September 21, 2015

Lampung Barat, Kopi, dan Pariwisata

Oleh Eko Sugiarto


FESTIVAL Kopi Liwa atau Liwa Coffee Festival di Kecamatan Air Hitam cukup mengangkat nama Kabupaten Lampung Barat. Acara yang diselenggarakan oleh Dinas Perkebunan setempat dalam rangkaian peringatan HUT Ke-24 Kabupaten Lampung Barat ini tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesi (Muri) sebagai rekor ke-7.084 untuk kategori sangrai kopi terbanyak (http://lampost.co).

Berdasarkan catatan MURI (http://www.muri.org), setidaknya ada empat kabupaten yang pernah memegang rekor menyangrai kopi terbanyak. Tahun 2011 rekor ini dipegang Kabupaten Banyuwangi (270 tungku oleh 300 peserta), tahun 2012 dipegang Kabupaten Malang (561 peserta), tahun 2014 dipegang Kabupaten Tabanan (735 peserta), dan tahun 2015 dipegang Kabupaten Lampung Barat (1.049 tungku).


Masyarakat Lampung Barat boleh berbangga atas pencapaian ini. Namun, ada satu pertanyaan yang ingin penulis sampaikan, “Apa arti rekor ini bagi masyarakat Lampung Barat dan sampai kapankah kebanggaan atas rekor ini akan bertahan?”

Pertanyaan ini perlu direnungkan karena setelah nama Liwa (Lampung Barat) tercatat di MURI, tugas berat sebenarnya telah menanti. Salah satu di antaranya adalah mencari terobosan agar kebanggaan masyarakat setempat terhadap kabupaten yang identik dengan kopi ini (di Lampung setidaknya) bisa terus dipertahankan. Bahkan, bila perlu bisa diwariskan sampai ke anak-cucu. Jangan sampai kebanggan ini hanya bersifat sesaat, hanya “hangat-hangat tahi ayam”.

Pencapaian sebagai pemegang salah satu rekor yang tercatat di Muri ini bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk memperkenalkan berbagai potensi yang dimiliki Kabupaten Lampung Barat di sektor pariwisata, khususnya yang terkait dengan kopi. Dengan kata lain, kopi yang selama ini identik dengan usaha di bidang perkebunan bisa diarahkan untuk dikembangkan menjadi usaha pariwisata. Dengan demikian, para pelaku yang terlibat dalam bidang “perkopian” terutama para petani diharapkan bisa mendapatkan nilai tambah melalui kegiatan pariwisata.

Pengembangan pariwisata di Kabupaten Lampung Barat yang berbasis pada kopi merupakan hal yang cukup realistis mengingat komoditas utama di kabupaten ini adalah kopi. Lebih-lebih pada awal tahun 2015 kabupaten yang memiliki luas areal kebun kopi lebih dari 50.000 hektare ini sudah ditetapkan sebagai kawasan kopi nasional oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia. Oleh karena itu, menjadikan kopi sebagai ikon wisata di Kabupaten Lampung Barat adalah sebuah gagasan yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk diakomodasi oleh para pemangku kepentingan setempat.

Jika memang gagasan menjadikan kopi sebagai ikon wisata Kabupaten Lampung Barat bisa diakomodasi, setumpuk pekerjaan rumah sudah menanti. Salah satu yang paling penting dan harus dipersiapkan secara sangat serius adalah sumber daya manusia.

Menurut Printianto (2014), adanya pengembangan usaha dalam rangka mendapatkan nilai tambah dari usaha perkebunan melalui kegiatan pariwisata menimbulkan pergeseran tuntutan kinerja orang-orang yang terlibat di dalamnya dari “kinerja bercocok tanam” menjadi “kinerja pariwisata”. Hal ini bukan perkara mudah karena selama ini mereka bergelut dengan produk perkebunan yang sifatnya nyata (tangible) menjadi produk wisata yang bersifat tidak nyata (intangible).

Oleh karena itu, menjadikan kopi sebagai sebuah ikon wisata di Kabupaten Lampung Barat adalah sebuah gagasan yang realistis dan bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Meskipun demikian, perlu upaya keras dan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan untuk bahu-membahu mempersiapkan segalanya, salah satu di antaranya adalah sumber daya manusia. Moto “Beguai Jejama” yang selama ini dijunjung oleh masyarakat Lampung Barat dalam hal ini harus bisa dibuktikan.

Mudah-mudahan ke depan Kabupaten Lampung Barat benar-benar bisa menjadikan kopi tidak hanya sebagai ikon perkebunan, melainkan juga sebagai ikon wisata. Penulis berandai-andai betapa luar biasa kabupaten ini jika pada suatu saat orang yang datang ke sana memang benar-benar ingin menikmati “wisata kopi”, bukan sekadar singgah untuk melepas penat selama perjalanan sembari minum kopi.

Apakah upaya menjadikan kopi sebagai ikon wisata Kabupaten Lampung Barat bakal bisa terwujud? Apakah rekor MURI yang dipegang Kabupaten Lampung Barat pada ulang tahun ke-24 ini bisa menjadi kebanggaan yang bukan hanya sesaat? Mari kita lihat tahun depan ketika kabupaten ini berusia seperempat abad.n

Eko Sugiarto, Lulusan Magister Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: Fajar Sumatera, Senin, 21 September 2015


No comments:

Post a Comment