May 20, 2007

Apresiasi: 'Nyambai': Cara Pergaulan Muda-Mudi

-- Mustaan


BUDAYA merupakan nilai-nilai luhur yang menjaga dan membawa hidup manusia lebih bermartabat. Terdapat garis yang menegaskan hitam dan putih dalam bermasyarakat termasuk pergaulan muda-mudi.

Dalam budaya Lampung Saibatin, acara tersebut salah satunya nyambai pada marga Liwa. Pada acara perkenalan, kelompok meghanai dan muli serta tuan rumah atau baya dan tamu atau kori dipisahkan. Selain itu perkenalan dilakukan melalui pantun dan surat-menyurat.

Budaya nyambai ini biasanya dilaksanakan pada acara-acara nayuh, tepatnya pada malam sebelum resepsi. Kegiatan tersebut biasanya digunakan mengisi waktu sembari muli-meghanai dari pihak baya menyelesaikan peralatan yang akan dipakai dalam resepsi esok harinya. Sore hari dipakai para orang tua untuk menggelar dziker, setelah mereka selesai dan muli-meghanai baya juga selesai membereskan peralatan, barulah dimulai acara nyambai.

Acara dimulai dengan pembukaan oleh "kepala" meghanai di kampung tempat nayuh digelar. Baru kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari dan pantun penyambutan dari pihak baya.

Robikum ya robikum, robikum sholialam
Robikum ya robikum, robikum sholialam
Assalamu alaikum, assalamu alaikum
Mula kata ku salam


(Artinya: Robikum ya robikum, robikum sholialam. Assalamu'alaikaum, awal mula kata dari kari untuk memberi salam)

Biasanya pantun seperti itu didendangkan kelompok meghanai atau muli baya menyapa para tamu-tamunya dalam nyambai. Hal itu menjadi bentuk penerimaan dan terima kasih mereka atas kehadiran para kelompok muli-meghanai dari pihak baya atau juga kampung sekitar.

Kelompok itu terus menari dan berpantun yang biasanya berisi tentang terima kasih sampai permohonan maaf jika dalam penyambutan tidak berkenan. Selain itu mereka mengajak para tamu bersuka ria dalam acara itu, jangan sampai ada keributan.

Sembari kelompok itu terus berpantun, panitia lainnya mulai membagikan kertas sebagai alat saling sapa antarpeserta yang hadir. Atau juga perkenalan dan hasrat ingin lebih dekat dengan, biasanya surat diawali tulisan para meghanai. Untuk pengantar surat itu, panitia menunjuk sepasang kurir yang mengambil antarsurat.

Bait pantun demi pantun dari kelompok baya terus dikumandangkan, sembari diiringi tabuh terbang. Setelah berakhir sajian tari dan pantun dari kelompok itu, disusul kelompok kori. Biasanya pantun berisi terima kasih telah disambut.

Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam
Sambutanni ti halu, sambutanni ti halu
manjak kon hati sekam


(Artinya: Buahnya jambu batu, ditaruh di dalam nampan. Sambutannya yang diterima membuat hati senang)

Setelah selesai kelompok baya, barulah kelompok-kelompok muli-meghanai undangan dari kampung-kampung dipersilakan nengah atau menari dan berpantun di tengah lingkaran. Secara bergiliran kelompok-kelompok itu terus bersahutan nengah.

Untuk yang kelompok meghanai juga biasanya disisipkan pantun yang bunyinya merayu seorang muli yang berada di lingkaran arena itu. Seperti pantun:

Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Adik sai kawai handak, injuk Evi Tamala
Negliak mu nyak panjak, ngeliakmu nyak panjak
Api lagi kik cawa


(Artinya: Adiknya baju putih, seperti artis Evi Tamala. Melihatnya saja sudah senang, apalagi saat dia bicara)

Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Bismilah cakak buah, Alhamdu cakak jambu
Apah gham kawin kidah, apah kham kawin kidah
Cakak lamban penghulu


(Artinya: Bismillah naik pohon pinang, alahamdu naik pohon jambu. Mari kita segera menikah, datang ke rumah penghulu)

Dengan adanya pantun ini, pihak muli langsung saja menyahutinya. Bisa dengan jawaban berisi terima kasih, dapat juga dengan jawaban "nakal" berupa penolakan.

Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kik abang ngusung talam, nyak nyambut anjak kudan
Kilu mahap jak sikam, kilu mahap jak sikam
Adu nerima ghasan


(Artinya: Kalau abang membawa talamnya, saya menyambutnya dari belakang. Mohon maaf dari kami, kami telah menerima lamaran)

Begitu terus sambut menyambut pantun antar kelompok peserta, sampai seluruh perwakilan kelompok dapat nengah semua. Dan sampai di akhir acara, biasanya panitia menghidangkan makan malam untuk disantap bersama seluruh peserta.

Ini menjadi pertanda bahwa budaya, memang sangat berarti untuk mengangkat martabat manusia dan kelompoknya. Agar tidak saling terpicu keributan, dilakukan sindiran-sindiran dengan pantun. Juga dibuatkan pertemuan acara bujang gadis secara beramai-ramai sehingga tidak menimbulkan fitnah terhadap mereka.

Namun, kegiatan ini makin lama terus terkikis dengan modernisasi dunia dan terserapnya budaya asing. Siapa lagi yang mampu mempertahankan budaya bangsa ini. n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2007

No comments:

Post a Comment