January 15, 2015

[Nyuara] Bagaimana Cara Menebus Malu?*

Oleh Udo Z. Karzi


BARU saja memberitahukan Majalah Nyuara mempunyai rumah baru di http://www.teraslampung.com/search/label/Nyuara. Belum ada yang mengirimkan karya ke Ruang Berbahasa Lampung ini. Hari ini, Selasa, 13 Januari 2015, saya ditanya.

"Apa kabar, Udo? Ada tidak buku sastra Lampung yang dipilih untuk Hadiah Rancage?" tanya Ahmad Rivai dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung.


"Alhamdulillah, sehat. Sastra Lampung, aduh jadi malu... Tidak ada buku sastra Lampung terbit tahun 2014. Maaf dan terima kasih atas perhatian Bapak dari Yayasan Rancage. Sukses. Tabik," jawab saya.

"Menebus malu, tahun 2015 terbit buku, Udo. Semoga," ujar Ahmad Rivai lagi.

"Insya Allah, Kang. Amiin," ujar saya.

Dalam kondisi seperti ini, saya ingat benar apa kata Irfan Anshory (alm). "Malu kita," ucapnya kepada saya (Lampung Post, 8 Februari 2009). Sangat pantas Bang Irfan bicara begitu. Soalnya dia yang serius benar mengusahakan sastra Lampung mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008. Dia meyakinkan sastrawan Ajip Rosidi, pendiri Yayasan Rancage bahwa Lampung memang selayaknya mendapatkan penghargaan itu. Pak Ajip kemudian kemudian mengiyakan. Komitmennya: Lampung siap menerbitkian sastra Lampung paling tidak dua buku setiap tahun.

Kenyataannya, 2008-2014 Lampung hanya tiga kali -- dari seharusnya tujuh kali -- mendapatkan Rancage. Tiga penerima Hadiah Sastra Rancage untuk bahasa Lampung, yaitu Udo Z. Karzi dengan buku puisinya Mak Dawah Mak Dibingi (2008), Asarpin Aslami dengan kumpulan cerbun-nya Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong (2010), dan Fitri Yani dengan kumpulan sajaknya, Suluh (2014).

Tahun ini, hampir pasti kita tidak mendapatkan Rancage lagi. Sehingga, lima tahun penghargaan sastra ini tidak sampai ke orang Lampung.

Membuka data Kang Hawe Setiawan, setidaknya kini ada 24 judul buku sastra Sunda yang terbit 2014 (Jumlah ini masih bertambah). Sastra Jawa sekian puluh, sastra Bali sekian belas... Belum tahu. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, mestilah banyak. Sastra Lampung? Ampun bener deh...

Sudah ah, ini sekadar informasi. Tak usah saya berkeluh kesah.

Yang penting seperti kata Kang Rivai, "Terbitkan buku sastra Lampung untuk obat malu di masa hadap."

Gimana geh kalau tidak menjawab: "Amiin. Semoga banget." Doa itu tak pernah putus.

Tabik.

Bandar Lampung, 13 Januari 2015


Cawa Lampung
aku = kata saya, ujarku
ani = ujarnya, kata dia
cawa = kata, bicara, omong
kalau, kekalau = semoga, mudah-mudahan
liyom = malu
repa = bagaimana
makkung = belum
mawat = tidak
munyaian = sehat, afiat
wat = ada


* Nyerah deh! Bu Frieda Amran pengen tahu arti tulisan Repa Carani Nebus Liyom di Rubrik Nyuara, Teras Lampung.com, 14/01/2014. klik: http://www.teraslampung.com/2015/01/repa-carani-nebus-liyom.html  Saya terjemahkan juga melihat bagaimana semena-menanya (anggap enteng, masa bodoh, dan hampir sama sekali tak peduli) pemerintah di daerah ini terhadap bahasa dan aksara Lampung. Terakhir, kasus aksara Lampung di gapura selamat Datang Bandar Lampung. Oh, nasib bahasa dan sastra Lampung di rumahnya sendiri.


Sumber:  Catatan Facebook Udoz Karzi, 15 Januari 2015

No comments:

Post a Comment