May 17, 1998

Catatan Kebudayaan: Sastra di Tengah Krisis

Oleh Z Karzi*

ADAKAH krisis (ekonomi – politik) yang tengah melanda Indonesia saat ini mengimbas pada kehidupan sastra? Pertanyaan ini malah bisa dijawabnya dengan pertanyaan balik: Mengapa mesti bertanya begitu? Tidakkah pertanyaan pertama itu pertanyaan yang bodoh? Sekarang sektor apa yang tidak terpengaruh krisis kali ini? bukankah krisis telah membawa implikasi yang buruk bagi semua sektor pengecualian?

Jangankan sastra yang tak kunjung mendapat tempat terhormat di panggung kehidupan bangsa ini, sektor-sektor riil yang nyata-nyata berkenaan dengan hajat hidup orang banyak saja limbung.


Harga kertas yang melambung tinggi, daya beli masyarakat yang semakin terbatas, kepusingan masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan pokok (basic need), semakin terbatasnya halaman sastra yang disediakan koran-koran, serta bangkrutnya penerbit-penerbit buku adalah sedikit alasan yang bisa dikemukakan untuk mengatakan kemungkinan sastra akan semakin menjauh masyarakat.

Ah, tulisan ini tak hendak mengembangkan ketakutan-ketakutan akan masa suram dunia sastra. Bahwa sastra semakin jauh dari masyarakat bangsa ini, mungkin saja itu bisa terjadi. Tapi, saya tak suka dengan pesimisme-pesimisme semacam itu.

Soalnya, di antara hiruk-pikuk berita krisis yang tak kunjung menunjukkan gejala akan berakhir, maraknya aksi mahasiswa di hampir semua kampus di Indonesia, serta lambannya pemerintah dan legislatif merespon situasi negeri, terbit kabar menggembirakan bahwa telah lahir sebuah roman yang dipuji-puji sebagai pencerahan kebekuan dunia sastra Indonesia selama ini.

Kabarnya, roman “Saman”, pemenang lomba sayembara mengarang roman karya Ayu Utami itu bisa dinikmati karena telah diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sayangnya, buku ini belum saya temukan di toko-toko buku di Lampung. Perkiraan saya, buku ini mahal karena tingginya harga kertas dan biaya-biaya lain saat ini.
Keberhasilan Ayu Utami di dalam mengerahkan kekuatan bahasa Indonesia di dalam romannya, setidaknya membuat kepercayaan akan semakin cerahnya kehidupan sastra Indonesia.

Dalam suasana negeri yang serba menekan dan mencekam, hadir sebuah karya sastra yang gemilang. Kita perlu menyambut kedatangan karya sastra ini dengan penuh gairah. Ternyata, masih ada sastrawan kita yang mampu memberikan karya yang berarti bagi bangsanya.

Agaknya, kebekuan kehidupan sastra Indonesia selama beberapa decade terakhir ini, seperti disinyalir pengamat sastra, telah dicairkan Ayu Utami lewat karya gemilangnya. Dan, sayapun menjadi lebih bertambah optimis akan kemungkinan lahirnya karya-karya sastra yang dapat diperhitungkan di masa-masa depan.

Saya melihat adanya peluang-peluang yang luas bagi peminat dan pekerja sastra di kegerahan masyarakat saat ini untuk semakin memasyarakatkan sastra. Saya seakan menyaksikan sosok sastra yang mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi orang-orang Indonesia yang tengah dilanda kegersangan nurani akibat gerogotan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membudaya.

Saya menengarai semakin dibutuhkannya kehadiran bahasa sastra yang menyejukkan, penuh kelembutan dan menyentuh kemanusiaan di tengah maraknya bahasa kekerasan yang menampilkan wajah menakutkan dan penuh kemunafikan (karena yang hadir adalah bahasa kekuasaan).

“Bila politik mencemari, maka sastra akan menyucikan.” Ungkapan ini seharusnya bisa memacu para sastrawan untuk lebih kreatif lagi dalam berkarya. Kekuasaan yang melekat pada politik bisa melenakan manusia, mengabaikan nilai-nilai insani yang ia miliki, serta meniadakan peradaban yang luhur. Kekuasaan bisa membutakan orang dan menjadikannya lebih binatang dari binatang.

Akan tetapi, sastra bisa membuka hati manusia tentang nilai-nilai kemanusiaan, kecintaan, kebenaran, keadilan, serta nilai-nilai esensial lainnya yang pada dasarnya melekat pada setiap manusia, yang bisa membawa manusia ke kedamaian, penghormatan satu sama lainnya dan penghidupan yang lebih baik.

Alangkah indahnya apabila penguasa, pejabat, pemimpin, atau siapapun yang banyak menentukan kebijaksanaan negara dan masyarakat kita, semuanya menyempatkan diri membaca karya sastra. Melalui simbolismenya yang lembut yang menyentuh oleh orang-orang yang bijak, yang penuh pertimbangan dalam hal kepentingan publik, yang penuh istiqomah dalam memegang amanah yang dipikulkan kepada mereka. Percayalah, korupsi, kolusi, nepotisme atau apapun istilahnya dapat diminimalisir.

Manakala pers dibungkam, sastra bisa bicara, inilah yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpen-cerpennya. Cerpenis yang wartawan ini mengaku, cerpennya justru ingin mengungkapkan peristiwa, kasus dan hal-hal yang tidak mungkin disajikan dengan karya jurnalistik di koran-koran dan majalah-majalah yang terbit dan beredar di Indonesia. Lewat fiksinya, Seno mengajak pembaca menyaksikan sendiri kejadian-kejadian yang sebenarnya nyata untuk kemudian membangkitkan kesadaran akan kemanusiaan mereka.

Setiap sastrawan semestinya menyadari akan peran sucinya ini. Dibutuhkan “keberanian” untuk bereksplorasi, bereksperimen dalam karya sastra. Krisis ekonomi – politik yang tengah melanda Indonesia saat ini berikut masalah-masalah di sekitar krisis tersebut adalah sumber inspirasi yang tak akan kering bagi sastrawan. Mungkin! n

* Nama lain dari Udo Z. Karzi


Sumber: Tamtama, Minggu, 17 Mei 1998 

No comments:

Post a Comment