May 7, 2007

Proses Kreatif: Agar Karya Berakar Budaya, Sastrawan Harus Riset

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hingga kini sulit menemukan karya sastra (modern) yang berakar pada budaya Lampung. Kondisi ini terjadi karena lemahnya kemampuan sastrawan Lampung dalam meriset budaya. Padahal, karya sastra berkualitas yang memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai budaya suatu daerah hanya bisa lahir melalui riset.

Menurut Zulkarnain Zubairi, sastrawan muda yang mengkhususkan pada penciptaan, penerjemahan dan pembacaan puisi berbahasa daerah Lampung di Bandar Lampung, Selasa (24-5), tanpa didahului riset atau pengetahuan dan pendalaman yang baik tentang objek budaya yang hendak ditulis, sulit menghasilkan karya sastra dengan akar budaya kuat.

Dia mengakui budaya Lampung hanya mengenal tradisi sastra lisan, sehingga sulit mendapatkan peninggalan karya sastra tertulis. Beberapa naskah kuno, baik masih dalam naskah asli dalam bahasa Lampung maupun naskah terjemahan bahasa Indonesia seperti Kuntara Raja Niti, lebih banyak berisi tata hukum adat Lampung.

"Akibatnya, meskipun para seniman dan sastrawan Lampung dikenal dengan karya-karyanya dan diakui secara nasional, bahkan mancanegara; hanya sedikit yang sastra yang dihasilkan sastrawan Lampung yang terkait akar budaya di daerahnya," kata penyair yang sering menggunakan nama Udo Z. Karzi ini.

Peneliti kebudayaan Lampung, Fauzi Nurdin, malah menyebutkan adanya sejumlah dokumen ilmiah tentang adat dan tradisi Lampung yang ditulis orang asing dan diterbitkan di negara lain.

Walaupun begitu, menurut dia, berbagai literatur yang ada berkaitan adat, tradisi, dan kebudayaan Lampung tetap diperlukan sebagai rujukan bagi seniman atau sastrawan yang hendak mendalami untuk memberi warna pada karya sastra yang dihasilkan.

Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka mengingatkan adanya beberapa kasus sastrawan di Lampung yang nyaris menjadi korban. "Ada karya sastrawan Lampung yang dinilai kalangan adat sebagai tidak memahami dan menghargai adat tradisi yang ada. Di sinilah perlunya penelitian," katanya.

Cerpenis muda, Dyah Indra Mertawirana, mengaku kendati termasuk pendatang dari luar Lampung, dia dikenal exist sebagai sastrawan setelah berada di Lampung, hingga kini belum menghasilkan satu pun karya sastra yang memiliki akar budaya daerah itu.

"Saya tengah melakukan riset untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mengangkat tema akar budaya Lampung, tetapi hingga kini belum rampung sehingga belum ada karya yang dapat dihasilkan," katanya.

Dalam Dialog Menyemai Sastra Menggali Kearifan Lokal diselenggarakan Lingkar Kajian Afkar Circle, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Harian Lampung Post di Bandar Lampung, Sabtu (21-5), mengemuka pandangan karya sastra para sastrawan di Lampung semestinya dapat menggali kearifan lokal (local genius) yang terdapat dalam nilai-nilai budaya tradisi setempat.

Nilai lokal

Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya menyatakan kalau jeli menggali sebenarnya terdapat banyak nilai-nilai lokal dan kearifan lokal yang dimiliki daerah Lampung yang dapat menjadi jembatan untuk ditampilkan dalam karya sastra maupun karya seni.

"Jangan sampai malah nilai-nilai lokal dan kearifan itu justru lebih banyak dipakai dan digunakan orang lain di luar Lampung atau di luar negeri seperti terjadi selama ini, tapi justru kita yang di Lampung mengabaikannya," kata Bambang yang juga penulis tetap kolom Buras di Lampung Post.

Pengamat politik yang juga pernah membacakan sejumlah karya puisinya, Jauhari M. Zailani, menyebutkan kearifan lokal dalam karya sastra juga berarti kemampuan sastrawan di Lampung mengangkat karya yang mengandung nilai-nilai lokal yang layak dilestarikan dan disambunggenerasikan kepada anak-anak muda dan generasi selanjutnya.

"Karya sastra yang memiliki kearifan itu juga sebaiknya dapat memberikan pencerahan dan membangkitkan masyarakat untuk lebih produktif," ujar dosen Universitas Bandar Lampung (UBL) itu pula.

Menurut sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., sebenarnya kreativitas seniman dan sastrawan di daerahnya memungkinkan menggali khazanah budaya maupun kenyataan lokal yang terjadi dalam karya yang dihasilkan.

Paus Sastra Lampung itu menyebutkan dalam beberapa karya cerita pendek (cerpen)-nya mengambil setting atau back ground peristiwa keseharian masyarakat di Lampung yang lekat dengan budaya berkebun.

Begitu pula konflik yang ditulis dalam karyanya, di antaranya dipetik dari konflik nyata yang pernah terjadi di daerah sendiri.

Penyair Syaiful Irba Tanpaka menyebutkan hingga kini dia menemukan 100-an buku atau literatur yang khusus berisi tentang "lokalitas" di Lampung, seperti arsitektur, bahasa, adat, budaya, dan sejumlah aspek kehidupan lainnya. "Kebetulan saya bisa mengoleksi 50-an buku itu," ujar Syaiful.

Walaupun begitu, sejumlah sastrawan dan seniman muda di Lampung mengeluhkan kesulitan mereka mendapatkan pewarisan nilai-nilai lokal yang arif di Lampung, termasuk yang sepantasnya dapat menjadi bahan dari karya yang mereka hasilkan. n TYO/M-3

Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 Mei 2005

No comments:

Post a Comment