Oleh Zulfadli
BADAN Pusat Statistik (BPS) dalam laporan bulanan data sosial ekonomi Juli 2010 mempublikasikan bahwa penduduk Indonesia kini mencapai 234,2 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,33 persen per tahun. Sedangkan pada tahun 2000, penduduk Indonesia berjumlah 205,1 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,45 persen per tahun. Terjadi kenaikan jumlah penduduk yang cukup besar (29,1 juta jiwa), tapi terjadi pula penurunan laju pertumbuhan penduduk.
BPS juga melaporkan bahwa jumlah masyarakat yang dikategorikan sebagai penduduk miskin di Indonesia kini mencapai 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia. Khusus di Provinsi Lampung, jumlah penduduk miskin mencapai 1,48 juta jiwa atau 18,94 persen dari jumlah total penduduknya, yaitu 7,59 juta jiwa. Ini berarti, dua dari sepuluh orang yang ditemui secara acak di Lampung adalah penduduk miskin. Sedangkan perbandingan antara jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di perdesaan 0,26 atau 1 banding 4.
Data kemiskinan ini diperoleh melalui pendekatan kemampuan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya. Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Nilai pengeluaran minimal untuk seseorang hidup dengan layak disebut garis kemiskinan, yaitu Rp211.726 per kapita per bulan. Sedangkan penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Ada hal yang menarik dalam pengambilan kesimpulan untuk kemiskinan ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional mengartikan kemiskinan adalah hal miskin, keadaan miskin, kemelaratan atau kepapaan. Sedangkan miskin diartikan tidak berharta benda atau serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Di sini kita melihat dua sudut pandang dalam pengklasifikasian kemiskinan, pertama dari sisi pengeluaran (seperti yang dilakukan oleh BPS) dan yang kedua dari sisi penghasilan (seperti yang diartikan dalam Kamus Bahasa Indonesia). Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan.
Bila melihat kemiskinan dari sisi pengeluaran, bukti seseorang untuk tetap hidup layak terukur dengan baik. Namun kelemahannya adalah ketidakmampuan melihat darimana pendapatan yang diperoleh untuk biaya konsumsi tadi. Mungkin berasal dari upah harian, gaji bulanan atau bahkan utang. Bila ternyata pendapatannya berasal dari utang, tentu kemampuan konsumsi orang tersebut menjadi kemampuan konsumsi semu. Hal ini memungkinkan ia justru berada dalam kondisi yang lebih parah dari kondisi orang miskin yang normal, yaitu hidup sengsara terlilit utang.
Bila melihat kemiskinan dari sisi penghasilan, kemampuan seseorang untuk hidup layak dapat diperkirakan. Namun, kelemahannya adalah kenyataan ia benar-benar hidup secara layak masih belum terbukti. Karena penghasilan yang ia dapatkan belum tentu dapat digunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pengeluaran dan manajemen keuangan orang tersebut. Bisa saja mereka yang berpenghasilan cukup justru malah tidak mampu hidup dengan layak karena salah mengelola uang.
Memang dilematis. Bila kita menimbang kelemahan kedua cara tadi, penentuan kemiskinan menjadi rumit. Tapi ini disebabkan kita hanya melihat salah satu sisi. Dalam konteks hidup yang layak, penghasilan dan pengeluaran merupakan variabel ekonomi yang menyatu, tidak dapat dipisahkan. Bila hanya menggunakan satu sisi cuma akan memberikan informasi yang setengah jadi tentang kualitas ekonomi hidup seseorang. Untuk memecahkan persoalan pendefinisian kemiskinan, kita harus mempertimbangkan kedua sisi sekaligus, yaitu penghasilan dan pengeluaran.
Lalu bagaimana? Menurut saya, penentuan kualitas ekonomi hidup seseorang sebaiknya menggunakan rasio (perbandingan) antara penghasilan dan pengeluaran, disingkat menjadi RPP. Nilai RPP adalah nilai yang didapat dari total penghasilan dibagi total pengeluaran. Penghasilan yang dimaksud adalah penghasilan nyata (bukan pinjaman, utang, dsb). Sedangkan pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan (bukan kebutuhan sekunder maupun tersier) serta kewajiban ekonominya (zakat, pajak, utang konsumtif, dsb). Bila nilai RPP orang tersebut lebih besar dari 1, orang tersebut dikategorikan lepas dari kemiskinan. Sedangkan bila RPP lebih kecil dari 1, orang tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin. Apabila RPP tepat 1, orang tersebut berada tepat di garis kemiskinan.
Tantangan dalam penentuan kemiskinan dengan cara seperti ini adalah pengambilan data yang sangat masif, detil, dan lama. Setiap orang akhirnya memiliki garis kemiskinannya sendiri-sendiri. Metode seperti ini menghasilkan data yang khusus (unique) untuk tiap individu. Kompleks, tetapi cara ini lebih menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Seperti halnya penghasilan, apakah kita semua memiliki penghasilan yang sama? Tentu tidak. Seperti itu pula dengan pengeluaran kita. Setiap kita memang memiliki garis (kehidupan) ekonomi masing-masing.
Lalu apa kelebihan menggunakan RPP? Inti dari penentuan kemampuan ekonomi melalui RPP adalah mendapatkan data yang valid, alami, akurat, dan memiliki nilai fungsional yang tinggi. Puncak dari manfaat data ini terletak pada aksi yang dilakukan setelah menganalisisnya. Bila data yang didapat menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya, tentu aksi yang diprogramkan akan dekat pula dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Selain itu, kita juga dapat menentukan tingkat-tingkat kemiskinan maupun kemapanan seseorang berdasarkan nilai rasionya. Misalnya RPP dengan nilai 0,1 sampai 0,5 bisa dikategorikan sangat miskin; sedangkan RPP di bawah 0,1 dapat dikategorikan melarat (miskin sengsara); dst. Selanjutnya tingkat-tingkat kemiskinan ini digunakan sebagai indikator prioritas bagi aksi pertolongan maupun antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.
Sebagai penutup, BPS melaporkan bahwa provinsi dengan persentase penduduk miskin terkecil di Indonesia adalah DKI Jakarta (sebanyak 312.800 jiwa atau sebesar 3,4 persen dari total penduduknya). Sedangkan persentase penduduk miskin terbesar berada di Papua (sebanyak 761.620 jiwa atau sebesar 36,8 persen dari total penduduknya). Karena tidak ada penduduk miskin perdesaan di DKI Jakarta, perbandingan penduduk miskin di perkotaan dan di perdesaannya adalah 1 banding 0. Sedangkan perbandingan penduduk miskin di perkotaan dengan di perdesaan untuk Papua adalah 0,036 atau 1 banding 28. Tampak bahwa nilai perbandingan penduduk miskin di perkotaan dengan di perdesaan menjadi determinan yang signifikan dalam penentuan persentase penduduk miskin suatu daerah.
BPS selanjutnya menggunakan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan untuk mengukur sifat dan dampak kemiskinan di suatu daerah. Nilai indeks kedalaman kemiskinan untuk perkotaan adalah 1,57 sedangkan di daerah perdesaan mencapai 2,80. Nilai indeks keparahan kemiskinan untuk perkotaan adalah 0,40 sedangkan di daerah perdesaan mencapai 0,75. BPS menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah daripada daerah perkotaan. Jika itu benar, mungkin saja jalan keluar bagi kemiskinan di Indonesia adalah dengan mengubah seluruh desa menjadi kota. Hm, menarik bukan? n
Zulfadli, Dewan Pengarah ILMMIPA Indonesia, alumnus Universitas Gadjah Mada
Sumber: Lampung Post, Kamis, 29 Juli 2010
No comments:
Post a Comment