Oleh Binhad Nurrohmat
PRAKTIK-PRAKTIK
kebijakan kekuasaan dan birokrasi yang bernafsu untuk membangun satu pusat
kekuasaan negara yang otoriter-sentralistis sepanjang rezim Soeharto bercokol
di negeri ini telah menimbulkan banyak dampak. Dampaknya bahkan menjadi rumit,
ruwet, dan gawat di berbagai ruang kehidupan bersama dan masih sangat terasakan
sampai sekarang.
ani reformasi damai
kok bedamai jama puari tenggalan,
kantek tenggalan, kebelah lamban
tenggalan,
rik badan tenggalan riya payah.
(katanya
reformasi damai
kok
berdamai dengan saudara sendiri,
teman
sendiri, tetangga sendiri,
dan
diri sendiri saja sulit).
Praktik
otoritarianisme itu tak terkecuali diberlakukan juga di aneka bahasa dan sastra
daerah yang sudah ada dan dipraktikkan turun-temurun sejak ratusan tahun silam
oleh masyarakat lokal yang tersebar dan menghuni Nusantara sejak zaman
raja-raja dan sultan-sultan masih berkuasa, dan jauh sebelum gagasan negara
Indonesia tercetuskan pada Oktober 1928 lewat maklumat Sumpah Pemuda.
Dampak
pemusatan itu membuat khazanah sastra dan bahasa lokal Nusantara menjadi
dipinggirkan, kehilangan martabat, dan seakan-akan tak penting lagi karena
dianggap tak bisa menyumbangkan yang konkret bagi bangsa dan negara, tak
mengundang investor, dan tak membuat wisatawan-wisatawan datang berkunjung ke
Indonesia. Potensi kebudayaan lokal itu dianggap sebagai warisan lama leluhur
atau kebudayaan nenek moyang yang sudah kuno dan tak lagi fungsional saat ini.
Paradigma
linier-materialistik yang picik dari kekuasaan negara otoriter itu terbukti
mempunyai kekuatan daya hancur yang luar biasa terhadap keberadaan dan
akar-akar kebudayaan lokal sebab kekuasaan negara otoriter cukup punya kekuatan
politik, ekonomi serta lihai untuk menggembosi, bahkan menghancurkan potensi
yang dianggapnya tak berguna atau "mengganggu" keberlangsungan kekuasaannya.
Otoritarianisme akan memberdayakan semua potensi yang ada untuk mendukung dan
menjaga status quo-nya.
Aneka
dongeng, pepatah, pantun, dan bentuk-bentuk khazanah sastra daerah yang lain
yang dulu hidup dan menjadi pegangan bahkan pusat nilai-nilai yang membentuk
dan membangun kehidupan masyarakat pribumi, kini sudah tak lagi mampu menjadi
kekuatan nilai yang dianggap penting, bukan lagi dianggap sebagai nilai-nilai
rujukan yang tepat bagi problem masyarakatnya kemudian dimasabodohkan oleh
masyarakatnya sendiri.
Semua
itu akibat kebijakan kekuasaan negara yang tidak punya strategi pelestarian dan
pemberdayaan kebudayaan, tidak mempunyai komitmen yang jelas akan sejarah
komunitas masyarakat lokal yang menghuni Nusantara ini sejak berabad silam.
Bahkan, tampak hendak "melumpuhkannya" secara sistematis demi
langgengnya satu kekuasaan negara lewat praktik kebijakan-kebijakan pendidikan
dan kebudayaan nasional yang memusat dan kelewat menggebu-gebu berorientasi
sain dan teknologi dan meremehkan eksistensi kebudayaan lokal yang sudah lama
eksis di Nusantara. Kekuasaan lebih mengejar aspek material ketimbang
spiritual, sesuai dengan kepentingan jangka pendek politik dan ekonomi belaka.
Akibatnya
banyak nilai dan kearifan tradisi lokal di Nusantara yang tersimpan dalam
bahasa dan sastra lokal tidak berfungsi, tidak lagi gampang dikenali, bahkan
hancur dan banyak yang punah, sehingga generasi penerus kehilangan sumber atau
tercabut dari akar tradisinya sendiri dan kebingungan untuk merumuskan atau
membentuk identitasnya.
Kebingungan
itu sangat berpengaruh pada kemampuan mengenali diri sendiri, kehilangan
pegangan dan orientasi nilai dan akibatnya gampang dihegemoni nilai-nilai dari
luar.
Revitalisasi
PETIKAN
sajak "Revolusi Gawoh"
(Revolusi Saja) yang dikutip di atas itu terasa sederhana, langsung dan
gamblang. Sajak itu sebenarnya sindiran penting yang berupaya memberi rumusan
yang jitu keadaan bangsa dan negara ini seusai Reformasi 1998 meskipun sajak
itu seakan-akan diucapkan lewat gaya begitu lugu dan "sambil lalu"
oleh Udo Z. Karzi (seorang penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970)
lewat bahasa Lampung Pesisir, yaitu bahasa yang dipraktikkan berabad-abad
komunitas etnis Lampung yang melahirkan dan membesarkannya.
Sajak
itu salah satu sampel dan bukti bahwa bahasa dan sastra lokal ternyata masih
eksis, kritis, dan kreatif, serta masih bisa dipraktikkan untuk merumuskan dan
mengucapkan problem kekinian negerinya lewat nuansa dan gaya bahasanya sendiri.
Bahasa lokal ternyata tidak sebagaimana anggapan masyarakat umum yang
menilainya kuno, ortodoks, tidak keren, dan tidak modern sebagaimana bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris.
Rendahnya
"gengsi" potensi-potensi kebudayaan lokal itu berakibat pada lemahnya
kepercayaan diri masyarakat lokal dan kekuasaan negara untuk memfungsikan dan
merawatnya. Tetapi, seusai reformasi ada semacam kesadaran
masyarakat-masyarakat lokal di berbagai pelosok negeri ini, baik secara
politik, sosial maupun kebudayaan. Kesadaran lokal itu hendak menegaskan
eksistensi dirinya, bahkan agak berontak, setelah begitu lama berada dalam
bayang-bayang kekuasaan dan pembatasan dari kekuasaan negara sampai-sampai
masyarakat lokal menjauh dari dan bahkan kehilangan wilayah kebudayaan dan
identitasnya karena diisap kepentingan kekuasaan yang otoriter itu.
Sebagaimana
begitu bagus diungkap oleh penyair ini, dang
niku bewarah lagi/kebanian tuyuk
turingku ngarungi samudera/di labuhan jukung nyak mak ngeliak lagi/nelayan
nyepok iwa/umbak ni kelewat ganas./badai sekali inji rasa ni nyecam nihan/tuhuk
segok di kecut ni lawok./batu karang sai bela diakuk reklamasi/mak dapok
ngelindungi ni lagi./(jangan kau ceritakan lagi/keberanian nenek moyangku
mengarungi samudera/di labuhan jukung tak kulihat lagi/nelayan mencari
ikan/ombak kelewat ganas./badai kali ini terasa begitu mencekam/batu karang
hancur dijarah reklamasi/tak mampu melindungi lagi.// (halaman 40).
Seusai
reformasi, masyarakat kita berharap kelewat banyak keadaan cepat berubah
menjadi lebih baik agar kekuasaan dan masyarakatnya bekerja sesuai tugasnya
masing-masing serta bisa saling bersikap harmonis. Tetapi, reformasi masih
seperti mimpi indah dan membuat masyarakat kecewa dan marah. Kehidupan yang chaos merajalela, masyarakat terpuruk
oleh kebijakan-kebijakan kekuasaan yang memberatkan dan salah arah. Reformasi
belum menunjukkan prestasi yang baik dan malah memperlihatkan tabiat dan
keadaan manusia dan kehidupan yang memprihatinkan.
Penyair
ini menuliskan kondisi tersebut sebagai berikut. ani, reformasi damai,/kok ram maseh gering ngotot,/maksakon kehaga, rik
setetiha sunyin ni./mengapi ram mak beusaha mejong barong,/ gantian cawa,
ngehurmati cawa ni sai bareh,/rik beupaya nyepok solusi sai buyun?/mengapi ram
ngerasa paling benor,/rumpok bareh salah sunyin,/rik uleh ni seno api riya
harus ram sipak?/mengapi ram mak dapok nahan diri/rik nimbang-nimbang sunyin ni
sai radu, basa ni, rik aga terjadi uleh
guwaian neram?// (katanya reformasi damai,/kok kita masih suka
ngotot,/memaksakan kehendak, dan pakai kekerasan segala./mengapa kita tak duduk
bersama,/gantian bicara, menghormati pandangan lain,/dan menemukan solusi
terbaik?/mengapa kita merasa paling benar,/orang lain salah semua,/ dan
karenanya apa pun harus kita terjang?/mengapa kita tak mampu menahan diri/dan
menimbang-nimbang segala yang telah, sedang, dan akan terjadi akibat kelakuan
kita?// (halaman 42).
Karena
itu, kini, potensi-potensi kebudayaan lokal di Nusantara perlu membangun
dirinya demi terbentuk suatu identitas bangsa yang punya akar dan arah yang
jelas. Modern bukan berarti harus menanggalkan semua yang lokal, tetapi
pascamodern juga bukan sama sekali menolak segala yang modern.
Kearifan
untuk membuka diri terhadap nilai-nilai dari luar dan keteguhan menjaga akar
identitas semestinya bisa berlangsung secara cerdas dan bijak. []
Sumber:
Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003
No comments:
Post a Comment