Oleh Nanien Yuniar
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dalam peluncuran novel "Semua Ikan di Langit" yang menjadi pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2016. (ANTARA News/Nanien Yuniar)
/1/
KARYA pertama Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie di dunia
literasi muncul pada 2010 melalui novel berjudul "Indigo Girl".
Setelah novel perdana, setiap tahun Ziggy meluncurkan buku-buku baru secara
produktif. Dalam tujuh tahun, ia sudah menerbitkan 27 judul novel.
Pada 2015, "Di Tanah Lada" keluar sebagai juara
kedua Sayembara Buku Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Tahun berikutnya, novel "Semua Ikan di Langit" jadi pemenang utama. Para dewan juri memutuskan tidak ada pemenang kedua dan ketiga karena perbedaan mutu tajam antara karya Ziggy dengan naskah lain.
Salah satu juri, Zen Hae, memuji "Semua Ikan di
Langit" yang disebutnya sebagai gabungan kompleks dengan ramuan banyak
jurus cerita, sebuah adukan antara cerita anak, fantasi, fiksi ilmiah, dongeng
hingga mitos penciptaan dunia.
Ziggy sendiri mengatakan novel yang ditulis hanya dalam tiga
pekan itu sebenarnya berisi curahan hatinya sendiri, bukan tulisan kontemplatif
seperti komentar sebagian pembaca.
Penulis kelahiran Bandar Lampung 23 tahun silam itu
berbincang dengan ANTARA News
mengenai awal mula terjun di dunia menulis hingga skripsi yang tak kunjung
usai.
Bagaimana cerita di
balik penerbitan buku pertama Indigo Girl?
Aku waktu itu lagi sakit, jadi tiga hari enggak sekolah.
Selama tiga hari biar enggak nganggur aku nulis. Terus aku sebenarnya habis ke
Gramedia dan memang ada pengumuman soal salah satu penerbit buku, (aku
berpikir) tapi kan karena penerbit kecil mungkin mau kali ya menerima (naskah).
Ya sudah kukirim saja.
Sebelum menerbitkan
buku pertama Indigo Girl (2010),
apakah kamu sudah membuat banyak tulisan sebelum akhirnya terbit?
Enggak. Aku bahkan enggak bisa nulis diary. Enggak suka.
Enggak bisa. (tertawa). Jadi ini betul-betul kayak out of nowhere saja.
Kamu enggak nulis
diary, tapi bilang "Semua Ikan di Langit" adalah isi curhat?
Kan save personal life
for the public. Kalau diary tuh
apa sih, cuma dibaca sendiri, enggak ada yang apresiasi (tertawa).
Waktu kecil pernah
bercita-cita jadi penulis?
Enggak, aku waktu kecil ingin jadi kondektur bus seperti yang
saya tulis di "soal penulis". Tapi mama bilang itu karena saya suka
lihat kondektur bus punya banyak uang. Saya pikir "oh berarti orang itu
orang kaya". Logic. Tapi…
enggak… Tidak berminat jadi penulis.
Sejak kapan mulai
menulis?
Mungkin kelas 5 SD, tapi enggak serius juga sih. Ini enggak
pernah diseriusin sampai lulus SMA.
Setelah lulus SMA,
fokus menulis?
Saya tidak fokus. Sama sekali tidak fokus. Enggak tahu, kalau
nulis itu kayak sebetulnya memang dibilang bisa setiap saat, tapi betul-betul
kayak angin-anginan saja. Enggak tahu sih, aku enggak fokus kuliah, enggak
fokus nulis, enggak ada fokusnya. Betul-betul kayak divided.
Berarti kamu bukan tipe
orang yang membuat jadwal menulis?
Oh, tidak. Aku dulu kayak begitu terus aku stres sendiri.
Jadi aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
Kamu butuh situasi
khusus untuk bisa menulis?
Sebetulnya enggak ada situasi khusus, cuma aku paling enggak
bisa kalau ada orang yang ngeliatin.
Soalnya keluarga gue itu lumayan nosy
jadi kalau mulai ngerjain sesuatu di
laptop pasti suka ada yang ngintip gitu di belakang, paling enggak suka
(tertawa). Jadi, selama enggak ada keluarga bisa di mana saja.
Kalau bukan keluarga,
siapa pun, enggak terganggu?
Soalnya jarang hangout juga sih sama teman-teman. Dan kalau
hangout sama teman-teman ya konteksnya hangout, bukan ingin buka laptop dan
main-main. Jadi ya memang fokus ke orang. Tapi kalau keluarga kan kayak nyantai
sambil ngerjain, karena setiap saat
di rumah kan, jadinya ya terganggu. Tapi kalau sama teman-teman sih enggak
tahu, enggak pernah merasakan. Karena memang enggak pernah kerja di depan
teman-teman.
Jadi biasanya menulis
di rumah?
Di mana saja sih. Di kosan, di kafe juga kadang-kadang, tapi
lebih nyaman di kosan sih memang, bisa dikondisikan sesuai keinginan.
Kalau bikin buku, judul
duluan atau belakangan?
Belakangan. Saya tidak suka bikin judul.
Ada judul buku yang
paling sulit dibikin?
Apa ya? Enggak ada yang spesifik sih soalnya kalau judul
selalu under pressure. Aku enggak
suka ngasih judul. Kalau bisa enggak dikasih judul sih aku enggak kasih judul.
Ini (menunjuk ke poster "Semua Ikan di Langit") juga ceritanya out of nowhere. "Ikan di
langit", ya sudah, kayaknya oke. Ini satu-satunya judul yang dipuji sama
orang soalnya sisa-sisanya memang betul-betul crap.
Kalau buku yang paling
susah bikinnya apa?
Sebetulnya aku suka sih pas nulis ini (Semua Ikan di Langit)
tapi situasinya sedang tidak mendukung jadi enggak tahu sih bisa dibilang suka
atau tidak. Soalnya waktu nulis cerita ini aku lagi depressed banget. Tapi yang paling aku suka secara overall mungkin "Saving Ludo"
yang diterbitkan Mizan. Soalnya itu memang pertama kalinya aku nulis soal yang
agak spiritual.
Suka baca komentar
netizen?
Biasanya sebulan pertama aku baca, setelahnya aku bosan.
Soalnya secara overall opini publik
bakal kayak begitu saja. Kira-kira tahu gambaran kasarnya seperti apa.
Komentar negatif?
Tidak usah dipikirkan. Namanya juga selera orang. Banyak buku
terkenal yang aku enggak suka, memang namanya selera.
Paling suka menulis
genre apa?
Agak lebih suka fantasi sih. Enggak ada alasan macam-macam.
Mungkin yang paling enggak suka romance
soalnya enggak connect. Sebenarnya
enggak spesifik juga sih. Tergantung memang ceritanya kayak gimana dan mau
cerita apa.
Horor? Thriller?
Biasa saja. Soalnya aku enggak percaya hantu jadi agak gimana
ya kalau menulis (horor).
Kalau thriller nonhantu,
misalnya detektif?
Dulu aku suka, tapi ke belakang aku jadi suka insecure sendiri karena di Hukum belajar
forensik. Aku jadi tahu 'kayaknya ini bakal salah' jadi aku kayak self concious dan sudah enggak mau ngerjain kayak gitu lagi.
Di keluarga apakah ada
yang suka menulis juga?
Enggak juga sih. Kakakku yang pertama dulu sempat suka nulis
puisi tapi memang enggak diseriusin. Kalau kakakku yang kedua enggak suka tapi
dia… dia yang nulis diary. Dan diary-nya
selalu dibacakan tiap malam. Jadi sangat tidak private (tertawa). Jadi kami
tahu semua mengenai… tidak ada rahasia lagi di dalam kehidupan beliau. Tapi..
enggak sih, mereka enggak ada yang serius menulis. Kalau mama dulu lumayan suka
puisi tapi dia juga sama kayak mbakku, memang enggak mendalami. Cuma hobi saja.
Tapi dia dulu orang teater sih, enggak tahu juga sih, sebenarnya enggak ada
hubungannya sama menulis, cuma… ya…
Ziggy awalnya
merahasiakan karya tulisnya pada keluarga karena merasa malu. Ketika rahasia
itu terbongkar dan sang ayah membaca bukunya, Ziggy mogok bicara dengan ayahnya
selama dua pekan.
Kamu katanya dulu malu
saat novel dibaca keluarga…
Sampai sekarang juga sebenarnya.
… Sampai sekarang? Buku yang baru sudah
dibaca?
Ya makanya saya sangat tertekan tiba di sini (peluncuran).
Aku sebenarnya launching ini aku
bilang enggak usah ada aja. Tapi dari promosi ya… pasrah saja. Aku kalau nerbitin novel enggak suka ngomongin,
makanya…
Andai ada kesempatan
mengadaptasi buku kamu jadi film, pilih yang mana?
Aku enggak memikirkan akan difilmkan… (berpikir) kok sulit ya
pertanyaannya. Enggak tahu. Tapi mungkin kalau yang mau yang realistis untuk
produksi Indonesia aku pilih "Jakarta Sebelum Pagi".
Setelah "Semua
Ikan di Langit", mau nulis apa lagi?
Mau menyelesaikan skripsi, sudah dimarahi dosen, sudah satu
semester bolos.
Bolos gara-gara
mengerjakan "Semua Ikan di Langit"?
Enggak juga.
Ada target lulus?
Tidak, tidak punya target apa-apa. Nanti kalau pasang target,
stres lagi.
Semoga cepat lulus ya.
Terima kasih, dosen saya juga sudah bosan (tertawa).
/2/
Namanya yang unik kerap menimbulkan tanda tanya, apakah itu
asli atau identitas samaran?
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie mengaku sudah bosan membahas
soal itu.
"Saya enggak mau jawab soal itu," katanya pada ANTARA News usai peluncuran novel
"Semua Ikan di Langit" yang menjadi pemenang sayembara novel Dewan
Kesenian Jakarta 2016, pekan lalu.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini bukan satu-satunya
Ziggy di keluarganya. Orangtuanya memberi nama "Ziggy" untuk semua
anak-anaknya, yang membedakan hanya nama belakangnya.
Dalam sebuah wawancara, penulis 23 tahun ini pernah
mengatakan orangtuanya suka dengan album karya David Bowie "The Rise and
Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars" yang kelak jadi
inspirasi dalam menamai anak-anaknya.
"Itu hanya salah satu spekulasi yang saya berikan,"
timpal Ziggy saat dikonfirmasi soal itu.
Novelis yang telah menerbitkan 27 buku sejak 2010 itu
berbincang dengan ANTARA News, mulai dari nama uniknya hingga niat awal terjun
ke dunia literasi.
Kamu dipanggil apa di
rumah?
Tidak mau berbagi. Soalnya nanti orang-orang akan mulai memanggil
saya dengan nama itu dan saya tidak suka (tertawa).
Kakak-kakakmu nama
belakangnya juga panjang seperti kamu?
Iya.
Setidaknya enggak akan
ada nama yang sama di kelas, ya?
Siapa tahu ada yang terinspirasi?
Iya, ya. Apalagi zaman
sekarang nama anak-anak semakin beragam.
Kasihan anak-anak itu (tertawa).
Kamu juga merasa
sebagai yang dikasihani?
(mengangguk sambil tersenyum lebar)
Kalau bisa milih nama
sendiri, namanya siapa?
Enggak tahu, enggak pernah memikirkan ganti nama. Soalnya
namanya sudah fix. Kayaknya enggak
bisa diganti lagi.
Waktu SD, kalau mengisi
lembar jawaban komputer, enggak ribet?
Isi aja. Waktu SD sebetulnya aku nulis nama itu dengan salah.
Aku pisah-pisah per .. hmm.. per dua-tiga suku kata itu aku pisah. Tapi setelah
melihat akta kelahiran ternyata disambung. Jadi sepanjang SD itu sebenarnya
gampang, dua "Z" di belakang itu tinggal disingkat.
Meski punya nama unik
yang bisa jadi pilihan untuk username di media sosial, Ziggy memilih nama
@monamiCROISSANT untuk akun Twitter.
Kenapa nama Twitter
kamu @monamiCroissant? Suka croissant?
Aku sebetulnya enggak suka. Suka sih, cuma aku enggak suka
mentega (tertawa). Kenapa ya? Sebetulnya itu tadinya mau dijadikan nama
password, tapi kata mbak-ku itu aja yang dijadikan username soalnya lucu. Ya
sudah. Jadi mbakku yang milih sebenarnya. Bukan saya, dan dia memang penggemar croissant.
Hobi saat senggang?
Menonton laptop, streaming.
Nonton TV series yang western.
Seperti ayahnya yang
merupakan praktisi hukum, Ziggy mengikuti jejaknya dengan mengambil jurusan
fakultas Hukum di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Saat ini ia
sedang berkutat mengerjakan skripsi agar bisa segera lulus.
Kenapa enggak ambil
sastra?
Memang enggak tertarik sama sastra sih. Memang enggak
kepingin masuk sastra. Dan kenapa ya, kalau hukum terutama karena dorongan dari
papa sih, dia kan pengacara. Tapi, mungkin memang sengaja enggak ngambil sastra karena kepingin mencoba
mempelajari hal baru gitu.
Kalau buat aku kan kalau aku belajar sastra aku takutnya
kayak limited gitu. Malah kayak takut menyalahi tata bahasa, segala macam.
Takutnya menulisnya jadi structured. Jadi kayaknya malah justru akan mengekang
kalau aku belajar sastra. Itu salah satu pertimbangannya sih. Tapi kalau secara
spesifik kenapa ambil hukum, enggak ada alasan sih. Namanya juga baru lulus
sekolah enggak tahu harus ngapain (tertawa).
Kalau ada pilihan
menulis di mesin tik, mau coba?
Aku punya mesin tik di rumah.
Masih pakai?
Enggak juga. Terakhir pakai waktu SD. Tapi enak sih.. cuma
aku enggak mengerti cara ganti pitanya. Tapi seru sih soalnya ada
suara-suaranya jadi semangat. Ctak. Ctak. Ctak. (meniru gestur mengetik) Cuma
kayaknya enggak bisa konsen (tertawa) jadi pingin main doang.
Buku non favorit?
Enggak tahu. Banyak sih baca buku yang enggak disuka tapi
enggak pernah diingat.
Buku favorit?
Pertanyaannya sebenarnya tidak bisa dijawab soalnya banyak.
Tapi mungkin salah satu yang paling impressionable
itu John Callahan yang “The King of
Things and the Cranberry Clown”. Itu sebenarnya kayak poetry book gitu tapi rhyme
book gitu untuk anak-anak. Tapi itu message-nya
dalam banget. Itu bagus banget. Itu ilustrated book. Sebenarnya bisa dicari
sih di online juga ada skrip
lengkapnya dan juga ada gambarnya. Itu bagus banget.
Selain buku itu, andai kamu cuma boleh menyimpan satu buku di
rumah, buku apa?
Di rumah yang mana? Aku ada tiga rumah, gimana ya? Ada
perpustakaan di Lampung (rumah orangtua), ada kosan di Bandung yang banyak
sekali rak bukunya dan di Jakarta juga. Pilih yang mana?
Yang paling sering
ditempati?
Kalau berdasarkan tingkat frekuensi belakangan ini di
Bandung.
Kalau begitu yang di
Bandung.
Di Bandung ya… Apa ya.. sebetulnya ada banyak ya… (berpikir).
Aku tidak yakin.. Hehe.. banyak sekali soalnya. Tapi mungkin buku yang tadi
(John Callahan) soalnya ada di Bandung.
Ilustrasi karya Ziggy (ANTARA News/Nanien Yuniar)
Kamu kan multitalenta,
bisa main musik, menggambar…
Itu cuma hobi saja, tidak didalami. Bukan hobi sih, cuma nyoba-nyoba…
Kalau gambar, ilustrasi
di “Semua Ikan di Langit” kamu semua yang bikin?
Iya, kecuali sampul depan.
Otodidak?
(mengangguk)
Berniat menawarkan
ilustrasi untuk teman-teman novelis lain?
Oh saya tidak suka menawarkan jasa.
Kalau diminta, mau?
Tergantung permintaannya seperti apa.
Ada niat bikin buku
ilustrasi, misalnya ilustrasi anak?
Dulu itu cita-cita pertamaku mau nulis sebetulnya pingin
nulis buku anak sih. Karena memang pasarnya susah jadi makanya aku “terjebak”
di dunia ini (tertawa). Tapi memang waktu awal masuk ke dunia literasi sih
kepingin nulis cerita anak, mungkin makanya ceritanya (novel-novelnya) kayak
anak-anak terus mungkin karena masih obsessed sama initial wish.
Editor: Monalisa
Sumber: AntaraNews.com,
Selasa, 21 Maret 2017
No comments:
Post a Comment