April 30, 2017

Memuisikan Pembangunan Lampung

Oleh Endri Y


SASTRA sering disebut pilar keempat setelah ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Selain mengajarkan nilai-nilai luhur, kemendalaman, sastra dan permenungannya mampu menceritakan sisi-sisi kebenaran. Akan tetapi dalam konteks puisi, ada kecenderungan, menyaratkan kemampuan menafsir atas teks dan konteks yang digubah penyair. Sehingga pada level-level tertentu, puisi perlu pemahanan dan permenungan tersendiri untuk menemukan estetika maknanya.

Salah seorang peserta membaca puisi dalam Lomba Baca Puisi memperebutkan
Piala Gubernur Lampung di Balai Keratun, Bandar Lampung,
26--27 April 2017 (IST)
Bisa disebut, lomba baca puisi yang digelar Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS sebagai Paus Sastra Lampung yang disponsori Lampung Post itu untuk menegaskan, upaya membaca sekaligus memuisikan pembangunan daerah.

Lomba yang digelar selama dua hari, mulai Rabu, 26 April 2017 itu memperebutkan piala gubernur dan wakil gubernur.

Acara itu bahkan, bertema “Gubernur Lampung Award” dan bertempat di Balai Keratun, kompleks kantor gubernuran. Meminjam bahasa WS Rendra, acara guna mendeklamasikan Potret Pembangunan. Tepatnya, memuisikan pembangunan Lampung.

Seolah acara ini untuk memberi pembuktian, sastra mulai mendapat tempat di dalam kantor-kantor pemerintah.

Jika diperbandingkan dengan buku sajak WS Rendra yang berjudul “Potret Pembangunan dalam Puisi” yang diterbitkan Pustaka Jaya, 1993 itu, lomba ini adalah antitesisnya. Almarhum Rendra, melalui puisi, menohok kekuasaan dengan kritik-kritik pedas. Memang seputar tema Burung-burung kondor, orang miskin, ketimpangan sosial, lapangan kerja, kelaparan, belum sepenuhnya terselesaikan. Namun di beberapa soal, misalnya pada puisi Aku Tulis Pamflet Ini;… Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,/maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam./Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan./Tidak mengandung perdebatan./Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Di hampir semua daerah dan terutama lewat ruang-ruang media sosial, sudah mulai terbuka. Bebas. Hampir dipastikan sudah tidak ada celah untuk memonopoli kekuasaan. Lomba Baca Puisi Lampung dalam Pembangunan yang diikuti  160 peserta yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa itu jelas menjadi antitesis kegelisahan penyair sebelum reformasi. Sekarang, orang bicara dan kritik pedas bukan sekadar kasak-kusuk lagi, lebih berani dan di Lampung, puisi bahkan dibacakan anak-anak langsung di kantor gubernur dan dibiayai penuh oleh pemerintah daerah.

Ini menarik sebagai ejawantah membumikan sastra sekaligus mengokohkan empat pilar utama kehidupan. Negara bangsa akan maju jika keempat pilarnya berdiri tegak dengan pondasi yang kokoh seperti tersebut di atas.

Empat Pilar Kelampungan

Agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan sastra, jika mendapat tempat yang semestinya, dipahami dan dihayati, diamalkan serta secara simultan terus mendapat ruang-ruang ekspresi sesuai ketentuan, bisa dipastikan membawa dampak kemajuan.

Lampung sebagai daerah, orang Lampung sebagai subjek, bahkan bisa  menjadi suar, melesat maju. Keempat pilar itu wajib dijaga oleh semua pemangku kepentingan.  Akan tetapi, tulisan ini bukan untuk mencari bentuk bagaimana sebuah idealitas kehidupan itu hadir. Penulis hanya menyoroti tentang bagaimana tingkat pembacaan sastra generasi muda kita, khususnya dalam upaya memahami puisi?

Meminjam pola memahami teks yang dirumuskan Farid Esack, setidaknya ada tiga unsur intrinsik dalam prosesnya agar mampu mencerecap makna yang terkandung sebuah teks. Pada tulisan ini, dimaksudkan untuk memahami sebuah puisi.

Pertama, masuk dalam pikrian pengarang. Kedua, penafsir dengan banyak beban. Artinya, partisipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima, menafsir, dan makna teks selalu parsial.

Setiap penafsir selalu memasuki proses interpretasi dengan prapemahaman tentang persoalan yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam pemahaman itu sendiri.

Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah, dan tradisi. Berbeda dengan “baca puisi”. Selain perlu menguasai teks puisi, deklamasi butuh kemampuat teaterikal dan akting. Butuh pengaturan suara dan kemampuan monolog. Meski pada level bersastra untuk menegakkan pilar mestinya sudah pada fase “Lomba Cipta Puisi” namun sebagai langkah awal, lomba baca puisi masih menemukan relevansinya untuk terus berkiprah membuat perbaikan. Minimal memuisikan pembangunan Lampung. Terutama keberhasilan, capaian dan estetika kelampungan itu agar membumi dan dipahami generasi muda kita yang masih terkategori “miskin membaca” karya sastra.

Penulis meyakini, meski tidak membuat riset atau sensus dari 160 peserta yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa itu, pasti mayoritas belum pernah membaca puisi karya para penyair Lampung yang tidak ditugaskan guru bahasa di sekolahnya. Terlebih, buku-buku puisi yang memang sudah semakin langka di pasaran.

Inilah menariknya acara yang ditaja Lamban Sastra Isbedy, Lampung Post dan Pemprov Lampung. Yang mulai mengenalkan penyair dan karyanya yang memang dilahirkan dari dan oleh orang Lampung. Tercatat, ada 7 puisi yang bisa dipilih peserta untuk dideklamasikan. Ketujuh puisi itu adalah karya Isbedy Stiawan yang bejudul  Di Sebuah Kota; Seulas Bibir, Aroma Kopi, puisi Udo Z Karzi yang berjudul  Way Besai, Sajak Rumah Panggung Tua karya Edi Purwanto, Hujan di Tanjungkarang karya Iswadi Pratama, Sesiahan karya Jafar Fakhrurozi dan Ode Buat Pancasila karya Saiful Irba Tanpaka.

Sekadar Catatan

Hampir seluruh kompetisi atau lomba di ranah sastra, bukan hanya di Lampung. Bahkan secara nasional dan ditaja lembaga-lembaga papan atas sekalipun, menyisakan beberapa pertanyaan yang sebenarnya, layak dijadikan permenungan bersama. Sekaligus sebagai upaya perbaikan pada even-even selanjutnya.

Yaitu, pada proses kepesertaan. Lomba sastra baik membaca maupun mencipta, mengalami problem utama di ranah seleksi peserta. Jauh jika dibanding kompetisi di bidang olahraga atau seni lain, MTQ misalnya. Di MTQ misalnya, peserta untuk bertanding di level provinsi mestinya melalui seleksi ketat. Lomba tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan baru bisa berlaga di level provinsi.

Idealnya sebuah lomba, harus menggunakan jenjang. Di kompetisi olahraga, untuk masuk final mesti melewati babak penyisihan dan semi final. Tidak tiba-tiba adu tanding memperebutkan Piala Gubernur. Seharusnya dibuat berjenjang, di sini pertanyaan lanjutan layak diajukan. Apa bedanya lomba baca puisi ini dengan Pekan Seni Pelajar dan atau FLS2N yang lebih mendekati ideal untuk ajang perlombaan?

Memang Gubernur Lampung Award khususnya di ranah sastra baru dipelopori Lamban Sastra Isbedy dan Lampung Post. Namun, ke depan mesti dibuat formula agar tidak tumpang tindih even.

Contohnya, kenapa Lamban Sastra Isbedy dan Lampung Post tidak merangsek untuk mengisi ruang dan kolom sastra di koran edisi Minggu  dengan pembaruan yang lebih berarti dan bermanfaat bagi generasi muda Lampung? Atawa, membuat ajang kompetisi sastra yang tidak ada di PSP dan FLS2N jika sasaran kepesertaannya adalah pelajar.

Menghidupkan Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab (SBSB) yang pernah dipelopori Majalah Sastra Horison yang sudah gulung tikar untuk edisi cetak dan memasifkan SBSB ke seantero Lampung mungkin jauh lebih membumi, berdaya guna bagi sastra dibanding lomba baca puisi tanpa seleksi kepesertaan. []

Endri Y, esais, Tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 April 2017

No comments:

Post a Comment