Oleh Kuswinarto
PARUH akhir 2002, khazanah sastra daerah Lampung diperkaya dengan hadirnya sebuah antologi berjudul Momentum, memuat puisi-puisi karya Udo Z. Karzi—penyair yang juga alumnus Fisip Universitas Lampung (Unila). Dieditori Anshori Djausal dan Iswadi Pratama, antologi ini diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung.
Sebanyak 25 puisi karya Udo Z. Karzi mengisi antologi setebal 50 halaman ini. Semuanya ditulis dalam bahasa Lampung dialek Pesisir (dialek Api). Namun, bukan pembaca (etnis/nonetnis Lampung) yang dapat berbahasa Lampung saja yang dapat menikmati, pembaca yang sama sekali tak paham bahasa Lampung pun bisa menikmati antologi ini. Semua puisi berbahasa Lampung dalam antologi ini diberikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Kehadiran antologi Momentum dalam khazanah sastra Lampung ini saya kira layak dicatat. Ada beberapa alasan mengapa antologi ini layak dicatat. Pertama, hadirnya antologi ini membuktikan bahwa sastrawan Lampung—dalam arti sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung—masih ada. Udo Z. Karzi malah bukan saja sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung, penyair ini memang beretnis Lampung, kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970. Ketika saya mempertanyakan keberadaan sastrawan Lampung—dalam arti tersebut—dalam sebuah esai saya di media massa, Udo Z. Karzi segera menanggapi esai saya itu dengan mengemukakan bahwa sastrawan Lampung benar-benar ada. Dan hadirnya antologi inilah salah satu buktinya.
Kedua, hadirnya antologi ini memperlihatkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak di Propinsi Lampung untuk memajukan sastra daerah Lampung. Di tengah ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Lampung terhadap (bahasa dan) sastra Lampung, kerjasama mengangkat sastra Lampung seperti ini sangat perlu dihargai. Selain nama dan lembaga yang telah disebut, ada beberapa nama yang terlibat sehingga muncullah antologi Momentum ini. Nama-nama itu, antara lain, Oemarsono—(mantan) gubernur Lampung—, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Heri Wardoyo, Hardi Hamzah, Sudarmono, Iwan Nurdaya Djafar, Panji Utama, Christian Heru, Wahyuning Yantini, Syafaruddin, dan Khaidir Asmuni. Jika kerjasama antarelemen masyarakat Lampung seperti ini dipertahankan dan dikembangkan, kecemasan akan punahnya sastra daerah Lampung agaknya akan terkikis.
Ketiga, antologi Momentum ini sangat penting dalam kerangka perjalanan sastra (berbahasa) Lampung yang hidup segan mati tak mau. Kita simak salah satu puisi Udo Z. Karzi yang juga wartawan Lampung Post ini.
Bibas
1
sai waktu, ruangan tiba-tiba
jadi melunik pepelegohan
tambah mepelik, aga ngejepit
nyak meliyot, minjak cungak mit langik
ngembangko rua culuk
tawakkal!
tembok-tembok perda nyusul
jak sunyi ni rang, tambah redik rik pelik
mak ngedok jiwa kucuba nyepok
renglaya luar
kidang sunyin ni radu tekebok,
mak ngedok lagi
renglaya aga lucuk
ikhtiar terakhir sai-sai ni yaddo de mekik
2
tekejut nyak!
kuliak luwot nyakku repa sai wat ni
cecok di luwar tembok jama bibas
sedang keterkurungan radu saka lebon
seradu ni injuk ampai miyah tiba-tiba
ngembang kemegahan dunia di
hadapanku
rik sunyin ni kehalokan sai muhelau
ngajukon gairah kehirik’an sai mubalak
nangkpkon rasa betah hurik saka
ngerasakon tor, helau, rik riyang
kehaga jadi mekar delom badanku
1990
Bagian 1 sajak di hlm. 4 antologi Momentum ini mengeskpresikan puncak kesumpekan hati si ‘aku lirik’ di dalam ruang (hidupnya) yang dirasakannya kian menyempit dan menjepit. Dalam keadaan demikian, hasrat untuk bebas tak tertahankan lagi karena dalam kesumpekan, kebebasan menjadi kebutuhan. Sayang, jalan untuk bebas semua tertutup. Tapi, ‘aku lirik’ tetap mencoba, sampai pada usaha satu-satunya yang masih bisa dilakukan: mekik!
Bagian 2 sajak tersebut mengisahkan ‘aku lirik’ pada akhirnya berhasil mendapatkan kebebasan itu. Ia telah berada di luar tembok yang semula mengungkungnya. Dan ia berhadapan dengan realitas baru: kemegahan alam dengan segala kemungkinan manisnya yang menyodorkan gairah hidup yang lebih besar. Sehingga ‘aku lirik’ merasa dihinggapi perasaan betah hidup lebih lama. Harapannya menjadi mekar.
Ada sesuatu yang telah menjadi biasa yang didobrak Udo Z. Karzi. Sesuatu itu, antara lain, tradisi. Dalam hal ini tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Puisi “Bibas” tersebut tidak saja membawa pesan hasrat (dan akhirnya bisa) bebas, tetapi dari segi bentuk, puisi tersebut memang telah membebaskan diri dari tradisi puisi (tradisional) Lampung. Berikut penggalan sebuah puisi tradisional Lampung:
Dang bangik ga cawa
Kantu mak di lom hati
Tilik tindai pai juga
Tangan mak nyesol natti
Penggalan tersebut diambil dari salah satu bentuk puisi tradisional Lampung, yakni segata/adi-adi. Dalam puisi Lampung dikenal berbagai jenis puisi tradisional. Selain segata/adi-adi, masih ada paradinei, pepatcur, bubandung, pattun, ringget, talibun, hahiwang/wayak, dan sebagainya. Sebagaimana puisi-puisi tradisional pada bahasa lain, puisi tradisional berbahasa Lampung sangat ketat dalam hal bentuk: bait, larik, dan rima. Bahkan, untuk puisi seperti pattun dan talibun, keketatan itu juga dalam hal pesan: ada bagian sampiran, ada pula bagian isi. Dan ke-25 puisi Udo Z. Karzi dalam antologi Momentum ini—sebagaimana tampak pada puisi “Bibas”—berbeda sama sekali dengan puisi Lampung yang umum dikenal itu.
Bagi banyak “jelma” Lampung sendiri, barangkali antologi Momentum ini tidak penting. Akan tetapi, sastra Lampung tentu akan berterima kasih kepada Udo Z. Karzi dan semua pihak yang memungkinkan hadirnya antologi ini. Sebagaimana sastra daerah lain seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan Bali; sastra Lampung kini telah memiliki sastra (puisi) modern (berbahasa) Lampung.
Dan menjadi benarlah kini apa yang pernah dikemukakan Udo Z. Karzi dalam esai balasannya atas esai saya, bahwa sastra modern Lampung bukan sekadar wacana. Kini, memang, ia benar-benar ada. Udo Z. Karzi telah memulainya.
Cuma, akankah sastra Lampung berjaya? Akankah terjadi hujan sastrawan Lampung di Bumi Rua Jurai? Agaknya, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi kita. Menurut catatan SIL International Indonesia Branch dalam buku Languages of Indonesia (2001), ada sekitar 3 juta penutur asli bahasa Lampung. Jumlah itu memang sudah kedaluwarsa, karena data diambil dari D. Walker (1976), Wurn & Hatton (1981), dan GEKISUS (1985). Namun, dari sini pun kita bisa mengatakan bahwa sastra (berbahasa) Lampung sebetulnya potensial berjaya. Hanya saja, banyak-sedikitnya penutur bahasa Lampung memang bukan jaminan untuk berjayanya (bahasa dan) sastra Lampung.
Tapi, apa pun dan bagaimanapun, selamat datang sastra modern Lampung. Selamat dan salut buat sahabat Udo Z. Karzi. “Inji ampai muwak ni,” tulis Udo Z. Karzi dalam “Cawa Cutik”-nya di antologinya itu. Berarti akan ada yang bukan permulaan.
Sukun, 12 Mei 2003
Kuswinarto, pengamat sastra
Sumber: Cybersastra.net, 28 Mei 2003 dan puitika.net, 6 Maret 2006
PARUH akhir 2002, khazanah sastra daerah Lampung diperkaya dengan hadirnya sebuah antologi berjudul Momentum, memuat puisi-puisi karya Udo Z. Karzi—penyair yang juga alumnus Fisip Universitas Lampung (Unila). Dieditori Anshori Djausal dan Iswadi Pratama, antologi ini diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung.
Sebanyak 25 puisi karya Udo Z. Karzi mengisi antologi setebal 50 halaman ini. Semuanya ditulis dalam bahasa Lampung dialek Pesisir (dialek Api). Namun, bukan pembaca (etnis/nonetnis Lampung) yang dapat berbahasa Lampung saja yang dapat menikmati, pembaca yang sama sekali tak paham bahasa Lampung pun bisa menikmati antologi ini. Semua puisi berbahasa Lampung dalam antologi ini diberikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Kehadiran antologi Momentum dalam khazanah sastra Lampung ini saya kira layak dicatat. Ada beberapa alasan mengapa antologi ini layak dicatat. Pertama, hadirnya antologi ini membuktikan bahwa sastrawan Lampung—dalam arti sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung—masih ada. Udo Z. Karzi malah bukan saja sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung, penyair ini memang beretnis Lampung, kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970. Ketika saya mempertanyakan keberadaan sastrawan Lampung—dalam arti tersebut—dalam sebuah esai saya di media massa, Udo Z. Karzi segera menanggapi esai saya itu dengan mengemukakan bahwa sastrawan Lampung benar-benar ada. Dan hadirnya antologi inilah salah satu buktinya.
Kedua, hadirnya antologi ini memperlihatkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak di Propinsi Lampung untuk memajukan sastra daerah Lampung. Di tengah ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Lampung terhadap (bahasa dan) sastra Lampung, kerjasama mengangkat sastra Lampung seperti ini sangat perlu dihargai. Selain nama dan lembaga yang telah disebut, ada beberapa nama yang terlibat sehingga muncullah antologi Momentum ini. Nama-nama itu, antara lain, Oemarsono—(mantan) gubernur Lampung—, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Heri Wardoyo, Hardi Hamzah, Sudarmono, Iwan Nurdaya Djafar, Panji Utama, Christian Heru, Wahyuning Yantini, Syafaruddin, dan Khaidir Asmuni. Jika kerjasama antarelemen masyarakat Lampung seperti ini dipertahankan dan dikembangkan, kecemasan akan punahnya sastra daerah Lampung agaknya akan terkikis.
Ketiga, antologi Momentum ini sangat penting dalam kerangka perjalanan sastra (berbahasa) Lampung yang hidup segan mati tak mau. Kita simak salah satu puisi Udo Z. Karzi yang juga wartawan Lampung Post ini.
Bibas
1
sai waktu, ruangan tiba-tiba
jadi melunik pepelegohan
tambah mepelik, aga ngejepit
nyak meliyot, minjak cungak mit langik
ngembangko rua culuk
tawakkal!
tembok-tembok perda nyusul
jak sunyi ni rang, tambah redik rik pelik
mak ngedok jiwa kucuba nyepok
renglaya luar
kidang sunyin ni radu tekebok,
mak ngedok lagi
renglaya aga lucuk
ikhtiar terakhir sai-sai ni yaddo de mekik
2
tekejut nyak!
kuliak luwot nyakku repa sai wat ni
cecok di luwar tembok jama bibas
sedang keterkurungan radu saka lebon
seradu ni injuk ampai miyah tiba-tiba
ngembang kemegahan dunia di
hadapanku
rik sunyin ni kehalokan sai muhelau
ngajukon gairah kehirik’an sai mubalak
nangkpkon rasa betah hurik saka
ngerasakon tor, helau, rik riyang
kehaga jadi mekar delom badanku
1990
Bagian 1 sajak di hlm. 4 antologi Momentum ini mengeskpresikan puncak kesumpekan hati si ‘aku lirik’ di dalam ruang (hidupnya) yang dirasakannya kian menyempit dan menjepit. Dalam keadaan demikian, hasrat untuk bebas tak tertahankan lagi karena dalam kesumpekan, kebebasan menjadi kebutuhan. Sayang, jalan untuk bebas semua tertutup. Tapi, ‘aku lirik’ tetap mencoba, sampai pada usaha satu-satunya yang masih bisa dilakukan: mekik!
Bagian 2 sajak tersebut mengisahkan ‘aku lirik’ pada akhirnya berhasil mendapatkan kebebasan itu. Ia telah berada di luar tembok yang semula mengungkungnya. Dan ia berhadapan dengan realitas baru: kemegahan alam dengan segala kemungkinan manisnya yang menyodorkan gairah hidup yang lebih besar. Sehingga ‘aku lirik’ merasa dihinggapi perasaan betah hidup lebih lama. Harapannya menjadi mekar.
Ada sesuatu yang telah menjadi biasa yang didobrak Udo Z. Karzi. Sesuatu itu, antara lain, tradisi. Dalam hal ini tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Puisi “Bibas” tersebut tidak saja membawa pesan hasrat (dan akhirnya bisa) bebas, tetapi dari segi bentuk, puisi tersebut memang telah membebaskan diri dari tradisi puisi (tradisional) Lampung. Berikut penggalan sebuah puisi tradisional Lampung:
Dang bangik ga cawa
Kantu mak di lom hati
Tilik tindai pai juga
Tangan mak nyesol natti
Penggalan tersebut diambil dari salah satu bentuk puisi tradisional Lampung, yakni segata/adi-adi. Dalam puisi Lampung dikenal berbagai jenis puisi tradisional. Selain segata/adi-adi, masih ada paradinei, pepatcur, bubandung, pattun, ringget, talibun, hahiwang/wayak, dan sebagainya. Sebagaimana puisi-puisi tradisional pada bahasa lain, puisi tradisional berbahasa Lampung sangat ketat dalam hal bentuk: bait, larik, dan rima. Bahkan, untuk puisi seperti pattun dan talibun, keketatan itu juga dalam hal pesan: ada bagian sampiran, ada pula bagian isi. Dan ke-25 puisi Udo Z. Karzi dalam antologi Momentum ini—sebagaimana tampak pada puisi “Bibas”—berbeda sama sekali dengan puisi Lampung yang umum dikenal itu.
Bagi banyak “jelma” Lampung sendiri, barangkali antologi Momentum ini tidak penting. Akan tetapi, sastra Lampung tentu akan berterima kasih kepada Udo Z. Karzi dan semua pihak yang memungkinkan hadirnya antologi ini. Sebagaimana sastra daerah lain seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan Bali; sastra Lampung kini telah memiliki sastra (puisi) modern (berbahasa) Lampung.
Dan menjadi benarlah kini apa yang pernah dikemukakan Udo Z. Karzi dalam esai balasannya atas esai saya, bahwa sastra modern Lampung bukan sekadar wacana. Kini, memang, ia benar-benar ada. Udo Z. Karzi telah memulainya.
Cuma, akankah sastra Lampung berjaya? Akankah terjadi hujan sastrawan Lampung di Bumi Rua Jurai? Agaknya, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi kita. Menurut catatan SIL International Indonesia Branch dalam buku Languages of Indonesia (2001), ada sekitar 3 juta penutur asli bahasa Lampung. Jumlah itu memang sudah kedaluwarsa, karena data diambil dari D. Walker (1976), Wurn & Hatton (1981), dan GEKISUS (1985). Namun, dari sini pun kita bisa mengatakan bahwa sastra (berbahasa) Lampung sebetulnya potensial berjaya. Hanya saja, banyak-sedikitnya penutur bahasa Lampung memang bukan jaminan untuk berjayanya (bahasa dan) sastra Lampung.
Tapi, apa pun dan bagaimanapun, selamat datang sastra modern Lampung. Selamat dan salut buat sahabat Udo Z. Karzi. “Inji ampai muwak ni,” tulis Udo Z. Karzi dalam “Cawa Cutik”-nya di antologinya itu. Berarti akan ada yang bukan permulaan.
Sukun, 12 Mei 2003
Kuswinarto, pengamat sastra
Sumber: Cybersastra.net, 28 Mei 2003 dan puitika.net, 6 Maret 2006