June 8, 2003

Kebangkitan Sastra Lokal

Oleh Binhad Nurrohmat


ani reformasi damai
kok bedamai jama puari tenggalan,
kantek tenggalan, kebelah lamban tenggalan,
rik badan tenggalan riya payah.

(katanya reformasi damai
kok berdamai dengan saudara sendiri,
teman sendiri, tetangga sendiri,
dan diri sendiri saja sulit).

PRAKTIK-PRAKTIK kebijakan kekuasaan dan birokrasi yang bernafsu untuk membangun satu pusat kekuasaan negara yang otoriter-sentralistis sepanjang rezim Soeharto bercokol di negeri ini telah menimbulkan banyak dampak. Dampaknya bahkan menjadi rumit, ruwet, dan gawat di berbagai ruang kehidupan bersama dan masih sangat terasakan sampai sekarang.

Praktik otoritarianisme itu tak terkecuali diberlakukan juga di aneka bahasa dan sastra daerah yang sudah ada dan dipraktikkan turun-temurun sejak ratusan tahun silam oleh masyarakat lokal yang tersebar dan menghuni Nusantara sejak zaman raja-raja dan sultan-sultan masih berkuasa, dan jauh sebelum gagasan negara Indonesia tercetuskan pada Oktober 1928 lewat maklumat Sumpah Pemuda.

Dampak pemusatan itu membuat khazanah sastra dan bahasa lokal Nusantara menjadi dipinggirkan, kehilangan martabat, dan seakan-akan tak penting lagi karena dianggap tak bisa menyumbangkan yang konkret bagi bangsa dan negara, tak mengundang investor, dan tak membuat wisatawan-wisatawan datang berkunjung ke Indonesia. Potensi kebudayaan lokal itu dianggap sebagai warisan lama leluhur atau kebudayaan nenek moyang yang sudah kuno dan tak lagi fungsional saat ini.

Paradigma linier-materialistik yang picik dari kekuasaan negara otoriter itu terbukti mempunyai kekuatan daya hancur yang luar biasa terhadap keberadaan dan akar-akar kebudayaan lokal sebab kekuasaan negara otoriter cukup punya kekuatan politik, ekonomi serta lihai untuk menggembosi, bahkan menghancurkan potensi yang dianggapnya tak berguna atau "mengganggu" keberlangsungan kekuasaannya. Otoritarianisme akan memberdayakan semua potensi yang ada untuk mendukung dan menjaga status quo-nya.

Aneka dongeng, pepatah, pantun, dan bentuk-bentuk khazanah sastra daerah yang lain yang dulu hidup dan menjadi pegangan bahkan pusat nilai-nilai yang membentuk dan membangun kehidupan masyarakat pribumi, kini sudah tak lagi mampu menjadi kekuatan nilai yang dianggap penting, bukan lagi dianggap sebagai nilai-nilai rujukan yang tepat bagi problem masyarakatnya kemudian dimasabodohkan oleh masyarakatnya sendiri.

Semua itu akibat kebijakan kekuasaan negara yang tidak punya strategi pelestarian dan pemberdayaan kebudayaan, tidak mempunyai komitmen yang jelas akan sejarah komunitas masyarakat lokal yang menghuni Nusantara ini sejak berabad silam. Bahkan, tampak hendak "melumpuhkannya" secara sistematis demi langgengnya satu kekuasaan negara lewat praktik kebijakan-kebijakan pendidikan dan kebudayaan nasional yang memusat dan kelewat menggebu-gebu berorientasi sain dan teknologi dan meremehkan eksistensi kebudayaan lokal yang sudah lama eksis di Nusantara. Kekuasaan lebih mengejar aspek material ketimbang spiritual, sesuai dengan kepentingan jangka pendek politik dan ekonomi belaka.

Akibatnya banyak nilai dan kearifan tradisi lokal di Nusantara yang tersimpan dalam bahasa dan sastra lokal tidak berfungsi, tidak lagi gampang dikenali, bahkan hancur dan banyak yang punah, sehingga generasi penerus kehilangan sumber atau tercabut dari akar tradisinya sendiri dan kebingungan untuk merumuskan atau membentuk identitasnya.

Kebingungan itu sangat berpengaruh pada kemampuan mengenali diri sendiri, kehilangan pegangan dan orientasi nilai dan akibatnya gampang dihegemoni nilai-nilai dari luar.


Revitalisasi

PETIKAN sajak "Revolusi Gawoh" (Revolusi Saja) yang dikutip di atas itu terasa sederhana, langsung dan gamblang. Sajak itu sebenarnya sindiran penting yang berupaya memberi rumusan yang jitu keadaan bangsa dan negara ini seusai Reformasi 1998 meskipun sajak itu seakan-akan diucapkan lewat gaya begitu lugu dan "sambil lalu" oleh Udo Z. Karzi (seorang penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970) lewat bahasa Lampung Pesisir, yaitu bahasa yang dipraktikkan berabad-abad komunitas etnis Lampung yang melahirkan dan membesarkannya.

Sajak itu salah satu sampel dan bukti bahwa bahasa dan sastra lokal ternyata masih eksis, kritis, dan kreatif, serta masih bisa dipraktikkan untuk merumuskan dan mengucapkan problem kekinian negerinya lewat nuansa dan gaya bahasanya sendiri. Bahasa lokal ternyata tidak sebagaimana anggapan masyarakat umum yang menilainya kuno, ortodoks, tidak keren, dan tidak modern sebagaimana bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Rendahnya "gengsi" potensi-potensi kebudayaan lokal itu berakibat pada lemahnya kepercayaan diri masyarakat lokal dan kekuasaan negara untuk memfungsikan dan merawatnya. Tetapi, seusai reformasi ada semacam kesadaran masyarakat-masyarakat lokal di berbagai pelosok negeri ini, baik secara politik, sosial maupun kebudayaan. Kesadaran lokal itu hendak menegaskan eksistensi dirinya, bahkan agak berontak, setelah begitu lama berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan pembatasan dari kekuasaan negara sampai-sampai masyarakat lokal menjauh dari dan bahkan kehilangan wilayah kebudayaan dan identitasnya karena diisap kepentingan kekuasaan yang otoriter itu.

Sebagaimana begitu bagus diungkap oleh penyair ini, dang niku bewarah lagi/kebanian tuyuk turingku ngarungi samudera/di labuhan jukung nyak mak ngeliak lagi/nelayan nyepok iwa/umbak ni kelewat ganas./badai sekali inji rasa ni nyecam nihan/tuhuk segok di kecut ni lawok./batu karang sai bela diakuk reklamasi/mak dapok ngelindungi ni lagi./(jangan kau ceritakan lagi/keberanian nenek moyangku mengarungi samudera/di labuhan jukung tak kulihat lagi/nelayan mencari ikan/ombak kelewat ganas./badai kali ini terasa begitu mencekam/batu karang hancur dijarah reklamasi/tak mampu melindungi lagi.// (halaman 40).

Seusai reformasi, masyarakat kita berharap kelewat banyak keadaan cepat berubah menjadi lebih baik agar kekuasaan dan masyarakatnya bekerja sesuai tugasnya masing-masing serta bisa saling bersikap harmonis. Tetapi, reformasi masih seperti mimpi indah dan membuat masyarakat kecewa dan marah. Kehidupan yang chaos merajalela, masyarakat terpuruk oleh kebijakan-kebijakan kekuasaan yang memberatkan dan salah arah. Reformasi belum menunjukkan prestasi yang baik dan malah memperlihatkan tabiat dan keadaan manusia dan kehidupan yang memprihatinkan.

Penyair ini menuliskan kondisi tersebut sebagai berikut. ani, reformasi damai,/kok ram maseh gering ngotot,/maksakon kehaga, rik setetiha sunyin ni./mengapi ram mak beusaha mejong barong,/ gantian cawa, ngehurmati cawa ni sai bareh,/rik beupaya nyepok solusi sai buyun?/mengapi ram ngerasa paling benor,/rumpok bareh salah sunyin,/rik uleh ni seno api riya harus ram sipak?/mengapi ram mak dapok nahan diri/rik nimbang-nimbang sunyin ni sai radu, basa ni, rik aga terjadi uleh guwaian neram?// (katanya reformasi damai,/kok kita masih suka ngotot,/memaksakan kehendak, dan pakai kekerasan segala./mengapa kita tak duduk bersama,/gantian bicara, menghormati pandangan lain,/dan menemukan solusi terbaik?/mengapa kita merasa paling benar,/orang lain salah semua,/ dan karenanya apa pun harus kita terjang?/mengapa kita tak mampu menahan diri/dan menimbang-nimbang segala yang telah, sedang, dan akan terjadi akibat kelakuan kita?// (halaman 42).

Karena itu, kini, potensi-potensi kebudayaan lokal di Nusantara perlu membangun dirinya demi terbentuk suatu identitas bangsa yang punya akar dan arah yang jelas. Modern bukan berarti harus menanggalkan semua yang lokal, tetapi pascamodern juga bukan sama sekali menolak segala yang modern.

Kearifan untuk membuka diri terhadap nilai-nilai dari luar dan keteguhan menjaga akar identitas semestinya bisa berlangsung secara cerdas dan bijak. []

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003

No comments:

Post a Comment