighi (tahu diri), yaitu sikap selalu ingat pada posisi dan fungsi diri, selaras gelar adat Lampung yang telah diberikan kepada seseorang, terutama para tuha jaghu, tuha ghaja (pemimpin adat) harus selalu sadar (titi teliti), bahwa ia adalah "pemimpi", banyak anak-buah dalam pimpinannya.
Ia berkewajiban senantiasa bersikap ing ngarso sung telodo. Supaya yang dipimpinnya juga selalu mulus dan tulus, tut wuri handayani. Begitu juga bagi masyarakat adat Lampung, haruslah mengerti tentang julukan (petutoghan) terhadap seseorang, mulai dari kepada orang tua sendiri hingga kepada keluarga yang lain menurut tingkatan dalam adat. Dengan demikian, jati diri orang Lampung berupa adat istiadat sai tuha di atas dapat benar-benar dihormati dan dihargai karena ketinggian dan keluhuran nilainya.
Novan Saliwa
Aktivis Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Lampung-Barat (IKPM LAMBAR), Yogyakarta, asal lingkungan Negarabatin Liwa
Sumber: Lampung Post, Selasa, 27 Juli 2010
No comments:
Post a Comment